awam green,
Jutaan hektare lahan di Kalbar telah dialihfungsikan, khususnya di sektor perkebunan dan pertambangan. Namun itu belum membuat kehidupan sosial, budaya, dan politik masyarakat menjadi lebih baik.
“Penetrasi modal yang dilakukan investasi asing telah membuat kaum tani tidak berdaya dan pasrah menerima kenyataan. Tanah-tanah yang telah mereka olah selama ratusan tahun telah dialihfungsikan menjadi perkebunan, pertambangan, HPH, maupun HTI,” kata A Sutomo, Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Wilayah Kalbar, kepada Equator via email, beberapa waktu lalu.
Dengan kewenangannya membuat kebijakan, kata dia, pemerintah terus mengeluarkan regulasi yang memberikan karpet merah terhadap masuknya investasi asing ke Kalbar. Seperti UU Nomor 4 Tahun 1960 tentang Penanaman Modal Asing, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2007 tentang Investasi Pemerintah.
Kemudian, sambung Sutomo, dikeluarkannya UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, kemudian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Tidak berhenti sampai di situ saja, Sutomo melanjutkan, Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalbar yang telah memasuki tahapan pansus di DPRD Kalbar, juga mengatur masalah alih fungsi lahan. Selanjutnya akan mengancam eksistensi kaum tani dan masyarakat adat.
Sutomo mengungkapkan, hingga saat ini di Kalbar terdapat 378 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan luas izin konsesi 4,6 juta hektare. Bahkan tidak akan berhenti, karena pemerintah sudah mencanangkan 10 juta hektare tanah untuk perkebunan kelapa sawit.
Dari 378 perusahaan itu, ia mengatakan, Sinar Mas Group adalah pemegang konsesi terbesar yaitu mencapai 254.700 hektare dan perkebunan kayu sebesar 56.297 hektare. Kini Sinar Mas Group melalui anak perusahaannya Sinar Mas Forestry (SMF) kembali mendapatkan konsesi lahan baru untuk pembangunan perkebunan kayu atau hutan tanaman industri (HTI) seluas 361.000 hektare.
Jumlah itu nantinya, menurut Sutomo, akan dikembangkan di Kabupaten Sanggau dan Sekadau dengan luas 60.000 hektare, Kabupaten Kubu Raya 4.000 hektare, dan Kabupaten Ketapang 1.900 hektare, melalui enam anak perusahaan Sinar Mas Forestry.
“Menurut Head Licence, Public Relations & Forest Protection Development Sinar Mas Group Regional Kalbar Petrus Lie, ke depannya Sinar Mas akan terus menargetkan ekspansi seluas 41.000 hektare setiap tahunnya,” paparnya.
Perusahaan pertambangan tidak kalah intensifnya mengeruk kekayaan alam bumi Borneo hingga saat ini. Sutomo mengatakan di Kalbar sudah keluar paling tidak 40 izin eksploitasi dan eksplorasi tambang. PT ANTAM Tbk yang merupakan perusahaan negara yang bergerak di bidang pertambangan, memiliki wilayah kontrak pertambangan di Kecamatan Tayan, Kecamatan Toba dan Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau dengan luas 36.410 hektare.
Selanjutnya, dikatakan dia, disusul PT Harita Prima Abadi Mineral sejak tahun 2006 memiliki luas konsesi pertambangan 295.605 hektare di Kecamatan Simpang Hulu, Simpang dua, Sandai, Marau, Air Upas, dan Kecamatan Kendawangan Kabupaten Ketapang.
“Jadi dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jalan yang sangat mudah bagi perusahaan swasta dalam maupun luar negeri, untuk mengeruk tanah dan kekayaan alam Bumi Khatulistiwa ini,” kata Sutomo.
Ia menilai, sejak tingginya intensitas modal melakukan penetrasi sudah jutaan triliun rupiah dihasilkan. Namun di sisi lain kehidupan sosial, budaya dan politik rakyat tidak jauh beranjak dari tungku keterbelakangan.
Karena itu, pihaknya beranggapan kecil sekali kontribusi perusahaan yang mengeruk kekayaan alam bumi Kalbar terhadap pembangunan infrastruktur, maupun dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Malah penetrasi modal yang besar untuk perkebunan, pertambangan, HTI, dan HPH tersebut, selain membuat terampasnya tanah, malah menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan dan ancaman kerawanan pangan bagi kaum tani.
Sutomo mencontohkan persoalan yang masih hangat antara kaum tani di Desa Seruat II Kabupaten Kubu Raya dengan PT Sintang Raya. Kaum tani yang tidak terima perusahaan memeta-metakan tanah mereka, malah menuding kaum tani telah melakukan pelanggaran hukum. Sehingga akhirnya beberapa kaum tani diinterogasi oleh kepolisian dan dijadikan tersangka dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan, KUHAP pasal 335 ayat 1. (jul)
www.equator-news.com
Jutaan hektare lahan di Kalbar telah dialihfungsikan, khususnya di sektor perkebunan dan pertambangan. Namun itu belum membuat kehidupan sosial, budaya, dan politik masyarakat menjadi lebih baik.
“Penetrasi modal yang dilakukan investasi asing telah membuat kaum tani tidak berdaya dan pasrah menerima kenyataan. Tanah-tanah yang telah mereka olah selama ratusan tahun telah dialihfungsikan menjadi perkebunan, pertambangan, HPH, maupun HTI,” kata A Sutomo, Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Wilayah Kalbar, kepada Equator via email, beberapa waktu lalu.
Dengan kewenangannya membuat kebijakan, kata dia, pemerintah terus mengeluarkan regulasi yang memberikan karpet merah terhadap masuknya investasi asing ke Kalbar. Seperti UU Nomor 4 Tahun 1960 tentang Penanaman Modal Asing, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2007 tentang Investasi Pemerintah.
Kemudian, sambung Sutomo, dikeluarkannya UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, kemudian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Tidak berhenti sampai di situ saja, Sutomo melanjutkan, Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalbar yang telah memasuki tahapan pansus di DPRD Kalbar, juga mengatur masalah alih fungsi lahan. Selanjutnya akan mengancam eksistensi kaum tani dan masyarakat adat.
Sutomo mengungkapkan, hingga saat ini di Kalbar terdapat 378 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan luas izin konsesi 4,6 juta hektare. Bahkan tidak akan berhenti, karena pemerintah sudah mencanangkan 10 juta hektare tanah untuk perkebunan kelapa sawit.
Dari 378 perusahaan itu, ia mengatakan, Sinar Mas Group adalah pemegang konsesi terbesar yaitu mencapai 254.700 hektare dan perkebunan kayu sebesar 56.297 hektare. Kini Sinar Mas Group melalui anak perusahaannya Sinar Mas Forestry (SMF) kembali mendapatkan konsesi lahan baru untuk pembangunan perkebunan kayu atau hutan tanaman industri (HTI) seluas 361.000 hektare.
Jumlah itu nantinya, menurut Sutomo, akan dikembangkan di Kabupaten Sanggau dan Sekadau dengan luas 60.000 hektare, Kabupaten Kubu Raya 4.000 hektare, dan Kabupaten Ketapang 1.900 hektare, melalui enam anak perusahaan Sinar Mas Forestry.
“Menurut Head Licence, Public Relations & Forest Protection Development Sinar Mas Group Regional Kalbar Petrus Lie, ke depannya Sinar Mas akan terus menargetkan ekspansi seluas 41.000 hektare setiap tahunnya,” paparnya.
Perusahaan pertambangan tidak kalah intensifnya mengeruk kekayaan alam bumi Borneo hingga saat ini. Sutomo mengatakan di Kalbar sudah keluar paling tidak 40 izin eksploitasi dan eksplorasi tambang. PT ANTAM Tbk yang merupakan perusahaan negara yang bergerak di bidang pertambangan, memiliki wilayah kontrak pertambangan di Kecamatan Tayan, Kecamatan Toba dan Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau dengan luas 36.410 hektare.
Selanjutnya, dikatakan dia, disusul PT Harita Prima Abadi Mineral sejak tahun 2006 memiliki luas konsesi pertambangan 295.605 hektare di Kecamatan Simpang Hulu, Simpang dua, Sandai, Marau, Air Upas, dan Kecamatan Kendawangan Kabupaten Ketapang.
“Jadi dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jalan yang sangat mudah bagi perusahaan swasta dalam maupun luar negeri, untuk mengeruk tanah dan kekayaan alam Bumi Khatulistiwa ini,” kata Sutomo.
Ia menilai, sejak tingginya intensitas modal melakukan penetrasi sudah jutaan triliun rupiah dihasilkan. Namun di sisi lain kehidupan sosial, budaya dan politik rakyat tidak jauh beranjak dari tungku keterbelakangan.
Karena itu, pihaknya beranggapan kecil sekali kontribusi perusahaan yang mengeruk kekayaan alam bumi Kalbar terhadap pembangunan infrastruktur, maupun dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Malah penetrasi modal yang besar untuk perkebunan, pertambangan, HTI, dan HPH tersebut, selain membuat terampasnya tanah, malah menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan dan ancaman kerawanan pangan bagi kaum tani.
Sutomo mencontohkan persoalan yang masih hangat antara kaum tani di Desa Seruat II Kabupaten Kubu Raya dengan PT Sintang Raya. Kaum tani yang tidak terima perusahaan memeta-metakan tanah mereka, malah menuding kaum tani telah melakukan pelanggaran hukum. Sehingga akhirnya beberapa kaum tani diinterogasi oleh kepolisian dan dijadikan tersangka dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan, KUHAP pasal 335 ayat 1. (jul)
www.equator-news.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar