” ketidaktahuan akan hukum bukan menjadi alasan pembenar atau pemaaf suatu tindakan”
Begitulah gambaran sebuah kalimat sederhana yang berlaku dalam sistem hukum di negara kita. Apapun argumen kita yang menyatakan bahwa kita benar-benar tidak mengetahui ada sebuah aturan yang mengatur hal tersebut, namun itu bukan menjadi alasan pembenar atau pemaaf atas perbuatan kita yang dinilai salah. Mengapa?? Karena ketika peraturan perundang-undangan telah diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, maka semua warga negara indonesia dianggap tahu walau bersangkutan tinggal di dalam gua atau hutan terpencil sekalipun.
Hal itu juga berlaku pada hukum pidana. Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa ’tak ada suatu perbuatan yang dapat di pidana tanpa diatur terlebih dahulu dalam peraturan”. Asas ini sangat jelas dan tentu saja seseorang tak dapat di pidana bila tidak ada peraturan yang menyatakan perbuatan tersebut telah melanggar aturan-aturan hukum. Jadi walaupun menurut kita perbuatan yang dilakukan seseorang merupakan perbuatan yang salah atau merugikan hak kita misalnya, namun bila belum ada peraturan yang melarang perbuatan tersebut maka si pelaku tak dapat di hukum secara pidana.
Pada dasarnya perbuatan-perbuatan melanggar hukum menurut KUHP terdiri atas dua macam yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Tindak pidana yang tergolong dalam Kejahatan akan menerima konsekuensi hukum berupa pidana penjara dan dapat ditambah dengan pidana denda. Bila tidak mampu membayar pidana denda, diterapkan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama waktu tertentu. Sedang khusus tindak pidana yang terkait dengan politik, dikenal istilah pidana tutupan yaitu hukuman berupa pengucilan pelaku. Biasanya ada tempat-tempat tertentu yang diperuntukkan bagi pelaku kejahatan politik. Kejahatan dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu tindak pidana berat dan tindak pidana ringan yang tentu saja hukuman pidananya juga berbeda. Sebaliknya tindak pidana yang tergolong dalam Pelanggaran akan menerima konsekuensi hukum berupa pidana denda dan kurungan.
Terkait dengan penerapan hukum pidana di masyarakat, banyak kasus pidana yang terjadi dimana para pelakunya begitu awam pengetahuannya tentang hukum pidana yang diterapkan di negara kita ini. Ironisnya lagi, para pelakunya lebih di dominasi oleh orang-orang yang dilihat dari sektor ekonomi tergolong tidak mampu/miskin. Saya bukan ingin membela atau membenarkan apa yang dilakukan oleh orang-orang ini. Saya hanya sekedar ingin bertanya pada saudara-saudara semua. Pertanyaannya saya sederhana saja, BENARKAH TELAH TERCIPTA KEPASTIAN KEADILAN HUKUM?? TERWUJUDKAH PERSAMAAN HAK DI MATA HUKUM SELAMA INI?? APAKAH KITA MERASA TERAYOMI, TERLINDUNGI DENGAN PENEGAKAN HUKUM SELAMA INI??
Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum di negara tercinta kita ini telah mengamanatkan pada peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya guna mengakui hak setiap orang atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum { Pasal 28D (1) }. Peraturan perundang-undangan yang sangat jelas memuat kerangka hak-hak setiap warga Negara Indonesia adalah Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang ini mengatur banyak hal berhubungan dengan hak yang dimiliki oleh manusia sebagai mahluk Tuhan YME yang memiliki posisi lebih mulia dari segala mahluk yang ada di dunia. Sebagai seseorang yang memiliki latar belakang hukum, saya sering mengajukan pertanyaan pada diri sendiri terkait dengan Persamaan Hak dan Kedudukan di mata hukum serta Kepastian Hukum selama ini. Begitu banyak fenomena kasus yang kadangkala membuat kita menjadi heran, bingung serta bertanya-tanya bagaimana sebenarnya penerapan hukum yang berlaku di negara ini. Seorang pencuri sapi dan seorang koruptor merupakan dua contoh kasus yang sama-sama merugikan dan tergolong dalam tindak pidana. Perbedaannya yaitu pelaku pencuri sapi umumnya berasal dari warga yang bila ditinjau dari segi ekonomi pelakunya miskin atau tidak mampu, seringkali alasan ekonomi menjadi dasar kejahatannya, merugikan satu dan/atau sekelompok orang, tidak mempunyai pengacara pribadi, tidak mempunyai pengetahuan akan hukum pidana, seringkali mengalami kontak fisik serta harga sapi sekitar Rp 5.000.000-an lebih. Sedang kasus korupsi umumnya pelaku dari kalangan pejabat atau orang-orang yang memiliki kedudukan strategis baik di pemerintahan maupun swasta, merugikan bukan hanya sekelompok orang melainkan telah merugikan Negara (dengan kata lain seluruh rakyat indonesia jadi korban), ditinjau dari segi ekonomi pelakunya tergolong orang kaya, dasar kejahatannya guna menumpuk kekayaan, memiliki pengacara pribadi, memiliki pengetahuan terkait hukum pidana serta hasil korupsinya bisa mencapai milyaran-trilyunan rupiah.
Lantas bagaimana konsekwensi hukumnya?? Bagaimana kira-kira jika pidana penjara yang dijatuhkan kepada pelaku pencuri sapi dan pelaku korupsi sama masa hukumannya atau setidak-tidaknya beda 2-3 tahun saja. Saya ingin mengajak kita semua untuk lebih mengamati kasus-kasus pencurian dan kasus korupsi di TV ataupun di media massa lainnya. Saya tidak akan menguraikan contoh-contoh kasus pencurian sapi dan kasus korupsi yang pernah terjadi, berapa lama masa hukuman pidana para pelakunya. Saya ingin anda-anda semua dapat mengamati kasus-kasus ini baik di media massa ataupun secara langsung mengikuti persidangan di pengadilan dan silakan anda-anda semua menyimpulkannya. Semoga saja anda semua mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di atas. Di akhir kata, marilah mulai saat ini kita semua membangun kepedulian terhadap negara ini agar cita-cita Negara Indonesia untuk mencapai ”Masyarakat Yang Adil Dan Makmur” sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dapat terwujud dan terlaksana dengan baik.
* koordinator penguatan institusi lokal, LPA.Awam Green
Tidak ada komentar:
Posting Komentar