Palu, Sulawesi Tengah
Aksi penolakan warga kecamatan Balaesang
Tanjung atas kegiatan eksplorasi biji emas oleh PT. Cahaya Manunggal Abadi (PT.CMA)
berujung dengan tragedi berdarah pada 18 Juli 2012 di Balaesang Tanjung seakan –
akan mulai dilupakan. Sebut saja korban penembakan yang bernama Sando/Masdudin
hingga kini tak pernah lagi terdengar ke publik bagaimana proses
penyelesaiannya. Kemudian Direktur PT.CMA yang telah ditetapkan sebagai
tersangka dalam pemalsuan tanda tangan hingga kini belum jelas juga tindak
lanjutnya.
Dalam pemberitaan media lokal menyebutkan
bahwa kini kepolisian resort Donggala, fokus pada pengungkapan yang mereka
sebut sebagai aktor intelektual. Paling tidak selama 3 bulan ini, sebanyak 3
orang warga ditangkap yang diharapkan untuk mengungkap aktor intelektual
dibalik penolakan warga. Tidaklah berlebihan bila upaya pengungkapan aktor
intelektual diduga sebagai usaha untuk mengalihkan perhatian pada subtansi
masalah.
Perlu diingatkan kembali bahwa, rakyat bergerak
bukanlah yang direkayasa ataupun sebuah skenario. Seperti halnya dikemukakan
oleh berbagai kalangan elit politik di kabupaten Donggala maupun sejumlah orang
yang dulu menolak sekarang berbalik bersatu dengan PT.CMA. Namun sebaliknya, semua
tuduhan rekayasa atau skenario tersebut dapat diduga datangnya dari mereka yang
selama ini meneriakan adanya rekayasa dan skenario, hal ini bukan tanpa alasan.
Mulanya penolakan atas kegiatan eksplorasi
biji emas oleh PT. Cahaya Manunggal Abadi sudah berlangsung sejak tahun 2010.
Ini dibuktikan dengan adanya surat resmi yang dikeluarkan oleh BPD-MALEI No :
04/BPD – ML / XI / 18 November 2010 yang ditanda tangani oleh ketua BPD Malei
yang bernama Abd. Rauf.B.Lamuse dan sekretaris BPD Malei bernama M.Abduh menyampaikan
kepada Bupati Donggala bahwa menolak rencana pertambangan emas yang dilaksanakan
oleh PT.CMA.
Adapun alasan penolakan warga Balaesang Tanjung sebagai berikut :
1. Daerah kami adalah daerah Tanjung dimana luas
hutannya sangat sedikit dan kawasan hutan tersebut satu-satunya tangkapan air
yang merupakan penghidupan di desa kami.
2. Jika usaha pertambangan tersebut masuk, maka
usaha masyarakat yang utamanya perkebunan dan pertanian akan mengalami
kemerosotan karena terjadinya kerusakan hulu sungai dan pasti akan mempengaruhi
kesuburan tanah para petani di sekitarnya.
3. Masyarakat kami yang penghidupannya dari nelayan
juga akan mengalami dampak, dimana limbah pertambangan tersebut akan berdampak
pada hasil tangkapan ikan yang semakin berkurang.
Kemudian pada 26 November 2010 kembali
dilakukan pertemuan antara masyarakat dan perwakilan PT.CMA yang mana dalam
pertemuan tersebut masyarakat Balaesang Tanjung menolak atau tidak menerima
aktivitas PT.CMA. Penolakan tersebut dituangkan dalam berita acara di tanda
tangani oleh ketua BDP Malei, Abd. Rauf. B. Lamuse. Pertemuan ini dihadiri oleh
kepala desa Malei; Muhlis.D.Hasan, Anggota DPRD Donggala; H.Gosetra Muthaher
dan yang mewakili PT.CMA yakni Buchran Muthaher.
Namun, pada tahun 2012, ketua BPD-Malei,
Abd. Rauf. B. Lamuse yang gencar melakukan penolakan terhadap PT.CMA kini
berbalik berpihak pada PT.CMA, melupakan semua surat resmi yang pernah ditanda
tanganinya. Bahkan yang paling mengerikan berani berbohong di depan Pengadilan
Negeri Donggala dengan mengatakan bahwa jumlah pro dan kontra terhadap
pertambangan jumlahnya berimbang. Pada kenyataannya jumlah masyarakat yang pro
PT.CMA hanya berkisar 30 jiwa dari 10.000 jiwa jumlah penduduk di Balaesang
Tanjung yang menolak aktivitas eksplorasi PT.CMA.
Sejumlah dokumen dan fakta diatas maka bisa
tergambarkan siapa orang – orang bermuka dua di balik kekisruan yang terjadi di
kecamatan Balaesang Tanjung. Ini potret
kecil dalam politik adu domba dan persengkokolan kejahatan dalam usaha pertambangan
di Sulawesi Tengah. Sehingga kasus suap yang terjadi di kabupaten Buol tidak
menutup kemungkinan juga terjadi di kabupaten Donggala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar