AG-Palu Sulawesi Tengah
Oleh : Muhammad Gunari
Kecemasan kita terhadap punahnya kebudayaan
daerah membentuk sebuah ilustrasi miris: pada suatu saat kebudayaan
daerah itu tinggal makam keramat yang dipuja. Di satu sisi kita telah
mengagung-agungkan kesenian tradisional sebagai asset kebudayaan daerah.
Di lain kenyataan, eksistensi kehidupan kebudayaan daerah sudah layu.
Nyaris mati atau tidak terpakai lagi dalam kehidupan masyarakat kita.
Kenyataan pahit itu makin didukung pengaruh globalisasi dan sikap
generasi muda kita yang makin rapuh saja menerima arus kebudayaan asing.
Desa dengan homogenitas
penduduknya ternyata tak bisa kita pungkiri, desalah sebenarnya pusat
kebudayaan daerah itu. Dan memang akar kebudayaan daerah—baca:
tradisonal—lahir dan tumbuh dari desa. Masyarakat desa yang monokultur
merupakan apresiator kebudayaan yang teguh dan loyal dalam
mempertahankan tradisi leluhurnya.
Lihat saja betapa upacara-upacara tradisional semacam ruwatan dari Jawa, reba dari Riau, pesta Gendang Guro Aron (Karo) dan sebagainya merupakan tradisi masyarakat desa yang masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Belum lagi upacara-upacara adat perkawinan dan kesenian tradisional, hidup dan berkembang di alam pedesaan kita.
Meski demikian tidak bisa dipungkiri, erosi kebudayaan daerah
sebagaimana yang kita cemaskan sudah dapat mulai kita rasakan. Kain
kebaya yang dulu masih dikenakan para gadis di acara pesta atau
pertemuan umum lainnya, tapi sekarang ini hanya dipakai pada saat pesta
kalau bertugas menerima tamu saja. Sebagai penggantinya, para gadis
memakai gaun pesta yang berkiblat pada rancangan Barat.Lihat saja betapa upacara-upacara tradisional semacam ruwatan dari Jawa, reba dari Riau, pesta Gendang Guro Aron (Karo) dan sebagainya merupakan tradisi masyarakat desa yang masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Belum lagi upacara-upacara adat perkawinan dan kesenian tradisional, hidup dan berkembang di alam pedesaan kita.
Apakah ini bagian dari konsekuensi kemajuan pembangunan? Entahlah. Desa sebagai basis kebudayaan daerah pun sekarang tengah mengalami revolusi budaya perilaku yang berkiblat justeru pada jendela kemajuan yang baru diterimanya. Berbagai upaya peningkatan sarana pembangunan pedesaan, ternyata tidak saja mengubah tata wajah desa, tapi tata laku manusianya juga.
Kalau dulu sebelum ada listrik masuk desa, masyarakat desa tidak ada yang berniat membeli pesawat televisi, tape recorder dan alat elektronik lainnya. Kini berkat upaya pembangunan ekonomi pedesaan yang makin meningkat di mana sarana jalan sudah bagus, bukan saja rakyat mampu membeli pesawat televisi tapi masyarakat desa sudah mampu membeli sepedamotor, kulkas dan sebagainya.
Semua kemajuan fisik itu adalah cita-cita dan harapan pembangunan. Akan tetapi sungguh mati, si Upik yang kemarin rambutnya masih hitam tergerai panjang sebahu itu, kini tidak hanya dipotong pendek, tetapi rambutnya sudah berwarna-warni, gara-gara dia melihat penampilan baru artis idolanya nampil di acara telivisi.
Kesenian wayang Purwo yang dulu masih kita temukan di komunitas orang Jawa di perkebunan Sumatera Utara, khususnya untuk hiburan acara pesta keluarga, sekarang jarang ditemukan lagi di desa. Dalam sebuah acara keluarga atau peringatan hari besar nasional, panitia lebih cenderung menyelenggarakan hiburan pop ketimbang menanggap kesenian tradisional desa. Demikian pula dengan nasib miris kebudayaan lokal lainnya yang mulai ditinggalkan.
Kenyataan ini membuktikan kemajuan pembangunan yang diterima di satu sisi memberikan dampak yang cukup positif untuk menunjang kesejahteraan, namun di lain sisi kebudayaan daerah hanyut terbawa erosi yang diakibatkan arus kebudayaan baru yang mereka terima lewat kemajuan sarana pembangunan.
Menggerogoti
Salahkah pembangunan masuk desa? Salahkah revolusi budaya perilaku orang desa? Sebenarnya tidak. Sebab "tradisional" itu sendiri tidak statis. Di samping memang ada beberapa produk kesenian tradisional yang baku, kesenian ludruk , misalnya, dapat bercerita tentang kehidupan modern. Kalau dulu mereka main dengan lampu sentir dan obor di lapangan terbuka, kini mereka bisa dimainkan di gedung pertunjukan teater dengan teknik pencahayaan yang indah.
Desa sebagai basis pertahanan kebudayaan tradisional terkadang diabaikan. Desa adalah bumi tumbuhnya akar kebudayaan daerah selama berabad-abad. Kemudian berbagai kemajuan zaman mau tak mau diterima juga oleh masyarakat pedesaan. Sayangnya berbagai kemajuan pembanguan tersebut terkadang turut memengaruhi dan menggerogoti apresiasi masyarakat desa terhadap kesenian tradisional, meskipun telah tercipta sedemikian lama.
Ini adalah sebuah konsekuensi penyerta yang tidak boleh tidak. Seperti benda dengan bayangan. Hanya saja selaku pelaku pembangunan, terkadang kita lupa untuk mencarikan tangkal keseimbangannya bagi upaya pelestarian kebudayaan daerah.
Pembangunan sub sektor kebudayaan selalu terlambat datangnya. Ketika ada gejala baru mulai diantisipasi. Sementara ketika kebudayaan tradisional masih tumbuh subur di buminya kita lupa merawatnya dan memupuknya.
Slogan pelestarian budaya tradisional kemudian muncul, lomba dan festival kebudayaan daerah dalam rangka pelestarian diadakan, pun pelaksanaannya di kota dimana orang cenderung menonton kesenian tradisional hanya dalam rangka menghormati saja.
Agaknya kita lupa, bahwa pusat kebudayaan daerah itu sesungguhnya adalah desa. Desa sesungguhnya yang butuh festival. Desa yang tengah mengalami masa transisi kemajuan dalam orde pembangunan, di lain sisi adalah basis pertahanan kebudayaan daerah. Karena akar kebudayaan tradisional itu sendiri hidup dan tumbuh di alam pedesaan.
Jadi, pembinaan apresiasi kebudayaan tradisional itu lebih kena sesungguhnya ditekankan terhadap masyarakat desa sebagai basis pertahanan budaya tradisional. Apa lagi dalam menghadapi era pembangunan dengan konsekuensi yang turut mempengaruhi transformasi nilai budaya desa. Jadi sebaiknya untuk memasang daya tangkal terhadap arus transformasi yang merugikan kehidupan kebudayaan tradisional kita memang harus menyalurkan dan mengembalikan pembangunan kebudayaan tradisional itu baik pembangunan sarana perangkat keras atau lunak kepada desa sebagai basisnya. ***
Penulis peminat masalah sosial budaya dan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar