#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Selasa, 03 Juli 2012

Penulis Buku “Lapindo, Konspirasi SBY-Bakrie” Masih Hilang

awam green,

Penulis buku “Lumpur Lapindo File, Konspirasi SBY-BAKRIE”, Ali Azhar Akbar dinyatakan masih hilang. Seharusnya, siang hari ini, Ali Azhar menghadiri sidang kedua di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dimulai pukul 13.30 WIB terkait permohonan uji materi pasal 18 UU APBN-P 2012 tentang alokasi anggaran untuk kepentingan Lumpur Lapindo terhadap pasal 23 ayat (1), pasal 23 C, dan pasal 23 E UUD 1945 sebagai landasan uji materiil.

Saat diminta untuk memperkenalkan diri oleh Hakim Konstitusi, kuasa hukum pemohon, Taufik Budiman menyatakan, bahwa hingga saat ini, Ali Azhar masih hilang kontak. Taufik hanya memperkenalkan dua pemohon lainnya, yaitu Dr. Tjuk Kasturi Sukiadi dan Letjen Marinir (Purn) Soeharto.

“Kami perkenalkan, di sebelah kanan saya, adalah pemohon, Dr Tjuk Kasturi Sukiadi, dan sebelah kanan lagi, Letjen Marinir (Purn) Soeharto. Adapun, bapak Ali Azhar Akbar, hingga saat ini kami masih kehilangan kontak dengan beliau,” kata Taufik Budiman di hadapan majelis hakim, Selasa siang (3/7), di ruang sidang Mahkamah Konstitusi.
Dalam keterangan pers-nya, usai sidang yang hanya berlangsung sekitar 15 menit itu, Taufik Budiman menjelaskan, pihaknya telah meminta perlindungan keamanan langsung kepada Kapolri pada 26 Juni lalu. Begitu pula, ia telah meminta perlindungan sebagai saksi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Kami sudah minta perlindungan ke Kapolri dan LPSK untuk keamanan Ali Akbar. Namun, hingga saat ini belum ada respon dari Mabes Polri. LPSK juga belum memberikan perlindungan pada kliennya, karena menurut pejabat LPSK, pihak yang meminta perlindungan haruslah menjadi korban tindak pidana,” jelas Taufik.

Taufik menambahkan, dengan adanya perlindungan dari lembaga negara, seperti Polri atau LPSK, pihaknya berharap apabila memang benar ada ancaman keselamatan, Ali Akbar akan berani menampakkan diri.

“Saya berharap, beliau tidak mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan. Karena beliau adalah orang yang memegang bukti-bukti penting terkait dengan permohonan uji materi ini,” kata Taufik lagi.

Ali Azhar Akbar, diberitakan hilang sejak ketidakhadirannya pada acara launching dan diskusi buku yang ditulisnya pada 22 Juni lalu, di Aula Barat ITB, Bandung. Saat itu, seharusnya Ali tampil sebagai salah seorang pembicara bersama sejumlah pembahas, antara lain Prof. R.P Koesumadinata (guru besar geologi ITB), Dr. Tjuk K. Sukiadi (pendiri Gerakan Menutup Lumpur Lapindo) dan Dr. Aidul Fitriciada Azhari, MH (pakar Hukum Tata Negara UMS).

Sementara itu, saat diminta keterangannya oleh para wartawan mengenai konten permohonan uji materi, Taufik menjelaskan bahwa pemerintah tidak boleh bersikap abu-abu dalam persoalan Lumpur Lapindo. Menurutnya, kasus ini harus clear dulu, apakah peristiwa semburan lumpur yang terjadi sejak 6 tahun lalu itu merupakan bencana alam atau akibat kesalahan operasional Lapindo Brantas Inc.

Menurut Taufik, jika Lumpur Lapindo merupakan bencana alam, maka pemerinta harus gunakan UU No. 24/2007 tentang Bencana Alam, dimana selulur biaya penangguangannya sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Andaikan ada pihak swasta, atau pihak luar yang ikut berartisipasi, maka tidak termasuk dalam keharusan.

Akan tetapi, apabila Lumpur Lapindo itu merupakan akibat operational default, sebagaimana banyak dinyatakan oleh ahli drilling dan ahli geologi dunia, maka sudah seharusnya pihak korporasi yang melakukan pengeboran itulah yang sepenuhnya harus membayar semua kerugian, berdasarkan UU tentang Lingkungan Hidup.

“Tidak ada wilayah abu-abu. Lapindo harus bertanggung jawab di area peta terdampak, sementara negara harus pula menanggung kerugian di luar area peta terdampak. Ini kan cuma akal-akalannya Lapindo,” terangnya.

Taufik menambahkan, saat bencana alam terjadi, misalnya Tsunami di Aceh atau di Yogyakarta, maka tidak dikenal istilah area peta terdampak atau luar terdampak. Semua wilayah yang terkena bencana alam menjadi tanggung jawab sepenuhnya negara, dan pihak lain, termasuk swasta, hanya dipersilakan secara sukarela, bukan dengan cara diwajibkan untuk ikut membayar.

“Dengan Lapindo membayar ganti rugi kepada warga korban lumpur, itu berarti fakta hukum yang tak terbantahkan bahwa Lapindo mengakui adanya kesalahan,” imbuhnya.

Dengan adanya permohonan uji materi ini, Taufik berharap agar pemerintah bersikap tegas, apakah negara harus mengeluarkan uang untuk penanggulangan Lumpur Lapindo ataukah tidak. Tentunya, menurut dia, amat tergantung dengan status Lumpur Lapindo itu sebagai bencana alam ataukah sebagai akibat oeprational default.

Dalam uji materi ini, Taufik mengatakan, sudah siap untuk mendatangkan sejumlah saksi yang menguatkan pendapat bahwa Lumpur Lapindo merupakan akibat operational default, termasuk dua saksi ahli geologi dari luar negeri. Dalam penjelasannya, pimpinan Hakim Konstitusi mengatakan, bahwa tambahan bukti yang disampaikan oleh kuasa hukum akan dibawa ke panel hakim untuk dibahas lebih lanjut, apakah permohonan uji materi tersebut telah memenuhi syarat, dan dapat dilanjutkan ataukah tidak.

Pancoran
www.kompasiana.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar