Akhir-akhir ini konflik kehutanan khususnya masalah tenurial
kembali marak terjadi di Sumatera Utara. Dominan konflik tersebut disertai
tindak kekerasan oleh aparatur kepolisian maupun kelompok sipil seperti yang
dialami masyarakat Padang Lawas, Langkat, Madina, Tapanuli Selatan, dan Humbang
Hasundutan.
Bukan hanya itu, kriminalisasi kepada rakyat juga selalu
menjadi ujung tombak meredam aksi rakyat untuk menuntut haknya. "Kami
Sangat menyesalkan dan sekaligus khawatir dengan cara-cara pendekatan
penanganan konflik yang terjadi, karena akan memicu suasana tidak kondusif di
Sumatera Utara," demikian ujar Sekjen Komunitas Peduli Hutan Sumatera
Utara (KPHSU) Jimmy Panjaitan.
Sesungguhnya berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No: P.6/Menhut-II/2012 Tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan (Dekosentrasi) Bidang Kehutanan Tahun 2012 kepada Gubernur, Gubsu punya wewenang turut campur dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Beberapa urusan yang dilimpahkan dan dapat dikaitkan dalam penyelesaian konflik tersebut yakni, Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pengelolaan hutan tanaman, identifikasi dan inventarisasi masalah kehutanan, dan Pengamanan hutan. "Sudah setengah tahun peraturan itu terbit, kami belum melihat Gubsu mengambil inisiatif kewenangan yang dimilikinya," tegas Jimmy.
Selain itu, Gubsu sebagai kepala pemerintahan provinsi tentu harus proaktif dalam penyelesaian masalah-masalah yang melibatkan komunitas rakyat. Oleh karena itu, kami mendesak Gubsu untuk segera membuat satuan tugas dalam penyelesaian konflik kehutanan ini serta mengkordinasikan dengan kepolisian dan aparatur pengamanan lainnya untuk tidak melakukan pendekatan tindakan kekerasan. "Gubsu jangan melakukan pembiaran terhadap konflik-konflik yang terjadi," tandasnya. (mc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar