#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Jumat, 03 Agustus 2012

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KULAWI DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM


Oleh  :  Andreas Lagimpu

Pendahuluan

Keberadaan dan kehidupan manusia tidak lepas dari keberagaman mahluk hidup ( flora dan fauna ) sebagai berkat Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta atau dalam bahasa To Kulawi disebut PEWAI TO PEHOI, demi kebutuhan hidup manusia ciptaanNya. Dengan perkembangan peradaban manusia di dunia maka semakin beragam pulalah kebutuhan dalam hidupnya.  Dengan demikian akan lebih banyak membutuhkan bahan dari sumber daya alam demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Menyadari akan pentingnya bahan-bahan dari sumber daya alam guna pemenuhan kebutuhan hidup manusia, diperlukan suatu jalan keluar guna memadukan kedua aspek tersebut agar supaya dapat berjalan bersama-sama. Yang sangat jelas diantara kedua aspek tersebut akan ada perilaku untuk mengambil dan diambil, menggunakan dan digunakan. Pada akhirnya salah satu diantaranya akan mengalami penurunan, kelangkaan secara perlahan. Itu artinya bahwa sumber daya alam yang diantaranya ada yang bermanfaat untuk kehidupan manusia akan mengalami penurunan baik kualitas maupun kwantitasnya.


Masyarakat Adat Kulawi (To Kulawi) dalam salah satu sistim kekerabatannya yang mengatur hubungan manusia dengan alam memiliki satu sistim yang disebut Katuwua/Popahilolonga Katuwua. Sistim ini menganut 2 (dua) prinsip dasar yaitu: (1) Toi Petagi, (2) Toi Popalia.
 
Pandangan tentang Sumber Daya Alam

Masyarakat komunitas To Kulawi yang bermukim disekitar alam pegunungan yang kaya dengan keanekaragaman hayatinya adalah kelompok masyarakat yang secara turun–temurun mempunyai konsep-konsep kearifan tradisional dalam memanfaatkan sumber daya alam secara bertanggung jawab. Sejalan dengan itu secara turun-temurun masyarakat Adat To Kulawi dan Toro sudah dibekali dengan satu konsep tradisional tentang  pemanfaatan sumber daya alam “ Popahilo Longa Katuwua “ dalam konsep itu “ Katuwua “ diyakini bahwa di Bumi Persada ini ( I wongko lino ) ada tiga unsur kehidupan yang mempunyai hubungan timbal balik, tumbuh dan berkembang biak dan saling menghidupi yaitu : Manusia (Tauna), Hewan   (Pinatuwua), Tumbuh-tumbuhan (Tinuda/hinua).

Peran Lembaga Adat

Sejak komunitas To Kulawi mendiami negeri ini seperti adanya kelompok-kelompok masyarakat lain di Nusantara, peran dan keberadaan lembaga Adat dalam memahami dan mengenali masalah-masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan, penguasaan, serta pemilikan tanah sangat besar. Dapat dikatakan bahwa sebelum adanya kebijakan-kebijakan Pemerintah yang menggantikan kedudukan lembaga Adat dalam hal pemanfaatan sumber daya alam, peran lembaga Adat merupakan pusat dari seluruh kegiatan pemanfaatan sumber daya alam ataupun transaksi-transaksi yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Sebagai contoh, keterlibatan lembaga Adat/Totua-totua Ngata dalam hal atau menyangkut masalah tanah hutan meliputi penentuan kawasan atau areal hutan yang layak untuk dimanfaatkan sebagai tempat perkebunan atau perladangan.

Lembaga Adat juga mempunyai peran dalam menentukan keabsahan penguasaan, pengelolaan dan kepemilikan sesuatu yang menyangkut sumber daya alam misalnya tanah hutan damar yang ada dalam hutan dan lain-lain.

Menyangkut sengketa tanah antar Warga Adat baik yang berkaitan dengan hak milik, penguasaan tanah, ladang dan atau penjarahan hasil hutan pada dasarnya kepada Adat atau Lembaga Adat adalah pihak yang menjadi penengah dan menyelesaikan semua sengketa yang terjadi ( Sidang Adat ). Dalam Sidang Adat, Lembaga Adat berfungsi dalam menentukan kebenaran dan kesalahan itu dipihak siapa. Disini akan ditentukan besar kecilnya denda atau dalam bahasa Kulawi disebut “Waya”. Besar kecilnya waya atau sebuah sengketa ditentukan oleh Lembaga Adat/Totua Ngata. Terhadap tiap kasus, bobot denda atau waya  akan berbeda-beda sesuai bobot pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan seseorang.

Hak-Hak Kepemilikan

Dalam masyarakat Adat Kulawi/Ngata To Kulawi mengenal   hak kepemilikan atas sumber daya alam dalam dua bentuk yakni :

Hak kepemilikan kolektif atau bersama yang dalam bahasa Kulawi disebut   “Huaka“.  Huaka adalah hak kepemilikan seluruh masyarakat  Adat yang mencakup tanah dan segala sumber daya yang ada dalam wilayah keadatan Kulawi. Huaka juga mencangkup kawasan hutan, wamangkiki, wama, pangale, dengan segala apa yang ada didalamnya misalnya rotan, kayu yang dapat dimanfaatkan untuk bangunan rumah dan lain-lain. Hak yang masuk dalam kategori huska juga dapat diartikan sebagai batas-batas namun yang bertetangga dengan Huaka, Ngata atau Desa yang lain. Sebagai catatan bahwa saat ini salah satu Masyarakat adat Ngata Kulawi yaitu Ngata Toro telah mempunyai Peta Huaka Toi Toro.

Karena kedudukan Huaka ini merupakan kepemilikan bersama Ngata tidak diperkenankan untuk diperjual belikan kepada siapa pun juga yang bukan Warga masyarakat Adat Ngata To Kulawi Batasan pemakaian atau pemakaian Huaka juga diatur oleh lembaga masyarakat Adat Ngata Kulawi.

Hak pemilikan pribadi / individu / keluarga yang disebut dalam bahasa Kulawi “Dodoha “.  Hak kepemilikan yang masuk dalam kategori dodoho adalah bentuk pemilikan tanah dan sumber daya alam yang menjadi milik pribadi / individu / keluarga, contoh : Popangalea. Hutan yang dibuka oleh seseorang atau keluarga tertentu sudah akan menjadi milik oleh keluarga atau pribadi yang membuka atau “ mopangale “ pertama dan pemilikan ini biasanya diperoleh menurut pembagian lembaga Adat atau pewarisan orang tua dan ada juga yang dimiliki atas transaksi jual beli.

Konsep Kawasan adat

Hal yang diperlihatkan dalam cikal bakal pemilikan kawasan ini menunjukan dan mempunyai landasan Hukum Adat yang kuat, karena Warga masyarakat Adat Ngata To Kulawi/Toro mendapatkan tanah ini bukan melalui perampasan atau mengambil tanah orang lain tanpa izin.Sebagai contoh Dataran Toro dan sektarnya diserahkan oleh seorang Totua Ngata Kulawi bernama Balu dalam sebuah transaksi pembelian kawasan ini dengan harga 7 butir emas sebesar burung pipit, yang diserahkan oleh Mpone kepada Balu.Transaksi pembelian kawasan /Wilayah keadatan Ngata Toro ini masih banyak orangtua pada saat ini yang mengetahuinya karena diceritrakan secara turun temurun oleh para Totua Ngata disekitar “Lando Bohe To Kulawi”,(wilayah kebesaran Kerajaan To Kulawi).

Pembukaan Hutan

Hutan adalah salah satu sumber daya alam dimana dari dalamnya diperoleh bahan baku untuk kebutuhan hidup atau dikelola sebagai tempat peladangan. Dengan pemilikan tadi baik secara individu maupun kolektif akan membuka suatu areal hutan atau tanah. Membuka areal baru tersebut tentunya tidak bisa dilakukan tanpa keteraturan atau aturan ada dua hal yang perlu dilakukan oleh setiap individu atau kelompok sebelum membuka areal perladangan :

Melakukan konfirmasi sosial “ mepekune, mopahibali”, artinya menanyakan apakah areal itu sudah menjadi milik orang lain ataukah belum hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya sengketa dibelakang hari. Disini pula peran lembaga Adat menjadi sangat penting.

Jika ternyata areal itu belum ada yang memilikinya maka ia harus melaporkan keinginan membuka hutan itu kepada Totua Ngata atau Lembaga Adat “ Mampekune Pade Mopahi Bali Hi Totua Ngata “ bonanemo maria to pekamaro “. Hal ini pula menunjukan bahwa sangat mustahil menemukan warga Ngata To Kulawi yang tidak mempunyai tanah sebab hanya dengan itu ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu Mangkoni atau pangkoni bagi orang lain yang hendak membuka areal atau kawasan apa saja harus meminta izin dulu kepada Totua Ngata. Secara prinsip kawasan Adat tidak diperkenankan diperjual belikan pada orang lain kawasan ini sangat dijaga oleh para warganya. Apabila ada orang lain yang beritikat baik hendak membuka hutan atau suatu areal tanah akan diizinkan bila hanya bersifat untuk sementara waktu. Pada batas waktu yang ditentukan areal itu harus ditentukan meskipun tanah itu belum ada yang memilikinya atau belum bertuan.
Kearifan-kearifan yang bersifat tantangan atau larangan dalam hal pemanfaatan sumber daya alam.

Sebagai komunitas yang mempunyai Budaya tradisi leluhur masyarakat Adat Kulawi / Ngata To Kulawi/Toro  mempunyai kebijakan Adat yang harus dipatuhi oleh warganya dalam hal memanfaatkan sumber daya alam. Ketentuan itu dikategorikan dalam dua kategori : Toipopalia dan Toipetagi.

Penjelasan

Toipetagi adalah pantangan. Ada yang bersifat mutlak adapula yang tidak mutlak
Contoh : tidak diperkenankan membuka hutan atau mengolah hutan dimana ditempat itu ada mata air “ ue ntumu “, mata ue bohe larangan memaras dan menebang kayu-kayuan yang ada pada palungan sungai atau kali-kali kecil yang ada dalam hutan atau pun palungan sungai / kali kecil yang melewati pemukiman penduduk pada saat menebang hutan menebang pohon tidak diperkenankan menebang habis pohon yang diketahui mempunyai khasiat obat-obatan tradisional. Pohon beringin, melinjo.

Pantangan
Dilarang membawa hasil hutan dan membawanya kerumah melewati padi dalam masa  pramodia. Larangan membuka hutan dimana diketahui ada pohon damar, dan membuka hutan sampai pada puncak gunung “ nemo mobone maratai pongku bulu.  Larangan menebang kayu yang diketahui sebagai makanan pokok burung-burung atau binatang lain yang ada dalam hutan.

Warisan leluhur dalam hal petunjuk dalam hal waktu pengolahan tanah berladang atau bekerja disawah.
           
Konon dahulu sebelum pola pertanian modern mulai masuk mempengarui pola pertanian tradisional sudah dikenal ilmu perbintangan yang diamati oleh orang tua dalam menentukan waktu bekerja dalam mengolah ladang dan sawah. Dalam hal ini Lembaga Adat mempunyai perangkat fungsional yang dianggap memahami dan mengerti tanda-tanda yang mereka lihat pada bintang-bintang tertentu yang mempunyai isyarat atau hubungan dengan situs kehidupan tumbuh-tumbuhan di Bumi.
           
Bahasan-bahasan yang diungkapkan diatas masih sebagian kecil diungkapkan disini dari apa yang dimiliki oleh para leluhur yang merupakan kearifan mereka dalam menata kehidupan masyarakat pada saat itu dalam memanfaatkan sumber daya Alam.

Penutup

Yang menjadi pergulatan saat ini adalah bagaimana mengembalikan kemampuan dan otoritas masyarakat Adat untuk menguasai, mengelola atau mengatur sumber-sumber daya alamnya   secara demokratis, sehingga mampu mensejahterakan warganya sendiri.
Pengembangan kapasitas lokal dibidang perekonomian, politik, sosial, maupun budaya mempunyai arti yang sangat penting hal-hal tersebut sangat erat berkaitan satu sama lain.
Adalah merupakan bahan perenungan dan perjuangan bahwa apa yang kita lakukan dalam menggali, mengkaji akan kearifan-kearifan itu serta peran kelembagaan tradisional bukan hanya sekedar revitalisasi atau refungsionalisasi kelembagaan bahkan kapasitas yang dipunyai dan diwarisi oleh kelompok masyarakat tradisional (Adat), tetapi juga adalah bagaimana menata kembali kelembagaan yang telah hilang itu dengan memperhatikan situasi dan komdisi yang ada sekarang ini utamanya persoalan struktural yang  juga mempunyai kebijakan kearah itu. Disamping itu dikalangan masyarakat adat sendiri perlu adanya pencerahan dan pembelajaran dalam upaya memperjuangkan kapasitas lokal untuk dapat diakomodasi dalam kebijakan Pemerintah menyangkut pemanfaatan sumber daya alam, agar tidak terjadi benturan kepentingan disana. Sinergitas dari seluruh kekuatan sosial masyarakat sangat dibutuhkan selain konsep yang jelas, terarah dan terukur.

Perjalanan kita masih sangat panjang dan membutuhkan komitmen yang kuat  untuk
melakukannya.
 ----------------------------------------------------------------------------------------------------
Di sampaikan di-Toro pada Seminar dan Lokakarya menuju Otonomi Ngata Toro.
25-30 Oktober 2002, oleh Andreas Lagimpu/pemerhati Adat dan Budaya Kulawi.
                       
Daftar bacaan sebagai acuan penulisan:
Tutur Kata Ibunda yang tercinta –Anditu Toheke (alm)
Wawancara dengan Tuama Japari 1977,saat penulis menyusun paper Dewa yang  Maha Tinggi dalam kepercayaan Agama Suku Kulawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar