#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Minggu, 14 Maret 2010

Catatan Dari Desa Malino

Oleh : Sulaeman, Dj *

Desa Malino merupakan salah satu desa dari 18 desa yang berada dalam wilayah pemerintahan  kecamatan Balaesang, kabupaten Donggala propinsi Sulawesi Tengah. Desa ini sebelumya merupakan wilayah Desa Sibayu. Tahun 2004 Malino resmi menjadi sebuah wilayah administratif sendiri yang dibagi menjadi empat bagian pemerintahan dusun. Letak Desa Malino berada pada sisi barat dari ibukota kecamatan Balaesang ( Desa Tambu ) tidak kurang dari 21 km. Sedangkan dari ibu kota kabupaten Donggala jaraknya mencapai 162 km.

 
Dalam sejarah tutur masayarakat setempat ( Penuturan Pak Badrun salah satu tokoh adat desa Malino), Malino berasal dari nama seorang laki-laki yang sedang merantau dan ketika berada di muara Sibayu dia melihat rambut disungai. Ternyata rambut itu milik seorang wanita yang sedang mandi di hulu sungai Sibayu. Konon nama wanita tersebut Sibayou. Oleh masyarakat setempat diyakini bahwa wanita tersebut adalah nenek moyang dari suku Pendau yang sekarang ini hidup dan bermukim di desa Malino. 

Penamaan desa Malino sempat menjadi perdebatan,  sebab ada pula mengusulkan penamaan desa dengan sebutan Sibayu II. Namun setelah dilakukan pertemuan yang dihadiri oleh para pemuka adat desa induk ( Sibayu ) dan desa pemekaran ( Malino ), akhirnya disepakati bahwa Malino nama desa baru tersebut.

Secara administratif sebelah timur desa ini berbatasan dengan desa Sibayu, bagian barat desa Kambayan, bagian selatan desa Sibayu dan pada bagian utara berbatasan dengan desa Sioyong. 

Dari luas wilayah mencapai 16,48 km², desa ini dihuni sebanyak 1620 jiwa dengan latar belakang  etnis / suku berbeda. Yaitu Pendau, Kaili, Dampelas, Bugis, Mandar dan Jawa. Sedangkan ditinjau dari keagamaan, penduduk desa ini beragama Islam dan Kristen.

Penduduk desa asli sebagian besar berprofesi ganda yakni sebagai petani dan nelayan. Sementara penduduk pendatang ( imigrasi dan transmigrasi spontan ) sebagian besar berprofesi sebagai petani. Di tinjau dari segi penggunaan dan peruntukan lahan dalam desa luas lahan yang dimanfaatkan untuk perkebunan seluas 163 Ha dan persawahan 352 Ha. Namun untuk pengelolaan/pemanfaatan pada wilayah laut belum diketahui berapa luasan-nya. Sebab data luas wilayah desa masih sebatas pada wilayah daratan. Sehingga tidak mengherankan jika batas – batas kewilayahan yang ada masih pada batas – batas pada wilayah daratan.

Pengelolaan  sumberdaya laut
Semenjak mekar dari desa Sibayu, Malino menjadi satu desa yang bisa menentukan dan mengurus wilayah adminitrasinya sendiri. Tetapi karena wilayah kelautan Indonesia memepunyai prinsip “Common Source “ maka pihak lain baik perseorangan maupun kelompok yang dari luar wilayah desa tertentu, dapat melakukan ekspolarasi terhadap satu wilayah. 

Keadaan ini semakin parah jika pengelola baik perseorangan maupun kelompok menggunakan cara - cara pengambilan sumberdaya laut dengan tidak memperhatikan keberlangsungan kehidupan biota laut, misalnya dengan menggunakan bom dan potasium. 

Bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya yaitu : semakin kurangnya ikan yang ada diwilayah desa Malino. Kondisi ini membuat para nelayan harus menempuh jarak yang begitu jauh dengan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan hasil tangkapan yang bisa memuaskan, tetapi, tentu akan berkonsekuensi pada bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan.

Pada sisi yang lain, masalah juga muncul saat terjadinya abrasi pantai. Ini pula disebabkan dari akibat hancurnya karang-karang sebagai penyanggah dan tempat berkembang biaknya habitat laut.

Ada sebuah catatan menarik dan perlu menjadi pembelajaran bagi kita semua. Yakni bagaimana masyarakat setempat memperlakukan hutan bakau dengan arif. Menurut penuturan dari Pak Mustakim Bardrun (Kades Malino), jauh sebelum menjadi desa dan kini telah memisahkan diri dari desa sibayu, masyarakat Malino telah mengatur hutan bakau secara “adat”. Lanjut daripada itu, pengambilan kayu bakau hanya diperbolehkan diambil pada saat upacara-upacara adat dan keagamaan misalnya, perkawinan, kematian dan hajatan-hajatan lain. Pengambilan kayu bakau juga diharuskan memperhatikan besaran diameter kayu. Bila diameter 30 cm ke atas, itu diperbeolehkan. Ini lebih pada mempertimbangkan keberlanjutan bakau sebab semakin besar kayu bakau tersebut semakin banyak pula tunas-tunas akan tumbuh dan berkembang. Pengambilan kayu bakau diameter 10 hingga 15 cm, hanya diperbolehkan untuk kebutuhan ritual atau upacara adat. Olehnya pengeloaan hutan bakau telah menjadi kesepakatan adat desa Malino dan tentunya bila ada melanggar akan dikenai sanksi menurut aturan yang telah berlaku.

Pengelolaan hutan bakau secara adat, ternyata terbukti membawa manfaat yang begitu besar dan dapat menjadi proses belajar bagi komunitas pesisir lain-nya. Yakni kejadian tahun 1968, saat terjadinya musibah besar yaitu Tsunami yang melanda kecamatan Balaesang. Peristiwa ini merenggut ratusan jiwa. Malino saat itu, terhindarkan dari korban bencana tersebut karena wilayah pesisir pantai masih banyak terdapat hutan bakau (mangrove).
* Anggota LPA. Awam Green

2 komentar: