#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Kamis, 04 Maret 2010

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT “Menuju Pemberdayaan Masyarakat Desa”

Oleh : Syahrun Latjupa


Bagi masyarakat di Sulawesi Tengah yang hidup beranak cucu didalam dan sekitar hutan, memandang bahwa hutan bagian sumber kehidupan untuk menunjang keberlangsungan hidup. Lebih dari itu, hutan terkandung didalamnya berbagai nilai, makna serta relasi tersendiri bagi manusia. Bentuk pengelolaan pun beragam caranya. Setiap cara memiliki pandangan, nilai dan makna tersendiri. Tak heran bila keberadaan hutan dihargai, dihormati bukan suatu hal yang berlebihan tetapi menjadi satuan nilai budaya masyarakat setempat. Semua ini merupakan bentuk ucapan, cermin perilaku dalam mengungkapkan rasa terima kasih yang tertinggi, sebab hutan telah memberi mereka kehidupan.


Tidak kurang dari 859 dari 1430 desa di Sulawesi tengah tercatat secara geografis terletak di dalam dan sekitar kawasan hutan. Selanjutnya sekitar 300 ribu jiwa jumlah penduduk di kabupaten Donggala memperoleh sebagian kebutuhan sandang, pangan, papan juga bahan obat-obatan dari dalam hutan yang luasnya mencapai 1.121.201,58 H. Informasi ini menunjukkan dekatnya garis relasi sosial, budaya, ekonomi serta ekologis baik dari segi fungsi dan tata nilai antara masyarakat dengan hutan-nya.

Sejak ditetapkan berbagai status kawasan hutan di Sulawesi Tengah, melalui sejumlah bentuk kebijakan negara, telah mempengaruhi dinamika ekonomi, sosial, budaya masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan. Beberapa areal pengelolaan pertanian masyarakat sebagai basis sumber pangan seperti oma, ova, bonde, pampa, polida, tinalu maupun lopo sekarang ini sebagian besar telah ditetapkan menjadi areal kawasan hutan yang harus dilindungi. Klaim tersebut berakibat pada sistem ketahanan pangan masyarakat, khusus mereka yang selama ini hidup berladang. Situasi ini erat kaitannya terhadap akses sumberdaya hutan yang dimilikinya. Tak heran jika kemiskinan masih melanda masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan cenderung terus meningkat. Ini menjelaskan bahwa penetapan status areal hutan oleh negara turut pula merubah dalam tata kuasa, tata kelola sumberdaya hutan secara tradisi dan budaya. Olehnya sistem tata produksi hingga pada tata konsumsi masyarakat mengalami kemorosotan.

Di tengah perjalanan perubahan tersebut, hadir berbagai bencana alam yang di-indikasikan telah terjadi perubahan bentang alam akibat kerusakan hutan. Di daerah kabupaten Donggala beberapa kasus akibat deforestrasi kawasan hutan dapat tergambar misalnya; banjir bandang di kecamatan Tanambulava, banjir bandang di daerah Palolo, banjir di desa Omu, putusnya jalan transportasi Palu – Kulawi akibat tanah longsor adalah fakta akibat terus meningkatnya kerusakan kawasan hutan yang harus dicarikan jalan keluar bersama.

Berbagai kasus kerusakan kawasan hutan saat ini menjadi rahasia umum. Berlangsungnya kegiatan eksploitasi hutan melalui pembalakan kayu baik secara legal maupun illegal merupakan faktor utama. Kehadiran perusahaan kayu yang jumlahnya tidak kurang dari 200 perusahaan kayu dan soumil yang beroperasi di Sulawesi Tengah menjadi pertanyaan. Sebab kerap kali masyarakat yang hidup didalam dan sekitar hutan menjadi subjek sekaligus objek faktor utama kerusakan hutan. Jika ditelusuri, sungguh menyedihkan. Karena faktor kebutuhan harus rela menjadi buruh upahan sekedar memenuhi kebutuhan makan.

Kondisi demikian akhirnya membawa kita kedalam arena perdebatan. Baik mengarah bahkan sampai terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang hingga saat ini pada kenyataannya seakan tak pernah berhenti. Membicarakan ruang lingkup konflik sumberdaya hutan, ada dua hal menjadi titik sentral perdebatannya, Pertama; lingkup pemanfaatan dan Kedua; lingkup perlindungan. Dua hal ini menjadi produk yang dikemas secara baik dengan menggunakan sejumlah argumentasi dari berbagai sudut pandang. Namun pada tahap dan situasi tertentu antara pemanfaatan dan perlindungan harus berhadapan bahkan mengalami pertentangan. Situasi dan kondisi ini mengisyaratkan pada kita semua bahwa persoalan paradigma dalam melihat pengelolaan sumberdaya hutan masih mengalami perbedaan. Belum lagi dipicu oleh kebijakan yang mengatur tentang sumberdaya alam yang tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Tak heran jika mendorong lebih tajam konflik pengelolaan sumberdaya hutan

Sehingga sangat terasa bahwa kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Proses konversi hutan menjadi berbagai peruntukan lain seperti areal konsesi HPH, perkebunan besar swasta, transmigrasi, pertambangan dan lainnya belum secara tegas memperhatikan aspek kepentingan masyarakat lokal

Awal 1970-an masa kelam bagi masyarakat yang hidup di dan sekitar hutan. Seperti yang dialami masyarakat Tompu yang berada ± 5 Km sebelah timur desa Ngata Baru diusir dari kampungnya. Akibat proses itu, kini keberadaan masyarakat Tompu tersebar kebeberapa wilayah bahkan karena takut sebagian memilih untuk menetap di Parigi Mpu, Pandere, Palolo, Kawatuna, Ngata Baru dan Loru. Peristiwa itu bukan saja terjadi di Tompu, namun hampir bersamaan dengan masyarakat lokal di beberapa perkampungan yang berada disepanjang pegunungan sebelah barat kota Palu. Yaitu; kampung Biopore, Matantimali, Panasibaja, Dompu, Ongulero, Gimpubia, Bambakanini, Mabere, Vayu dan kampung Taipangga tak luput dari korban kebijakan departemen kehutanan dengan modus yang sama. Jumlah masyarakat perkampungan tersebut ±1000 jiwa harus dipindahkan ke daerah Palolo.

Peristiwa diatas hanya mewakili puluhan fakta lainnya. Begitu banyak kasus yang sama dan dialami masyarakat lokal yang hidup di dan sekitar hutan yang belum diceritakan bahkan terungkap. Ini membuktikan serta membuka mata kita semua akan sajian realitas yang pahit dari lembar kebijakan penetapan kawasan hutan.

Paling tidak ada tiga bentuk respon masyarakat terhadap kebijakan penetapan kawasan hutan. Pertama; Kultivasi yakni mengabaikan pelarangan untuk mengelola dalam kawasan hutan dengan cara tetap melakukan aktivitas perladangan/kebun didalam kawasan tanpa peduli soal hak atas tanah tersebut. Kedua; Integrasi yakni menerima kehadiran penetapan kawasan hutan tetapi pemerintah harus mengakui keberadaan wilayah adat dan menuntut hak kepemilikan tradisional masyarakat dalam wilayah tersebut dan Ketiga; Aneksasi yakni melakukan perlawanan terbuka atas penetapan kawasan hutan dengan cara mereklaiming, Okupasi, Penebangan hutan dan menuntut hak kepemilikan atas tanah

Sehingga berpikir dan bertindak bersama menjadi kebutuhan dalam melihat pemanfaatan dan perlindungan terhadap sumberdaya hutan dan penting untuk dicermati secara kritis baik latar belakang historisnya. Bila perlu berbagai tata penggunaan bahasa dengan sudut pandang disiplin ilmu yang berbeda harus ditinjau kembali tanpa harus mendiskreditkan pandangan masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar hutan.. Realitas ini menyadarkan kita, bahwa pentingnya membangun persepsi, pola kerjasama yang setara, adil serta berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya hutan antara masyarakat dengan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat dan kelestarian kawasan hutan untuk masa sekarang dan kedepan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar