Oleh :
Junaidi Abdul Munif
SUNGAI sejak
mula sejarahnya, menjadi pusat peradaban dunia. Daerah sekitar sungai menandai
kawasan subur yang menjadi tulang punggung kehidupan di sekitarnya. Sungai Nil
di Mesir, Tigris dan Eufrat di Mesopotamia, Gangga di India, dan Mekong di Tiongkok,
menjadi bukti bahwa sungai memiliki andil besar untuk menciptakan peradaban
sebuah bangsa.
Sungai
menjadi sarana transportasi utama. Karena modernitas, peran sungai digantikan
oleh transportasi darat, lalu udara. Sungai yang menjadi saksi hidup peradaban,
akhirnya hanya menjadi lanskap kota yang membawa bencana. Sungai dibicarakan
justru karena banjir yang menerjang.
Karena itu, acara-acara sakral, menggunakan sungai sebagai tempat persembahan, mengungkapkan rasa syukur terhadap anugerah Sang Pencipta. Kearifan menjaga sungai sebagai denyut kehidupan itulah yang kini mulai terkikis dari jiwa masyarakat, tidak hanya masyarakat urban perkotaan, tapi juga pedesaan. Di kota, daerah sekitar sungai menjadi kawasan kumuh, tempat hunian orang-orang marjinal. Sungai menjadi tempat sampah dan MCK terpanjang.
Di pedesaan, pun setali tiga uang. Rumput-rumput yang tinggi dibiarkan, memanjang hingga mengganggu aliran sungai. Atau diubah jadi lahan pertanian. Tanggul sungai menjadi ladang yang menghasilkan tanaman ekonomis. Proses pengolahan tanah: mencangkul tanah dan menggemburkan tanah membuat tanggul menjadi rawan longsor dan terjadi erosi.
Akibatnya terjadi pendangkalan sungai karena tanah turun ke sungai. Di musim hujan, volume air meningkat sehingga sungai yang dangkal tak mampu menampung debit air. Sungai tidak lagi dianggap sebuah lanskap geografis yang sakral, patut dijaga, dibersihkan agar ia memberi yang terbaik bagi manusia. Masyarakat semakin teralienasi secara spiritual dari sungai.
Kisah Sunan Kalijaga
Di Jawa Tengah, dalam kisah Walisongo (Walisembilan), Raden Sahid merampok seorang wali, Sunan Bonang. Dia gagal merampok, dan mengabdi menjadi murid. Sunan Bonang memberi syarat, Raden Said disuruh untuk bertapa di tepi sungai, menjaga tongkat yang ditancapkan di tepi sungai. Inilah ihwal mula gelar sebagai Sunan Kalijaga, sunan yang menjaga sungai.
Kisah Sunan Kalijaga mengandung pesan spiritualitas yang dalam, bahwa sungai mesti dijaga. Ia menjadi arena untuk bertapa, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Menjaga kali menjadi ujian bagaimana kesungguhan Sunan Kalijaga untuk tunduk pada titah sang guru.
Mestinya masyarakat hari ini mulai mentransformasikan spirit menjaga sungai sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Masaru Emoto, dalam bukunya The True Power of Water, menjelaskan bahwa air adalah benda hidup yang mampu merespon motivasi di sekitar atau yang terjadi dalam dirinya.
Sungai dengan air yang bersih, ternyata menghasilkan kristal yang bening dan indah. Sementara sungai yang berair kotor menghasilkan kristal yang buruk dan tak beraturan. Jika kita percaya bahwa air adalah benda yang hidup seperti diteliti oleh Emoto, mestinya air juga bisa merespon negatif apa yang kita berikan padanya. Secara ekstrem, peristiwa banjir adalah bentuk "balas dendam" air akibat ulah semena-mena manusia.
Mungkin ini hal yang irasional, namun justru di sinilah pesan-pesan transendental yang bisa dipetik dari laku Sunan Kalijaga menjaga sungai. Menjaga sungai tidak hanya dimaknai secara simbolik dengan duduk terpaku menjaga sungai, namun diaplikasikan dengan langkah nyata membersihkan dari tumpukan sampah yang menghambat aliran air.
Masyarakat Indonesia secara keseluruhan adalah masyarakat yang masih percaya folklore (dongeng rakyat) yang menjadi spirit kehidupan masyarakat. Memahamkan masyarakat tidak hanya dengan menyampaikan dampak ekologis sungai, tapi juga pesan-pesan spiritualitas yang dikandung dari perilaku menjaga sungai.
Ketidakarifan menjaga sungai pada akhirnya menghadirkan resiko yang fatal. Sungai menjadi lokasi kumuh, tempat orang-orang kalah yang dalam pertarungan basis sosial masyarakat urban. Mereka menjadi buah simalakama bagi pemerintah karena dianggap mengganggu estetika kota. Semua masalah sosial itu tak akan terjadi jika spirit menjaga kearifan sungai masih kita pegang teguh hingga hari ini.
Penulis adalah Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar