#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Kamis, 08 Desember 2011

LAHIRNYA SEBUAH PERATURAN DAERAH KOTA PALU, TERKAIT PENANGANAN KONFLIK BERBASIS KOMUNITAS

Oleh : Wing Prabowo, SH

Manusia sebagai mahluk sosial, secara lahiriah dan batiniah memerlukan orang lain dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Sejak lahir, ia mulai berinteraksi dan bergantung dengan keluarganya. Seiring pertambahan usia, kerangka pola interaksi yang dilakukan semakin meluas merambah lingkungan di luar keluarga. Dari pola interaksi itulah kemudian saat nilai-nilai, norma-norma, kepentingan-kepentingan, dan faktor pembeda lainnya yang melekat pada diri manusia itu saling berbenturan, tak dapat saling memahami, akhirnya menciptakan perseteruan-perseteruan yang berunjung pada sebuah konflik.

Memang pada dasarnya konflik tidak selalu berdampak negatif. Kadangkala segala perbedaan baik etnis, ras maupun agama mampu terkelola secara baik, memunculkan hal-hal positif yang sangat berguna bagi bangsa bersangkutan. Pengelolaan konflik dapat kita ibaratkan layaknya seorang koki yang dengan keahliannya berhasil meracik berbagai macam bumbu dan akhirnya menghasilkan  masakan yang begitu lezat untuk dinikmati. Keragaman nilai-nilai budaya di masyarakat akan menjadi kekayaan budaya bangsa sebagai ciri dari kemajemukan penduduknya yang bisa hidup bersama dengan menonjolkan sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya.

Konflik merupakan dinamika kehidupan manusia yang tidak mungkin di hindari. Namun mesti di waspadai ketika konflik itu telah mengarah pada tindakan-tindakan kekerasan fisik, teror, ancaman dan sebagainya, melibatkan antar golongan maupun antar masyarakat suatu wilayah. Apalagi ketika perbedaan etnis, ras dan agama sudah menjadi faktor pembeda saat konflik, menunjukan ada tingkat kerawanan hubungan sosial-budaya di masyarakat. Contoh kongkrit sangat jelas terlihat pada konflik di Ambon, Sambas dan Poso dimana lokasi konflik dengan cepat meluas dan menimbulkan dampak besar bagi kehidupan masyarakat. Namun tak dapat pula dipungkiri konflik yang terjadi bukan hanya bersifat horisontal atau antar masyarakat, tetapi ada pula konflik yang bersifat vertikal dimana ditandai dengan ketidakpuasan sekelompok atau warga masyarakat atas kebijakan-kebijakan yang lahir dari pemerintah.

Pada dasarnya penanganan atas konflik amat berbeda dengan penanganan jenis bencana alam maupun bencana non alam. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, bencana dikategorikan menjadi tiga jenis:
1.    Bencana Alam yaitu bencana yang diakibatkan peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti gunung meletus, tsunami, gempa bumi, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
2.    Bencana Non Alam yaitu bencana yang diakibatkan peristiwa atau serangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3.  Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

Ada dua catatan ketika mengkaji peraturan perundang-undangan ini yaitu pertama, konflik yang dimaksud dalam peraturan ini hanya terfokus ke peristiwa konflik yang bersifat horisontal atau melibatkan antar masyarakat saja. Padahal melihat realita di masyarakat, begitu banyak konflik yang terjadi memiliki kaitan erat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.  Kedua, berbicara pembagian jenis bencana di atas sebenarnya menggambarkan akar penyebab yang berlainan satu sama lain. Bila telah jelas seperti itu maka tentu saja penanganannya juga semestinya akan berbeda. Bila bencana alam mampu di prediksi melalui gejala-gejala alam yang ada, namun konflik tak dapat di prediksi demikian. Secara kasat mata kita melihat kondisi masyarakat begitu tenang, tentram dan damai, tetapi dalam beberapa hari, bulan atau tahun kondisi tersebut bisa saja berubah drastis dengan terciptanya konflik di tengah-tengah masyarakat.

Seperti yang telah diungkap di atas bahwa konflik merupakan dinamika kehidupan manusia. Siapa pun manusia itu, pasti pernah merasakan dan akan selalu merasakan konflik baik di dalam lingkungan keluarganya maupun diluar lingkungan keluarganya. Karena merupakan bagian kehidupan yang integral bagi manusia maka seharusnya manusia pun tahu bagaimana cara atau metode menyelesaikan konflik tersebut. Berangkat dari pemikiran yang sama melihat konflik, maka dengan melibatkan berbagai pihak yang ada di Kota Palu, lalu di cobalah merumuskan sebuah regulasi daerah Kota Palu dengan mengutamakan peran-peran masyarakat dalam meminimalisir potensi konflik dan menggunakan metode penyelesaian konflik berdasarkan keadaan sosial-budaya setempat seperti menggunakan pendekatan kekeluargaan, pendekatan norma adat atau hukum adat, pendekatan musyawarah dan lain sebagainya.

Kota Palu mempunyai karakteristik wilayah khas, terletak di dataran lembah dan teluk palu. Luas wilayah 395,06 kilometer persegi tepat berada di garis khatulistiwa. Secara administratif, Kota Palu terbagi pada 4 Kecamatan dan 43 Kelurahan dengan jumlah penduduk sementara adalah 335.297 orang, terdiri atas 169.207 laki-laki dan 166.090 perempuan. ( Hasil Sensus Penduduk 2010 Kota Palu, Data Agregat Per Kecamatan (BPS Kota Palu)

Dengan menyandang status Ibu Kota Propinsi Sulawesi Tengah sekaligus Kotamadya Tingkat II, memberikan perubahan signifikan kepada keadaan Kota Palu ditinjau dari aspek ekonomi, politik, sosial, budaya dan pertahanan-keamanan. Arus urbanisasi meningkat pesat dan turut pula mempengaruhi peningkatan keragaman etnis, ras maupun agama. Menurut perhitungan data Kanwil Agama Propinsi Sulawesi Tengah jumlah pemeluk agama penduduk Kota Palu terdiri atas Islam 251.326, Kristen 42.905, Katolik 8.361, Hindu 3.100, dan Budha 7.484. Sedang prosentase jumlah penduduk menurut suku di Kota Palu pada tahun 2009, penduduk asli beretnis kaili dengan sub etnik Ledo, Rai, Doi, Unde, Da’a dan Tara (38, 71%), Bugis (22, 47%), Jawa (9,38%), Minahasa (3, 42%), Toraja (3,06 %), Gorontalo (2,86 %), Makassar (2,08 %), Buol (1,21 %), Lainnya (16,81 %). Seiring dinamika masyarakat, jika di amati secara seksama konflik-konflik sosial yang pernah terjadi di Kota Palu, secara umum dapat kita golongkan:
1.    Perseteruan antar masyarakat berbeda Kelurahan, Kecamatan atau antar wilayah Kota    dengan Kabupaten (tapal batas wilayah serta perebutan Sumber Daya Alam).
2.  Disharmoni antar warga masyarakat yang berlainan etnis/suku, agama dan ras (akibat ketimpangan sosial, ekonomi, pengangguran dan lain-lain).
3.    Serta konflik terkait penerapan kebijakan dan arah pembangunan daerah.

Olehnya karena memandang begitu urgensinya pembentukan suatu sistem penanganan konflik yang secara prosedural termuat dalam kebijakan hukum pemerintah daerah Kota Palu dilakukan, kemudian tim perumus Rancangan Peraturan Daerah Kota Palu menyusun konsep Naskah Akademik Penanganan Konflik Berbasis Komunitas meliputi:
1.        Pencegahan Konflik terdiri atas:
     a. Sistem Peringatan Dini Konflik Berbasis Komunitas meliputi:
  1. Sistem Deteksi Dini Konflik 
  2. Analisa Potensi Konflik 
  3. Penyampaian Hasil Analisa Konflik
  4.  Belum Memasuki Taraf Waspada 
  5. Telah Memasuki Taraf Waspada 
  6. Peringatan Dini Konflik 
  7. Respon Dini Konflik
     b. Pelatihan-pelatihan Bagi Masyarakat
     c. Mendukung Aktifitas-aktifitas Pembangunan Perdamaian

2.    Penghentian Konflik terdiri atas:
     a. Penghentian Kekerasan
     b. Penyelamatan Dan Evakuasi
     c. Penyelesaian Konflik

3.    Pemulihan Pasca Konflik terdiri atas:
     a. Rehabilitasi
     b. Rekontruksi

Seluruh tahapan-tahapan ini mengutamakan peran-peran berbagai tokoh masyarakat, agama, pemuda, organisasi kemasyarakatan dan lain-lain guna menjalankan sistem penanganan konflik berbasis komunitas sebagai wujud tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah Kota Palu dan masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, damai, dan tentram di seluruh wilayah administratif Kota Palu.


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar