#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Jumat, 17 Agustus 2012

67 Tahun Indonesia Merdeka, Adakah Tanah Untuk Rakyat?

Konflik horisontal terus menodai perjalanan negeri ini jauh sebelum kemerdekaan hingga kini 67 tahun setelah berdaulat. Gesekan selalu saja muncul dengan dalih yang berbeda-beda.

Konflik dengan masyarakat Aceh yang ingin merdeka terselesaikan sudah dengan cara yang amat cantik, yakni diplomasi. Dalam pidato HUT ke-67 Proklamasi Kemerdekaan, Kamis (16/8/2012), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memandang Aceh sebagai model perdamaian, diplomasi, dan demokrasi. Aceh menjadi potret sejarah yang menggambarkan dengan jelas bahwa konflik dapat diselesaikan melalui mekanisme diplomasi dan demokrasi.

Namun, konflik horisontal tetap saja sulit dihindari. Salah satu yang kerap terjadi belakangan ini adalah konflik horisontal akibat persoalan kepemilikan tanah. Yakni konflik antara rakyat dengan pengusaha, antara rakyat dengan rakyat, antara rakyat dengan pemerintah, atau antara rakyat dengan aparat keamanan.
Sebut saja kasus Mesuji atau konflik lahan di PTPN VII Cintamanis, Sumatra Selatan.Dua kasus itu terlihat nyata di mata publik betapa persoalan lahan bisa memicu konflik berdarah.

Dalam pidato yang sama SBY juga menaruh perhatian penting terhadap konflik lahan ini. Ia menyatakan telah membentuk tim terpadu yang terdiri dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kepolisian, dan instansi terkait untuk menyelesaikannya.

“Tim ini saya beri tugas untuk mencari solusi yang terbaik, agar rakyat mendapatkan hak-haknya atas tanah, seraya tetap menjunjung tinggi dan menegakkan pranata hukum(rule of law),” kata SBY.

Akumulasi Tekanan

Aktivis Kontras, Sinung Karto, menilai konflik lahan terjadi akibat adanya akumulasi tekanan secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat.

Menurutnya, proses penyelesaian yang tidak adil memicu konflik baik horisontal maupun vertikal. Masyarakat seperti tidak melihat harapan untuk penyelesaian konflik lahan, seperti dalam kasus di Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Warga tak kunjung mendapat kepastian penyelesaian dari BPN.

Terjadinya tindak kekerasa akibat lahan perlu dilihat secara lebih kritis. Sinung berpendapat, ada faktor lain yang turut memicunya, yakni pola sikap masyarakat Indonesia yang gampang tersulut.

"Mereka mudah tersulut karena ada persinggungan soal kepentingan, kalau antara warga bisa ngerem (emosi) dan berkomunikasi dengan baik, mungkin bentrok tidak terjadi,"ucap Sinung kepada INILAH.COM, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, petugas tidak bisa bersikap netral untuk menjalankan peran dan fungsinya, di mana ada uang, di situlah petugas berpijak membela. Sehingga bentrokan terjadi berkelanjutan.

Dalam setiap bentrokan yang terjadi, petugas selalu berada pada pihak yang dianggap biang kerok, kejam dan menyebabkan warga sipil tewas. Masyarakat desa yang terlibat konflik lahan cenderung berani melawan petugas demi mempertahankan hak-haknya.

Wakil Ketua komisi I fraksi PDIP, TB Hasanuddin berpendapat, setidaknya ada sejumlah penyebab utama konflik horisontal yang kerap terjadi antara warga dengan petugas. Antara lain, penegakan hukum yang masih lemah.

"Ketika ada masalah, mereka bingung meminta solusi kepada siapa? Orang sudah tidak percaya lagi pada aparat polisi, Pemda, pengadilan," tutur Hasanuddin.

Selain itu, kata Hasanuddin, ada kebencian yang menumpuk dari rakyat kepada aparat penegak hukum yang korup dan suka pungli sehingga tidak berwibawa di depan rakyat. Dengan kebencianitu, rakyat berani melawan petugas keamanan.

Adakah solusi untuk mengakhiri konflik semacam ini? Tentu saja ada.

Salah satu upayanya antara lain melalui upaya penegakan hukum yang tegas. "Tertibkan aparat penegak hukum secara keras agar kembali muncul kewibawaanya,” kata Hasanuddin.

Sedangkan Sinung berpendapat, solusi untuk masalah itu adalah melibatkan semua lapisan terkait dalam setiap upaya pencarian solusi. Dalam hal ini, adalah tugas pemerintah untuk memperlihatkan contoh yang baik.

“Harus ada satu contoh penyelesaian konflik lahan yang berakhir damai dan memenangkan semua pihak. Masyarakat harus diperlihatkan sebuah contoh kasus untuk memunculkan kembali harapan-harapan dalam konflik lahan yang ada. Contoh inilah yang akan dipakai untuk menyelesaikan kasus yang sama.”

Pemerintah juga punya solusi sendiri. Sebagaimana disampaikan SBY, bagaimanapun, penyelesaian konflik lahan harus memadukan antara pendekatan hukum dengan penyelesaian sosial dan budaya, agar rasa keadilan dapat semakin dipenuhi. “Kita tidak ingin akibat dari konflik lahan kemudian menimbulkan aksi-aksi kekerasan dan tindakan main hakim sendiri,” tegas SBY.

Akankah upaya itu mengakhiri semua konflik yang muncul? Kita tunggu saja. [tjs]

www.inilah.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar