#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Jumat, 20 April 2012

Bertahan Hidup Dalam Ketidakadilan & Ketidakpastian Hak Pengelolaan Sumberdaya Laut


(Syahrun Latjupa)

Ekosistem pesisir di wilayah Sulawesi Tengah, memendam potensi sumberdaya alam yang apabila dikelola secara optimal akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat pesisir. Namun kenyataan-nya,  pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tersebut masih berada pada titik siapa yang berhak dan bagaimana bentuk  pengelolaan-nya.


Praktik penangkapan ikan menggunakan bom, potasium, serta menambang terumbu karang dan menebang hutan bakau sekadar untuk menyambung hidup keluarga merupakan fenomena yang dijumpai merata hampir di seluruh wilayah pesisir. Tak dapat dipungkiri akibat desakan kebutuhan hidup dan kemiskinan yang tergolong absolut.

Klaim hak dan gap antara nelayan-nelayan kecil dan nelayan-nelayan besar yang nota bene pengusaha ikan, turut memicu terciptanya persaingan kearah yang destruktif. Ini terjadi, karena adanya kepentingan yang berbeda dan yang paling mendasar adalah cara pandang terhadap objek sumberdaya laut yang berbeda.

Beberapa contoh kasus yang ditemui yaitu masyarakat setempat memanfaatkan wilayah tersebut untuk mengambil ikan atau telur penyu secara tradisional dan telah dikelola sejak turun temurun sesuai kearifan setempat. Namun oleh institusi kehutanan menetapkan daerah tangkapan tradisional tersebut sebagai areal konservasi. Sehingga masyarakat setempat dilarang mengambil ikan atau telur penyu dengan alasan bahwa distribusi peruntukan ruang dalam wilayah itu peruntukan ruangnya untuk fungsi lindung atau fungsi budidaya.

Pada tempat yang berbeda, penebangan hutan bakau untuk pembangunan dermaga oleh pengusaha pasir, batu dan lain- lain tidak pernah dipermasalahkan pemerintah. “ jika kepentingan ekonomi kami pasti dipermasalahkan, tapi untuk para pengusaha pemerintah diam saja”. Sebenarnya siapa yang merusak..? kami atau mereka ?. Keluh seorang nelayan saat menceritakan kenyataan yag terjadi di desanya.

Kasus lain yakni persaingan para nelayan tradisional yang hanya menggunakan alat penangkap ikan berupa pancing atau pukat dengan nelayan yang memiliki modal dengan menggunakan perahu motor dan mulai melakukan eksploitasi terhadap wilayah tangkapan mereka. Dari sisi penghasilan tentunya nelayan kecil dirugikan. Sementara wilayah pengelolaan tradisional mereka tidak lagi diakui bahkan siapapun dapat mengakses secara bebas. Sehingga nelayan kecil yang juga masyarakat setempat untuk bersaing maka mengambil jalan pintas yakni dengan cara membuat bom ikan. Oleh pemerintah bahwa penggunaan bom ikan tidak dibolehkan, karena memang dapat merusak terumbu karang dan berakibat buruk pada perkembangan ekosistem laut pada masa mendatang.

Namun realitas kehidupan para nelayan kecil hanya dengan cara itu mereka dapat bertahan hidup dan memiliki penghasilan agak lebih. Olehnya dengan demikian cara pandang dan kepentingan berbeda, mendorong pada terciptanya ruang konflik. Olehnya tak heran jika akhir – akhir ini berbagai kasus penolakan tambak, bagan ikan yang dikelola oleh pengusaha mulai terlihat sebagai gejala potensi konflik dan sangat memprihatinkan jika sampai pada fase pengrusakan dan kontak fisik.

Permasalahan diatas hanya sebagian kecil ilustrasi permasalahan yang kerapkali terjadi pada masyarakat pesisir di Sulawesi Tengah. Intinya bahwa berbagai konflik yang terjadi pada dasarnya berakar pada konflik tenurial. Oleh Ostrom sistem tenurial adalah sistem penguasaan atas sumber daya agraria dalam suatu masyarakat. Oleh Wiradi istilah ini biasanya digunakan dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang mendasar dari aspek penguasaan sumber daya yakni mengenai status hukumnya.

Sistem tenurial di wilayah darat maupun laut biasanya berlaku atas kesepakatan-kesepakatan adat maupun lokal. Meskipun demikian, penerbitan ijin usaha oleh pemerintah di wilayah tersebut tidak pernah putus diberikan bahkan tidak sedikit terjadi tumpang tindih kebijakan bahkan kerapkali bertolak belakang dengan kearifan masyarakat setempat. Pada dasarnya dalam penerbitan izin usaha pengelolaan sumberdaya laut di Indonesia, menganut sistem Open Acses yaitu sistem dimana setiap orang memiliki hak guna memanfaatkan sumberdaya laut yang berada dalam wilayah Negara Indonesia. Bagi penganut doktrin ini, di atas perairan pesisir dan laut haram hukumnya diterbitkan hak sebab akan menimbulkan penguasaan yang eksklusif dan membatasi akses orang lain. Mereka menganggap perairan pesisir dan laut sebagai milik semua orang sehingga hukum harus memastikan bahwa setiap orang terlindungi aksesnya pada perairan pesisir dan laut. Hal – hal inilah menyebabkan konflik terjadi baik antar masyarakat maupun antar masyarakat dan pemerintah, sebab sistem Open Acses mengindahkan sistem tenurial yang telah terbangun di masyarakat hukum adat/masyarakat lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar