#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Selasa, 07 Agustus 2012

Sepenggal Kesaksian Warga Dalam Tragedi Berdarah Di Balaesang Tanjung


Pada waktu hari kejadian, Rabu 18 Juli 2012 awal polisi datang. Saat itu, saya hanya berdua dengan teman. Saya melihat polisi berjalan kaki dan sebagian lagi naik mobil. Karena ketakutan kami berbalik arah dan lari. Saat lari, saya menengok ke belakang dan melihat seorang polisi berperawakan kecil mengejar kami dan menembak sebanyak dua (2) kali dengan senjata. Kami berlari ke belakang rumah ke arah pantai. Di situlah saya bersembunyi. Saat itu belum ada warga berkumpul, yang ada hanya polisi berjalan sambil terus menerus membuang letusan senjata.

Setelah merasa sedikit aman, saya keluar dari tempat persembunyian dan kembali ke jalan mencari teman-teman lainnya. Saat itu bunyi letusan dari senjata api polisi masih terus terdengar dari kejauhan. Tiba-tiba datang seorang teman mengabarkan kepada kami bahwa teman kita bernama Sando terkena tembakan polisi.

Singgung Kasus Balaesang, FPR Tuntut Hak Petani

Meski menjalani ibadah puasa, puluhan massa dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD Provinsi, Jalan Sam Ratulangi Palu, Senin (6/8). Isu yang diangkat para demonstran, yakni terkait dengan konflik agraria di Sulteng dan juga masalah pertambangan di Kecamatan Balaesang Tanjung.

Koordinator Lapangan (Korlap), Toni mengatakan, konflik agraria yang terjadi saat ini disebabkan oleh monopoli atas tanah yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan. “Perampasan tanah besar-besaran itu membuat penyempitan lahan garapan petani, bahkan hilangnya tanah petani secara massif,” ujar Toni.

Kaum tani, kata dia, dibiarkan menjadi buruh tani di negerinya sendiri, sementara penguasa tanah, hanya diberikan kepada pertambangan dan perkebunan sawit skala besar. Pada akhirnya, para petani tertindas oleh perusahaan tambang dan perkebunan kelapa sawit.