(Syahrun Latjupa)
Ekosistem pesisir di wilayah Sulawesi Tengah, memendam potensi
sumberdaya alam yang apabila dikelola secara optimal akan mendatangkan kemakmuran
bagi masyarakat pesisir. Namun kenyataan-nya, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tersebut masih berada pada titik siapa yang
berhak dan bagaimana bentuk pengelolaan-nya.
Praktik penangkapan ikan menggunakan bom, potasium, serta
menambang terumbu karang dan menebang hutan bakau sekadar untuk menyambung
hidup keluarga merupakan fenomena yang dijumpai merata hampir di seluruh
wilayah pesisir. Tak dapat dipungkiri akibat desakan kebutuhan hidup dan kemiskinan
yang tergolong absolut.
Klaim hak dan gap antara nelayan-nelayan kecil dan
nelayan-nelayan besar yang nota bene pengusaha ikan, turut memicu terciptanya persaingan
kearah yang destruktif. Ini terjadi, karena adanya kepentingan yang
berbeda dan yang paling mendasar adalah cara pandang terhadap objek sumberdaya
laut yang berbeda.
Beberapa contoh kasus yang ditemui yaitu masyarakat
setempat memanfaatkan wilayah tersebut untuk mengambil ikan atau telur penyu
secara tradisional dan telah dikelola sejak turun temurun sesuai kearifan
setempat. Namun oleh institusi kehutanan menetapkan daerah tangkapan tradisional
tersebut sebagai areal konservasi. Sehingga masyarakat setempat dilarang
mengambil ikan atau telur penyu dengan alasan bahwa distribusi peruntukan ruang dalam wilayah itu peruntukan ruangnya untuk fungsi
lindung atau fungsi budidaya.
Pada tempat yang berbeda, penebangan hutan bakau
untuk pembangunan dermaga oleh pengusaha pasir, batu dan lain- lain tidak
pernah dipermasalahkan pemerintah. “ jika
kepentingan ekonomi kami pasti dipermasalahkan, tapi untuk para pengusaha
pemerintah diam saja”. Sebenarnya siapa yang merusak..? kami atau mereka ?.
Keluh seorang nelayan saat menceritakan kenyataan yag terjadi di desanya.
Kasus lain yakni persaingan para
nelayan tradisional yang hanya menggunakan alat penangkap ikan berupa pancing
atau pukat dengan nelayan yang memiliki modal dengan menggunakan perahu motor
dan mulai melakukan eksploitasi terhadap wilayah tangkapan mereka. Dari sisi
penghasilan tentunya nelayan kecil dirugikan. Sementara wilayah pengelolaan
tradisional mereka tidak lagi diakui bahkan siapapun dapat mengakses secara
bebas. Sehingga nelayan kecil yang juga masyarakat setempat untuk bersaing maka
mengambil jalan pintas yakni dengan cara membuat bom ikan. Oleh pemerintah
bahwa penggunaan bom ikan tidak dibolehkan, karena memang dapat merusak terumbu
karang dan berakibat buruk pada perkembangan ekosistem laut pada masa
mendatang.
Namun realitas kehidupan para nelayan kecil hanya dengan cara
itu mereka dapat bertahan hidup dan memiliki penghasilan agak lebih. Olehnya dengan demikian cara pandang dan kepentingan berbeda, mendorong pada
terciptanya ruang konflik. Olehnya tak heran jika akhir – akhir ini berbagai
kasus penolakan tambak, bagan ikan yang dikelola oleh pengusaha mulai terlihat sebagai gejala potensi konflik dan sangat memprihatinkan jika sampai pada
fase pengrusakan dan kontak fisik.
Permasalahan diatas hanya
sebagian kecil ilustrasi permasalahan yang kerapkali terjadi pada masyarakat
pesisir di Sulawesi Tengah. Intinya bahwa berbagai konflik
yang terjadi pada dasarnya berakar pada konflik tenurial. Oleh Ostrom sistem
tenurial adalah sistem penguasaan atas sumber daya agraria dalam suatu masyarakat. Oleh Wiradi istilah ini biasanya
digunakan dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang
mendasar dari aspek penguasaan sumber daya yakni mengenai status hukumnya.
Sistem tenurial di wilayah darat
maupun laut biasanya berlaku atas kesepakatan-kesepakatan adat maupun lokal.
Meskipun demikian, penerbitan ijin usaha oleh pemerintah di wilayah tersebut
tidak pernah putus diberikan bahkan tidak sedikit terjadi tumpang tindih
kebijakan bahkan kerapkali bertolak belakang dengan kearifan masyarakat
setempat. Pada dasarnya dalam penerbitan izin usaha pengelolaan sumberdaya laut
di Indonesia, menganut sistem Open Acses yaitu
sistem dimana setiap orang memiliki hak guna memanfaatkan sumberdaya laut yang
berada dalam wilayah Negara Indonesia. Bagi penganut doktrin ini, di atas
perairan pesisir dan laut haram hukumnya diterbitkan hak sebab akan menimbulkan
penguasaan yang eksklusif dan membatasi akses orang lain. Mereka menganggap
perairan pesisir dan laut sebagai milik semua orang sehingga hukum harus
memastikan bahwa setiap orang terlindungi aksesnya pada perairan pesisir dan
laut. Hal – hal inilah menyebabkan konflik terjadi baik
antar masyarakat maupun antar masyarakat dan pemerintah, sebab sistem Open Acses mengindahkan sistem tenurial
yang telah terbangun di masyarakat hukum adat/masyarakat lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar