Oleh Siti Nuryati
Di
musim kemarau, ancaman krisis air mendera sejumlah daerah. Krisis ini
makin mengkhawatirkan dan kian meningkat seiring bertambahnya jumlah
penduduk, degradasi lingkungan dan menurunnya ketersediaan air.
Menurut kajian Bappenas (2005), untuk wilayah di luar Jabodetabek
ditemukan bahwa sekitar 77 persen kabupaten/kota di Jawa telah memiliki
satu hingga delapan bulan defisit air dalam setahun.
Air merupakan sumber kehidupan. Kita mampu bertahan hidup tanpa makan
dalam beberapa minggu, namun tanpa air, kita akan mati dalam beberapa
hari saja. Dalam kacamata ekonomi, air pun menduduki peran utama bagi
berbagai kepentingan seperti untuk budidaya pertanian, industri,
pembangkit tenaga listrik, transportasi, hingga penyediaan air bersih
dan bahan baku air minum. Namun, air kini menghadapi problem serius
berupa ancaman kelangkaan.
Dengan keterbatasannya ini, sungguh keliru kalau orang mengeksploitasi
air secara berlebihan. Mereka memanfaatkan air seolah-olah air berlimpah
dan merupakan "barang bebas". Padahal semakin terbatas jumlahnya,
berlakulah hukum ekonomi, bahwa air merupakan benda ekonomi. Buktinya,
kini orang rela bersusah-susah dan berani membayar mahal untuk membeli
air ketika terjadi krisis air. Masyarakat desa di negara tropis, seperti
Indonesia, harus berjalan puluhan kilometer untuk mencari sumber air di
musim kemarau. Sementara masyarakat perkotaan belum semuanya
mendapatkan pelayanan air bersih, baik kuantitas maupun kualitas.
Konservasi air merupakan isu serius yang harus betul-betul digarap.
Konservasi yang dapat diterjemahkan sebagai kekekalan dan jangan sampai
hanya dipandang sebagai tindakan penanaman pohon, tetapi merupakan semua
tindakan yang membuat keberadaan air menjadi kekal dan lestari.
Air yang berasal dari hujan yang turun harus ditahan supaya lebih lama
di daratan. Perlu upaya-upaya konservasi air yang disebut panen hujan
dan aliran permukaan. Air dapat ditampung dalam berbagai bentuk
konstruksi dari skala kecil sampai waduk multifungsi yang dapat
mempunyai nilai ekonomi tinggi melalui pembangkit tenaga listrik, usaha
perikanan, sumber air bersih dan pariwisata.
Beberapa sungai di kawasan timur Indonesia telah dimanfaatkan untuk
membangkitkan tenaga listrik seperti di Tondano, Sulawesi Utara. Tetapi,
pembangunan waduk berskala besar tidak dapat dilakukan di semua tempat
dan saat ini waduk besar dianggap tidak sustainable. Waduk besar sering
tidak layak secara ekonomi karena biaya pembangunan dan pemeliharaan
yang tinggi dan sulit diterima secara sosial jika disertai penggusuran.
Sehingga, waduk besar dianggap tidak menguntungkan secara politis, baik
bagi pihak pemberi pinjaman maupun pelaksana pembangunan. Karena itu,
kecenderungan saat ini adalah dengan membangun usaha konservasi air
berskala kecil yang dapat dibangun dan dipelihara oleh masyarakat
setempat di pedesaan-pedesaan. Jadi, muncullah berbagai kearifan lokal
di sini.
Topografi dan bentuk wilayah yang sesuai untuk pembangunan prasarana
konservasi air seperti waduk tidak selalu dapat ditemukan di semua
wilayah. Usaha panen hujan skala pedesaan dapat dilaksanakan tanpa perlu
mengorbankan lahan untuk kepentingan utama seperti permukiman dan lahan
pertanian. Struktur seperti rorak atau sumur resapan dam parit (channel
reservoir) hanya memanfaatkan ruang yang ada tanpa mengganggu fungsi
lahan utama. Dam parit hanya memanfaatkan jalur drainase yang sudah ada
sehingga tidak mengganggu lahan pertanian.
Air juga dibiarkan merembes sehingga dapat meningkatkan aliran dasar
sehingga mengisi air sumur di hilir. Pertimbangan dalam menentukan
posisi dam parit adalah daya tampung dan biaya sehingga dipilih jalur
ang paling sempit di hilir cekungan yang cukup besar.
Di Nusa Tengara telah banyak dibangun embung, suatu waduk kecil yang
dapat menampung air antara 5.000-10.000 m3 di lahan pertanian untuk
keperluan musim kemarau. Pemanfaatan air embung biasanya hanya untuk
masing-masing lahan usaha tani petani atau beberapa petani dan keperluan
rumah tangga lainnya. Tetapi, karena peningkatan jumlah penduduk,
persaingan semakin ketat dalam penggunaan lahan sehingga di Lombok,
embung yang tersisa hanya di bagian tenggara pulau ini.
Kelembagaan pengelolaan distribusi air untuk pertanian berbasis
masyarakat telah lama berkembang di Bali dan Lombok. Sistem Subak
ternyata jauh lebih langgeng dibandingkan dengan berbagai proyek irigasi
yang lebih top down. Dengan memiliki sedahan manajer di level daerah
aliran sungai (DAS) atau saluran primer dan pekasih manajer di saluran
tersier, petani secara bersama mengelola air sebaik-baiknya.
Dengan meniru pola Subak, kelompok petani pemakai air di daerah lain
seperti Bandung, dapat mengelola air tidak hanya di saluran tersier
tetapi juga di saluran sekunder. Tetapi, masih ada tarik ulur antara
berbagai kepentingan sehingga perlu dipecah bersama dalam pemanfaatan
bersama secara proporsional.
Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air telah memberi banyak
bukti bahwa konservasi air sangat mungkin dilakukan pada level-level
masyarakat. Hanya saja, demi keberlanjutan di tengah tarik ulur berbagai
kepentingan yang seringkali sulit dihindari, seperti yang dialami di
Bandung, perlu dibentuk semacam Forum DAS dengan memainkan juga peran
kelembagaan dari stakeholders lainnya.
Peran-peran yang harus diisi antara lain, rulator yaitu institusi
pengambil keputusan yang terdiri dari para pejabat yang berwenang
menetapkan kebijakan, keputusan atau perizinan. Peran ini bisa dimainkan
oleh Bappeda, Dinas Tata Ruang, Dinas Kehutanan, Dinas Sumberdaya Air,
Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan. ***
Penulis adalah penulis skenario film-film dokumenter lingkungan,
penerima anugerah Penulis Muda Pertanian 2009 Kementan RI.
Sumber : www.suarakarya-online.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar