awam green, Palu - Sulawesi tengah
RPP tembakau merupakan wujud diskriminasi hukum yang mendudukkan tanaman tembakau sebagai senyawa zat adiktif.
Pemerintah sudah mengajukan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengesahkan draf RPP tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau.
Namun sejumlah petani tembakau dan stakeholder industri rokok yang tergabung dalam Koalisi Nasional Penyelamtan Kretek (KNPK) memprotes langkah itu. Apa saja isi keberatan nota keberatan KNPK?
Menurut Zulvan Kurniawan dari KNPK, mereka merasa RPP itu merupakan wujud diskriminasi hukum yang mendudukkan tanaman tembakau sebagai senyawa zat adiktif. Di pasal 1 RPP itu, tidak ada deskripsi penjelasan tentang makna definisi zat adiktif. Artimya RPP hanya seakan menuduh tembakau dan produk rokok saja yang dimasukkan dalam pengaturan zat adiktif.
"Dalam RPP yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah ternyata tidak
mengatur seluruh bahan yang mengandung zat adiktif, hanya mengenai
tembakau. Apakah bahan yang mengandung zat adiktif hanya tembakau
saja?," kata Zulvan dalam keterangan persnya yang diterima di Jakarta,
Rabu (4/7).
Pemerintah sudah mengajukan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengesahkan draf RPP tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau.
Namun sejumlah petani tembakau dan stakeholder industri rokok yang tergabung dalam Koalisi Nasional Penyelamtan Kretek (KNPK) memprotes langkah itu. Apa saja isi keberatan nota keberatan KNPK?
Menurut Zulvan Kurniawan dari KNPK, mereka merasa RPP itu merupakan wujud diskriminasi hukum yang mendudukkan tanaman tembakau sebagai senyawa zat adiktif. Di pasal 1 RPP itu, tidak ada deskripsi penjelasan tentang makna definisi zat adiktif. Artimya RPP hanya seakan menuduh tembakau dan produk rokok saja yang dimasukkan dalam pengaturan zat adiktif.
"Kalau memang demikian, mengapa pengaturan terhadap tembakau dan rokok tidak sekalian dimasukan ke dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika?"
Menurut KNPK, secara politik hukum, dapat dipahami bahwa regulasi tersebut adalah upaya dari Pemerintah mengeliminasi produk rokok sebagai hasil olahan tembakau secara perlahan-lahan. Sebab sudah sejak awal di RPP dikesankan bahwa produk tembakau pasti adiktif.
"Bagaimana kalau di masa depan ternyata ditemukan bahwa produk tembakau ternyata bermanfaat bagi kesehatan?" kata Zulvan.
Zulvan menyatakan pihaknya juga keberatan dengan pasal 12 RPP yang melarang penggunaan bahan-bahan lainnya di produk rokok. Padahal itu lazim digunakan dalam proses pembuatan rokok. Misalnya rokok kretek, kata dia, yang pasti mengandung ramuan tradisonal berupa rempah penambah rasa dan aroma, yang merupakan kekhasan dan keunikan produk rokok kretek Indonesia.
"Ketentuan ini berpotensi membuka atau membeberkan resep dari masing-masing produk tembakau yang merupakan rahasia dagang dari masing-masing perusahaan. Resep dan trade-secret ini sangat berharga dan harus dilindungi dari pesaing dan pemalsu. Sehingga penerapan ketentuan ini haruslah diiringi dengan jaminan dari pemerintah akan terlindunginya resep dan rahasia dagang dari pesaing dan pemalsu," bebernya.
Soal kawasan tanpa rokok (KTR), Zulvan mengatakan pihaknya berharap adanya klausul mewajibkan pembangunan Ruang Merokok dalam pengaturan KTR.
"Adanya dua kategori tersebut membuka peluang bagi perokok untuk merokok di tempat tertentu dapat terpenuhi tanpa mengganggu orang lain yang tidak merokok. Selain itu, merokok di udara terbuka seyogyanya diperbolehkan karena asap rokok akan secara natural terlarutkan dalam udara bebas sehingga tingkat pemaparan asap terhadap non perokok akan jauh lebih rendah," tuturnya.
Pengaturan soal kemasan dan pelabelan produk tembakau di RPP juga dinilai akan membuat biaya produksi membengkak. Soal wajibnya sertifikat juga dianggap akan merugikan industri rokok menengah-kecil, dimana umumnya tidak mempunyai sertifikat merek.
"Ujungnya ini akan berimplikasi pada kalah bersaing dengan industri rokok yang besar. Secara tidak langsung ketentuan tersebut merupakan bentuk monopoli industri rokok besar untuk menguasai pasar dengan cara aturan promosi yang dibuat tidak seimbang," tandas dia.
Dia menegaskan bahwa selama ini selama ini KNPK merasa berbagai input dalam perumusan regulasi tersebut tampak lebih merujuk kepada akomodasi berbagai kepentingan industri rokok besar yang dimiliki asing daripada industri skala menengah-kecil.
"Kami menengarai adanya kepentingan modal asing yang bekerja di balik proses legislasi Undang-Undang Kesehatan maupun RPP Tembakau. Kami berharap setidaknya Pemerintah mau menunda proses pengesahan RPP hingga isi klausul pasal demi pasal mencerminkan akomodasi kepentingan kami," jelasnya.
Dia mengatakan para petani dan stakeholder merasa Pemerintah membuat RPP bukan demi hak kesehatan masyarakat, namun hanya bermaksud mengadopsi secara ketat klausul-klausul Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).
Padahal aturan demikian berminat melakukan eliminasi terhadap industri kretek nasional, kata Zulvan.
Menurutnya, pengaturan soal produksi dan peredaran produk tembakau melalui pengaturan model kemasan dengan peringatan kesehatan, periklanan, dan sponsorship, akan berdampak pada gulung tikarnya industri rokok khususnya menengah-kecil atau rumahan. Hal itu akan berdampak lebih jauh pada terjadinya PHK dan pengangguran yang besar.
Padahal, kontribusi industri rokok terhadap ekonomi nasional Indonesia sangatlah besar. Saat gejolak sosial-politik hingga krisis ekonomi melanda dunia, industri rokok terus menerus memberikan kontribusi yang menonjol dalam penerimaan cukai negara.
"Selain itu, besarnya penyerapan tenaga kerja sektor industri tembakau pun jelas tidak bisa dipandang sebelah mata oleh Pemerintah." kata Zulvan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar