Oleh :
Andreas Lagimpu
Pendahuluan
Keberadaan
dan kehidupan manusia tidak lepas dari keberagaman mahluk hidup ( flora dan
fauna ) sebagai berkat Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta atau dalam bahasa To
Kulawi disebut PEWAI TO PEHOI, demi kebutuhan hidup manusia ciptaanNya. Dengan
perkembangan peradaban manusia di dunia maka semakin beragam pulalah kebutuhan
dalam hidupnya. Dengan demikian akan
lebih banyak membutuhkan bahan dari sumber daya alam demi pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Menyadari akan pentingnya bahan-bahan dari sumber
daya alam guna pemenuhan kebutuhan hidup manusia, diperlukan suatu jalan keluar
guna memadukan kedua aspek tersebut agar supaya dapat berjalan bersama-sama.
Yang sangat jelas diantara kedua aspek tersebut akan ada perilaku untuk
mengambil dan diambil, menggunakan dan digunakan. Pada akhirnya salah satu
diantaranya akan mengalami penurunan, kelangkaan secara perlahan. Itu artinya
bahwa sumber daya alam yang diantaranya ada yang bermanfaat untuk kehidupan
manusia akan mengalami penurunan baik kualitas maupun kwantitasnya.
Masyarakat
Adat Kulawi (To Kulawi) dalam salah satu sistim kekerabatannya yang mengatur
hubungan manusia dengan alam memiliki satu sistim yang disebut
Katuwua/Popahilolonga Katuwua. Sistim ini menganut 2 (dua) prinsip dasar yaitu:
(1) Toi Petagi, (2) Toi Popalia.
Pandangan tentang Sumber
Daya Alam
Masyarakat
komunitas To Kulawi yang bermukim disekitar alam pegunungan yang kaya dengan
keanekaragaman hayatinya adalah kelompok masyarakat yang secara turun–temurun
mempunyai konsep-konsep kearifan tradisional dalam memanfaatkan sumber daya
alam secara bertanggung jawab. Sejalan dengan itu secara turun-temurun
masyarakat Adat To Kulawi dan Toro sudah dibekali dengan satu konsep
tradisional tentang pemanfaatan sumber
daya alam “ Popahilo Longa Katuwua “ dalam konsep itu “ Katuwua “ diyakini
bahwa di Bumi Persada ini ( I wongko lino ) ada tiga unsur kehidupan yang
mempunyai hubungan timbal balik, tumbuh dan berkembang biak dan saling
menghidupi yaitu : Manusia (Tauna), Hewan
(Pinatuwua), Tumbuh-tumbuhan (Tinuda/hinua).
Peran Lembaga Adat
Sejak
komunitas To Kulawi mendiami negeri ini seperti adanya kelompok-kelompok
masyarakat lain di Nusantara, peran dan keberadaan lembaga Adat dalam memahami
dan mengenali masalah-masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan, penguasaan,
serta pemilikan tanah sangat besar. Dapat dikatakan bahwa sebelum adanya
kebijakan-kebijakan Pemerintah yang menggantikan kedudukan lembaga Adat dalam
hal pemanfaatan sumber daya alam, peran lembaga Adat merupakan pusat dari
seluruh kegiatan pemanfaatan sumber daya alam ataupun transaksi-transaksi yang
berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Sebagai contoh, keterlibatan
lembaga Adat/Totua-totua Ngata dalam hal atau menyangkut masalah tanah hutan
meliputi penentuan kawasan atau areal hutan yang layak untuk dimanfaatkan
sebagai tempat perkebunan atau perladangan.
Lembaga
Adat juga mempunyai peran dalam menentukan keabsahan penguasaan, pengelolaan
dan kepemilikan sesuatu yang menyangkut sumber daya alam misalnya tanah hutan
damar yang ada dalam hutan dan lain-lain.
Menyangkut
sengketa tanah antar Warga Adat baik yang berkaitan dengan hak milik,
penguasaan tanah, ladang dan atau penjarahan hasil hutan pada dasarnya kepada
Adat atau Lembaga Adat adalah pihak yang menjadi penengah dan menyelesaikan
semua sengketa yang terjadi ( Sidang Adat ). Dalam Sidang Adat, Lembaga Adat
berfungsi dalam menentukan kebenaran dan kesalahan itu dipihak siapa. Disini
akan ditentukan besar kecilnya denda atau dalam bahasa Kulawi disebut “Waya”.
Besar kecilnya waya atau sebuah sengketa ditentukan oleh Lembaga Adat/Totua
Ngata. Terhadap tiap kasus, bobot denda atau waya akan berbeda-beda sesuai bobot pelanggaran
atau kesalahan yang dilakukan seseorang.
Hak-Hak Kepemilikan
Dalam
masyarakat Adat Kulawi/Ngata To Kulawi mengenal
hak kepemilikan atas sumber daya
alam dalam dua bentuk yakni :
Hak kepemilikan kolektif
atau bersama yang
dalam bahasa Kulawi disebut “Huaka“. Huaka adalah hak kepemilikan seluruh
masyarakat Adat yang mencakup tanah dan
segala sumber daya yang ada dalam wilayah keadatan Kulawi. Huaka juga
mencangkup kawasan hutan, wamangkiki, wama, pangale, dengan segala apa yang ada
didalamnya misalnya rotan, kayu yang dapat dimanfaatkan untuk bangunan rumah
dan lain-lain. Hak yang masuk dalam kategori huska juga dapat diartikan sebagai
batas-batas namun yang bertetangga dengan Huaka, Ngata atau Desa yang lain.
Sebagai catatan bahwa saat ini salah satu Masyarakat adat Ngata Kulawi yaitu
Ngata Toro telah mempunyai Peta Huaka Toi Toro.
Karena
kedudukan Huaka ini merupakan kepemilikan bersama Ngata tidak diperkenankan
untuk diperjual belikan kepada siapa pun juga yang bukan Warga masyarakat Adat
Ngata To Kulawi Batasan pemakaian atau pemakaian Huaka juga diatur oleh lembaga
masyarakat Adat Ngata Kulawi.
Hak pemilikan pribadi /
individu / keluarga
yang disebut dalam bahasa Kulawi “Dodoha
“. Hak kepemilikan yang masuk dalam
kategori dodoho adalah bentuk pemilikan tanah dan sumber daya alam yang menjadi
milik pribadi / individu / keluarga, contoh : Popangalea. Hutan yang dibuka
oleh seseorang atau keluarga tertentu sudah akan menjadi milik oleh keluarga
atau pribadi yang membuka atau “ mopangale “ pertama dan pemilikan ini biasanya
diperoleh menurut pembagian lembaga Adat atau pewarisan orang tua dan ada juga
yang dimiliki atas transaksi jual beli.
Konsep Kawasan adat
Hal
yang diperlihatkan dalam cikal bakal pemilikan kawasan ini menunjukan dan
mempunyai landasan Hukum Adat yang kuat, karena Warga masyarakat Adat Ngata To
Kulawi/Toro mendapatkan tanah ini bukan melalui perampasan atau mengambil tanah
orang lain tanpa izin.Sebagai contoh Dataran Toro dan sektarnya diserahkan oleh
seorang Totua Ngata Kulawi bernama Balu dalam sebuah transaksi pembelian
kawasan ini dengan harga 7 butir emas sebesar burung pipit, yang diserahkan
oleh Mpone kepada Balu.Transaksi pembelian kawasan /Wilayah keadatan Ngata Toro
ini masih banyak orangtua pada saat ini yang mengetahuinya karena diceritrakan
secara turun temurun oleh para Totua Ngata disekitar “Lando Bohe To
Kulawi”,(wilayah kebesaran Kerajaan To Kulawi).
Pembukaan Hutan
Hutan
adalah salah satu sumber daya alam dimana dari dalamnya diperoleh bahan baku
untuk kebutuhan hidup atau dikelola sebagai tempat peladangan. Dengan pemilikan
tadi baik secara individu maupun kolektif akan membuka suatu areal hutan atau
tanah. Membuka areal baru tersebut tentunya tidak bisa dilakukan tanpa
keteraturan atau aturan ada dua hal yang perlu dilakukan oleh setiap individu
atau kelompok sebelum membuka areal perladangan :
Melakukan
konfirmasi sosial “ mepekune, mopahibali”, artinya menanyakan apakah areal itu
sudah menjadi milik orang lain ataukah belum hal ini dilakukan untuk
menghindari terjadinya sengketa dibelakang hari. Disini pula peran lembaga Adat
menjadi sangat penting.
Jika
ternyata areal itu belum ada yang memilikinya maka ia harus melaporkan
keinginan membuka hutan itu kepada Totua Ngata atau Lembaga Adat “ Mampekune
Pade Mopahi Bali Hi Totua Ngata “ bonanemo maria to pekamaro “. Hal ini pula
menunjukan bahwa sangat mustahil menemukan warga Ngata To Kulawi yang tidak
mempunyai tanah sebab hanya dengan itu ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
yaitu Mangkoni atau pangkoni bagi orang lain yang hendak membuka areal atau
kawasan apa saja harus meminta izin dulu kepada Totua Ngata. Secara prinsip
kawasan Adat tidak diperkenankan diperjual belikan pada orang lain kawasan ini
sangat dijaga oleh para warganya. Apabila ada orang lain yang beritikat baik
hendak membuka hutan atau suatu areal tanah akan diizinkan bila hanya bersifat
untuk sementara waktu. Pada batas waktu yang ditentukan areal itu harus
ditentukan meskipun tanah itu belum ada yang memilikinya atau belum bertuan.
Kearifan-kearifan
yang bersifat tantangan atau larangan dalam hal pemanfaatan sumber daya alam.
Sebagai
komunitas yang mempunyai Budaya tradisi leluhur masyarakat Adat Kulawi / Ngata
To Kulawi/Toro mempunyai kebijakan Adat
yang harus dipatuhi oleh warganya dalam hal memanfaatkan sumber daya alam.
Ketentuan itu dikategorikan dalam dua kategori : Toipopalia dan Toipetagi.
Penjelasan
Toipetagi adalah pantangan. Ada yang bersifat
mutlak adapula yang tidak mutlak
Contoh : tidak diperkenankan membuka hutan
atau mengolah hutan dimana ditempat itu ada mata air “ ue ntumu “, mata ue bohe
larangan memaras dan menebang kayu-kayuan yang ada pada palungan sungai atau
kali-kali kecil yang ada dalam hutan atau pun palungan sungai / kali kecil yang
melewati pemukiman penduduk pada saat menebang hutan menebang pohon tidak
diperkenankan menebang habis pohon yang diketahui mempunyai khasiat obat-obatan
tradisional. Pohon beringin, melinjo.
Pantangan
Dilarang
membawa hasil hutan dan membawanya kerumah melewati padi dalam masa pramodia. Larangan membuka hutan dimana
diketahui ada pohon damar, dan membuka hutan sampai pada puncak gunung “ nemo
mobone maratai pongku bulu. Larangan
menebang kayu yang diketahui sebagai makanan pokok burung-burung atau binatang
lain yang ada dalam hutan.
Warisan
leluhur dalam hal petunjuk dalam hal waktu pengolahan tanah berladang atau
bekerja disawah.
Konon
dahulu sebelum pola pertanian modern mulai masuk mempengarui pola pertanian
tradisional sudah dikenal ilmu perbintangan yang diamati oleh orang tua dalam
menentukan waktu bekerja dalam mengolah ladang dan sawah. Dalam hal ini Lembaga
Adat mempunyai perangkat fungsional yang dianggap memahami dan mengerti
tanda-tanda yang mereka lihat pada bintang-bintang tertentu yang mempunyai
isyarat atau hubungan dengan situs kehidupan tumbuh-tumbuhan di Bumi.
Bahasan-bahasan
yang diungkapkan diatas masih sebagian kecil diungkapkan disini dari apa yang
dimiliki oleh para leluhur yang merupakan kearifan mereka dalam menata kehidupan
masyarakat pada saat itu dalam memanfaatkan sumber daya Alam.
Penutup
Yang
menjadi pergulatan saat ini adalah bagaimana mengembalikan kemampuan dan
otoritas masyarakat Adat untuk menguasai, mengelola atau mengatur sumber-sumber
daya alamnya secara demokratis, sehingga mampu
mensejahterakan warganya sendiri.
Pengembangan
kapasitas lokal dibidang perekonomian, politik, sosial, maupun budaya mempunyai
arti yang sangat penting hal-hal tersebut sangat erat berkaitan satu sama lain.
Adalah
merupakan bahan perenungan dan perjuangan bahwa apa yang kita lakukan dalam
menggali, mengkaji akan kearifan-kearifan itu serta peran kelembagaan tradisional
bukan hanya sekedar revitalisasi atau refungsionalisasi kelembagaan bahkan
kapasitas yang dipunyai dan diwarisi oleh kelompok masyarakat tradisional (Adat),
tetapi juga adalah bagaimana menata kembali kelembagaan yang telah hilang itu
dengan memperhatikan situasi dan komdisi yang ada sekarang ini utamanya
persoalan struktural yang juga mempunyai
kebijakan kearah itu. Disamping itu dikalangan masyarakat adat sendiri perlu
adanya pencerahan dan pembelajaran dalam upaya memperjuangkan kapasitas lokal
untuk dapat diakomodasi dalam kebijakan Pemerintah menyangkut pemanfaatan
sumber daya alam, agar tidak terjadi benturan kepentingan disana. Sinergitas
dari seluruh kekuatan sosial masyarakat sangat dibutuhkan selain konsep yang
jelas, terarah dan terukur.
Perjalanan
kita masih sangat panjang dan membutuhkan komitmen yang kuat untuk
melakukannya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Di sampaikan di-Toro
pada Seminar dan Lokakarya menuju Otonomi Ngata Toro.
25-30 Oktober 2002, oleh
Andreas Lagimpu/pemerhati Adat dan Budaya Kulawi.
Daftar bacaan sebagai
acuan penulisan:
Tutur Kata Ibunda yang
tercinta –Anditu Toheke (alm)
Wawancara dengan Tuama
Japari 1977,saat penulis menyusun paper Dewa yang Maha Tinggi dalam kepercayaan Agama Suku
Kulawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar