Dia menjunjung kearifan lokal, menggunakan bibit warisan nenek moyang.
Petani adalah pekerjaan
mulia. Sayangnya, lelah dan keringat deras dari pekerjaan itu tak
sebanding dengan hasil yang diperoleh. Petani banyak yang miskin karena
bibit dan pupuk mahal, sedangkan hasilnya sedikit.
Saat panen, hasil tani semusim itu kebanyakan hanya untuk menambal utang. Petani pun kerap kesulitan modal saat musim tanam tiba.
Hal itu juga dialami Joharipin, pria berumur 37 yang terlahir dari keluarga petani sederhana di Desa Jengkok, kecamatan Kertasemaya, Indramayu, Jawa Barat.
Untuk
itu, Joharipin memutar otak agar lingkaran setan kemiskinan tak
melilitnya. Berbekal pengalamannya sebagai siswa sekolah lapangan, pada
2004, ia mulai mencoba-coba cari padi bibit unggul. Prosesnya lama, dan
akhirnya menemukanSaat panen, hasil tani semusim itu kebanyakan hanya untuk menambal utang. Petani pun kerap kesulitan modal saat musim tanam tiba.
Hal itu juga dialami Joharipin, pria berumur 37 yang terlahir dari keluarga petani sederhana di Desa Jengkok, kecamatan Kertasemaya, Indramayu, Jawa Barat.
Bukan dari impor atau bikinan pabrik, bibit
ini justru padi lokal asli yang belum mengenal pestisida dan zat kimia
lain. Dia menggabungkan padi jenis kebo dengan longgo, yang kemudian
diberinama padi bonggong. Joharipin harus keliling mencari bibit ini,
karena sudah lama ditinggalkan masyarakat.
Hebatnya, sawah yang biasanya cuma menghasilkan empat ton per hektare, dengan bibit lokal ciptaannya, hasil panennya melonjak menjadi 7-10 ton. "Rupanya, kami harus menjunjung kearifan lokal, menggunakan bibit warisan nenek moyang," kata dia kepada VIVAnews.
Sukses sendiri tak membuatnya sombong, ia mengajari tetangganya tips kesuksesan itu. Satu dua orang mulai mengikuti dan hasilnya pun sama, hasil panen meningkat dua kali lipat. Dari mulut ke mulut kesuksesan itu disampaikan.
Joharipin akhirnya membagi gratis tips-tips ke masyarakat sekitar. Sekarang, hampir semua petani di wilayahnya sudah menggunakan bonggol, bibit temuannya itu. Tak cuma bibit, ia dibantu petani setempat membuat pupuk organik. Kini, petani tak pernah lagi membeli pupuk bikinan pabrik.
Namun, kesuksesan ini tak mulus. Bukannya bantuan dari pemerintah yang ia dapat, tetapi malah teror dan tekanan. Alasannya, petani kini tak mau lagi menggunakan bibit dan pupuk yang telah ditentukan desa. Tentunya, yang semua bikinan pabrik dan bercampur kimia itu.
Hebatnya, sawah yang biasanya cuma menghasilkan empat ton per hektare, dengan bibit lokal ciptaannya, hasil panennya melonjak menjadi 7-10 ton. "Rupanya, kami harus menjunjung kearifan lokal, menggunakan bibit warisan nenek moyang," kata dia kepada VIVAnews.
Sukses sendiri tak membuatnya sombong, ia mengajari tetangganya tips kesuksesan itu. Satu dua orang mulai mengikuti dan hasilnya pun sama, hasil panen meningkat dua kali lipat. Dari mulut ke mulut kesuksesan itu disampaikan.
Joharipin akhirnya membagi gratis tips-tips ke masyarakat sekitar. Sekarang, hampir semua petani di wilayahnya sudah menggunakan bonggol, bibit temuannya itu. Tak cuma bibit, ia dibantu petani setempat membuat pupuk organik. Kini, petani tak pernah lagi membeli pupuk bikinan pabrik.
Namun, kesuksesan ini tak mulus. Bukannya bantuan dari pemerintah yang ia dapat, tetapi malah teror dan tekanan. Alasannya, petani kini tak mau lagi menggunakan bibit dan pupuk yang telah ditentukan desa. Tentunya, yang semua bikinan pabrik dan bercampur kimia itu.
"Sepertinya, pemerintah
tak senang kalau petani ini maju, karena bisa jadi ancaman mereka,"
katanya. "Kami seperti sapi perahan."
Kini, ratusan petani di wilayahnya telah maju. Baru-baru ini, Joharipin mendirikan koperasi simpan pinjam dengan simpanan pokok dan simpanan wajib sebisa petani. Hasilnya pun luar biasa. Belum genap setahun, mereka sudah memiliki kas Rp25 juta.
Joharipin menuturkan, perputaran uang petani di Jengkok lumayan besar. Dari benih saja bisa lebih dari Rp150 juta. Jadi, bila semua transaksi ini melalui koperasi, masyarakat makin sejahtera.
Kini, ratusan petani di wilayahnya telah maju. Baru-baru ini, Joharipin mendirikan koperasi simpan pinjam dengan simpanan pokok dan simpanan wajib sebisa petani. Hasilnya pun luar biasa. Belum genap setahun, mereka sudah memiliki kas Rp25 juta.
Joharipin menuturkan, perputaran uang petani di Jengkok lumayan besar. Dari benih saja bisa lebih dari Rp150 juta. Jadi, bila semua transaksi ini melalui koperasi, masyarakat makin sejahtera.
Bagaimana tidak, desanya
memiliki sawah 350 hektare dengan kebutuhan benih lokal 20 kilogram per
hektare. Sedangkan harga benih itu Rp11 ribu per kilogram. Jadi, dalam
semusim sekitar Rp77 juta. Belum lagi panennya. Ini bisa miliaran
rupiah.
Hadi Suprapto, Nina Rahayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar