#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Senin, 25 Juni 2012

Jembatan Rotan dan Sistem Barter di Luwu Utara

awam green
Sepasang jembatan gantung yang talinya dari bahan baku rotan merentang di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Kedua jembatan gantung tersebut, adalah jembatan tua yang hanya menggunakan kayu papan sebagai alas.

Namun, sekalipun hanya berupa jembatan rotan, jembatan penghubung ini menjadi tumpuan masyarakat dalam menjalankan aktivitas perekonomian, dan menunjang dunia pendidikan bagi anak-anak usia sekolah. Tak heran jika masyarakat sangat merawat jembatan tersebut. Jika ada tali rotan yang putus atau papan lantai yang rusak, maka warga secara bersama-sama langsung memperbaikinya.

“Kami terpaksa menggunakan jembatan ini, dikarenakan belum adanya jembatan permanen yang dibangun pemerintah. Setiap harinya anak-anak harus melewati jembatan gantung menuju ke rumah sekolah, begitupun warga yang membawa hasil panennya ke pusat kecamatan di Desa Padang Balua,” ungkap Ahmad, warga Seko yang ditemui akhir pekan lalu.

Bagi anak-anak pelajar tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tersebar di beberapa desa, tidak ada pilihan lain selain melintasi jembatan gantung tersebut. Setiap harinya, mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak di pegunungan, lalu melintasi jembatan gantung, menuju ke sekolah yang berada di pusat kecamatan. Pasalnya, SMP/SMA, hanya terdapat di pusat Kecamatan Padang Bulua. "Itupun hanya ada satu sekolah SMP dan satu SMA, kecuali Sekolah Dasar saja yang ada tersebar di setiap desa," kaya Ahmad.

Tidak adanya transportasi yang tersedia seperti halnya di kota, mengharuskan para siswa berjalan kaki menuju ke sekolah. Sementara desa terdekat dari pusat kecamatan, adalah Desa Tanete, dengan jarak tempuh berkisar enam kilometer. Hal ini memaksa anak-anak sekolah di beberapa desa di Kecamatan Seko, harus meninggalkan rumah di pagi buta. Sebagian besar, mengenakan baju biasa saat berangkat ke sekolah, sementara baju seragam dimasukan di dalam tas.

“Anak-anak sekolah berangkat dari rumah pada subuh dengan hanya mengenakan pakaian biasa. Nanti di tengah perjalanan meraka mengganti baju seragam setelah singgah mandi di sungai,” ungkap Melki, staf Humas Pemda Luwu Utara.

Uniknya, siswa di Kecamatan Sseko, berangkat ke sekolah dengan memegang kayu kering yang ujungnya dibakar, lalu mereka goyang-goyangkan hingga mengeluarkan bara cahaya api. Bara api dari ujung kayu yang terbakar, berfungsi sebagai peneranggan, pengganti obor, saat mereka menyusuri jalan setapak pada subuh hari. “Dulunya anak-anak menggunakan obor saat berangkat ke sekolah pada subuh hari, namun setelah harga minyak tanah mahal, mereka terpaksa menggunakan kayu kering yang ujungnya di bakar untuk penerangan,” tambah Melki

Masyarakat pegunungan di Kecamatan Seko juga belum bisa menikmati betul penerangan listrik. Hal ini disebabkan hanya ada satu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas daya terbatas, di mana warga dijatah maksimal per satu rumah hanya bisa menggunakan tiga mata lampu, dan itupun belum semuanya rumah terjangkau listrik.  Sementara untuk transprtasi pengangkutan barang dari satu desa ke desa lainya, warga Seko, masih menggunakan transportasi kuda.

Barter
Hal menarik lain yang ditemui di kawasan ini adalah masih digunakannya perdagangan sistem barter. Misalnya, panen hasil bumi seperti beras, kopi dan kakao, ditukar dengan pakaian, gula pasir atau bahan kebutuhan pokok lainya. “Perdagangan sistem barter ini sudah berlangsung sejak dahulu, dan tetap berlaku hingga sekarang. Hal ini disebabkan kami, warga, lebih nyaman bertransaksi dengan cara menukar barang, karena jika membeli dengan tunai, harga bahan cukup mahal,” ungkap Azwar, yang bertugas sebagai staf di Kantor Camat Seko.

Perbandingan harga, mencapai tiga kali lipat dari harga normal di pasar. Sebagai gambaran, jika mie instan di Pasar Masamba dijual dengan harga Rp 1.000, maka di Kecamatan Seko, satu bungkus mie instan dijual dengan harga Rp 3.000, demikian halnya dengan bahan pokok lainnya.

Azwar menambahkan, tingginya harga bahan sandang pangan di Kecamatan Seko, karena ongkos transportasi (tarif ojek 600,000 - 700,000), akibat buruknya kondisi jalan yang dilalui dari ibu kota kecamatan tepatnya di Masamba, Dengan jarak tempuh berkisar 130 kilometer.

Kecamatan Seko adalah salah satu kecamatan terpencil di Kabupaten Luwu Utara, yang lokasinya berada di daerah dataran tinggi, tepatnya di wilayah pegunungan Kambuno dengan ketinggian berkisar 2900 meter di atas permukaan laut. Aktivitas masyarakat Seko yang tersebar di 12 desa, hampir seluruhnya berprofesi sebagai petani, kebun dan berternak kerbau, di mana daerah tersebut dikenal dengan hasil kopi terbaiknya.

Husain | Glori K. Wadrianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar