KOMPAS.COM, Waktu adalah musuh utama ingatan. Di Tanah Runtuh, Kelurahan Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah, kisah tentang runtuhnya kampung itu karena gempa dan tsunami hanya dianggap dongeng. Warga tinggal di pantai tanpa membentengi diri dengan kesiapsiagaan.
"Mertua saya, almarhum Yoto Marauna, pernah cerita bahwa dulu pernah terjadi gempa besar di Palu. Setelah itu, air laut datang sampai ke jalan ini dan merobohkan banyak rumah, makanya di sini disebut Tanah Runtuh," kata Supriyadi (52), sambil menunjuk Jalan Yos Sudarso yang diapit permukiman padat. ”Tetapi, anak-anak muda tidak tahu lagi cerita itu. Saya juga ragu, itu cerita benar atau rekaan.”
Seperti kebanyakan warga Kota Palu, Supriyadi adalah pendatang. Dia berasal dari Jawa dan pindah ke Palu tahun 1980-an. Mertuanya, etnis Kaili, warga asli Palu. ”Kalau gempa sering terjadi di sini, tetapi kecil-kecil,” katanya. ”Tidak berbahaya.”
Rasyid Khaerullah (69) lahir dan besar di Tanah Runtuh. Namun, neneknya pendatang dari Bugis yang bermigrasi ke Palu tahun 1920-an. Rumah Rasyid berbatasan langsung dengan Teluk Palu. ”Memang katanya dulu pernah ada gempa besar,” ujarnya. ”Saat air laut mau naik ke kampung, orang-orang tua kami melempar batu tiga biji. Air tidak jadi naik,” lanjutnya.
Sebagaimana Supriyadi, Rasyid juga menganggap kisah yang dituturkan orangtuanya itu sebagai dongeng. Masyarakat Palu kebanyakan tidak menganggap gempa dan tsunami sebagai ancaman. Survei yang dilakukan Litbang Kompas setahun lalu menemukan 63 persen responden di Kota Palu tidak tahu bahwa daerah mereka rawan bencana. Selain itu, 95 responden juga merasa aman dari risiko bencana alam.
Padahal, menurut penelitian Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tadulako, Abdullah, kisah gempa dan tsunami yang melanda Tanah Runtuh adalah fakta sejarah. ”Tanah Runtuh berada di sesar Palu-Koro sehingga sering dilanda gempa,” kata Abdullah.
Sesar Palu-Koro, menurut Abdullah, merupakan sesar teraktif kedua di Indonesia setelah sesar Sumatera. Sesar ini membujur sepanjang 500 kilometer dari Laut Sulawesi, lalu membelah Kota Palu hingga menuju Teluk Bone di Sulawesi Selatan. Gempa terakhir di sesar Palu- Koro terjadi Sabtu (18/8), menewaskan lima warga Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Abdullah mengatakan, sesar Palu-Koro tak hanya berupa sesar geser, tetapi juga vertikal sehingga berpotensi menyebabkan tsunami. ”Sejak 1927 setidaknya terjadi empat kali tsunami di Teluk Palu dengan ketinggian 4 meter-15 meter,” katanya.
Tsunami pertama tercatat melanda Teluk Palu pada 1 Desember 1927. Pada 1938 terjadi tsunami setinggi 6 meter di tempat yang sama. Tsunami ketiga setinggi 10 meter terjadi tahun 1968 di Teluk Tambung. Tsunami terakhir yang terjadi pada 1 Januari 1996 menghancurkan Donggala.
Hancurnya Tanah Runtuh kemungkinan akibat tsunami yang terjadi pada 1927. Daryono dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam paper-nya, ”Tatanan Tektonik dan Sejarah Kegempaan Palu, Sulawesi Tengah” (2011), menyebutkan, gempa bumi yang mengguncang pada 1927 mengakibatkan kerusakan parah di Kota Palu hingga Biromaru.
Daryono menyebutkan, tsunami juga menghancurkan Pelabuhan Talise dan menyapu rumah di Kampung Tanah Runtuh. Sedikitnya 14 orang meninggal dan 50 orang luka-luka.
Data dari Novosibirsk Tsunami Laboratory bekerja sama dengan World Agency for Planetary Monitoring and Earthquake Risk Reduction (2007) menunjukkan, tinggi tsunami mencapai 15 meter. Dasar laut juga mengalami penurunan sedalam 12 meter.
Geologi Sulawesi
Berada di zona tumbukan tiga lempeng benua yang hiperaktif, yaitu Eurasia, Australia, dan Pasifik, Sulawesi merupakan pulau yang rentan dilanda gempa dan tsunami.
Salah satu catatan tertua tentang gempa di Sulawesi dibuat Alfred Russel Wallace saat berkunjung ke Sulawesi Utara pada Juni-September 1859. Pada 29 Juni 1859 pukul 20.15, Wallace tengah membaca di pondokannya di Rurukan ketika tiba-tiba tanah bergetar. Awalnya getaran itu dirasa lemah. ”Saya duduk diam untuk merasakan sensasi itu”, tulisnya dalam The Malay Archipelago (1869).
Namun, gempa bertambah kuat. Rumahnya bergoyang seperti hendak roboh. Wallace pun menghambur keluar rumah. Teriakan terdengar di seluruh penjuru kampung. ”Tana goyang! Tana goyang!” Semua orang lari di luar rumah, perempuan menjerit dan anak- anak menangis.
Setelah gempa, Wallace menemukan lampu rumahnya jatuh. ”Saya tidak ragu bahwa gempa ini dapat merobohkan cerobong asap dan tembok batu bata. Namun, karena bangunan di sini rendah dan mempunyai kerangka kayu yang kokoh, tidak banyak kerusakan”, tulisnya.
Menurut Wallace, perbedaan antara tragedi dan komedi di Sulawesi sangat tipis. Di satu sisi, terdapat kekuatan alam sangat destruktif: batu-batuan, pegunungan, dan tanah kokoh yang bergetar hebat. ”Kami sama sekali tidak berdaya menghadapi bencana yang setiap saat bisa saja menghabisi kami,” katanya.
Di sisi lain, sejumlah laki-laki, perempuan, dan anak-anak berlarian keluar rumah setiap ada getaran ringan yang tidak berbahaya. ”Hal ini membuat semuanya seolah permainan. Banyak di antara penduduk tertawa,” kisah Wallace.
Sebagaimana diingatkan Wallace, kisah tanah runtuh di Kampung Tanah Runtuh seharusnya tidak pantas dianggap sebagai dongeng belaka, tetapi disikapi dengan kesiapsiagaan....(Laksana Agung Saputra/Amir Sodikin)
"Mertua saya, almarhum Yoto Marauna, pernah cerita bahwa dulu pernah terjadi gempa besar di Palu. Setelah itu, air laut datang sampai ke jalan ini dan merobohkan banyak rumah, makanya di sini disebut Tanah Runtuh," kata Supriyadi (52), sambil menunjuk Jalan Yos Sudarso yang diapit permukiman padat. ”Tetapi, anak-anak muda tidak tahu lagi cerita itu. Saya juga ragu, itu cerita benar atau rekaan.”
Seperti kebanyakan warga Kota Palu, Supriyadi adalah pendatang. Dia berasal dari Jawa dan pindah ke Palu tahun 1980-an. Mertuanya, etnis Kaili, warga asli Palu. ”Kalau gempa sering terjadi di sini, tetapi kecil-kecil,” katanya. ”Tidak berbahaya.”
Rasyid Khaerullah (69) lahir dan besar di Tanah Runtuh. Namun, neneknya pendatang dari Bugis yang bermigrasi ke Palu tahun 1920-an. Rumah Rasyid berbatasan langsung dengan Teluk Palu. ”Memang katanya dulu pernah ada gempa besar,” ujarnya. ”Saat air laut mau naik ke kampung, orang-orang tua kami melempar batu tiga biji. Air tidak jadi naik,” lanjutnya.
Sebagaimana Supriyadi, Rasyid juga menganggap kisah yang dituturkan orangtuanya itu sebagai dongeng. Masyarakat Palu kebanyakan tidak menganggap gempa dan tsunami sebagai ancaman. Survei yang dilakukan Litbang Kompas setahun lalu menemukan 63 persen responden di Kota Palu tidak tahu bahwa daerah mereka rawan bencana. Selain itu, 95 responden juga merasa aman dari risiko bencana alam.
Padahal, menurut penelitian Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tadulako, Abdullah, kisah gempa dan tsunami yang melanda Tanah Runtuh adalah fakta sejarah. ”Tanah Runtuh berada di sesar Palu-Koro sehingga sering dilanda gempa,” kata Abdullah.
Sesar Palu-Koro, menurut Abdullah, merupakan sesar teraktif kedua di Indonesia setelah sesar Sumatera. Sesar ini membujur sepanjang 500 kilometer dari Laut Sulawesi, lalu membelah Kota Palu hingga menuju Teluk Bone di Sulawesi Selatan. Gempa terakhir di sesar Palu- Koro terjadi Sabtu (18/8), menewaskan lima warga Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Abdullah mengatakan, sesar Palu-Koro tak hanya berupa sesar geser, tetapi juga vertikal sehingga berpotensi menyebabkan tsunami. ”Sejak 1927 setidaknya terjadi empat kali tsunami di Teluk Palu dengan ketinggian 4 meter-15 meter,” katanya.
Tsunami pertama tercatat melanda Teluk Palu pada 1 Desember 1927. Pada 1938 terjadi tsunami setinggi 6 meter di tempat yang sama. Tsunami ketiga setinggi 10 meter terjadi tahun 1968 di Teluk Tambung. Tsunami terakhir yang terjadi pada 1 Januari 1996 menghancurkan Donggala.
Hancurnya Tanah Runtuh kemungkinan akibat tsunami yang terjadi pada 1927. Daryono dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam paper-nya, ”Tatanan Tektonik dan Sejarah Kegempaan Palu, Sulawesi Tengah” (2011), menyebutkan, gempa bumi yang mengguncang pada 1927 mengakibatkan kerusakan parah di Kota Palu hingga Biromaru.
Daryono menyebutkan, tsunami juga menghancurkan Pelabuhan Talise dan menyapu rumah di Kampung Tanah Runtuh. Sedikitnya 14 orang meninggal dan 50 orang luka-luka.
Data dari Novosibirsk Tsunami Laboratory bekerja sama dengan World Agency for Planetary Monitoring and Earthquake Risk Reduction (2007) menunjukkan, tinggi tsunami mencapai 15 meter. Dasar laut juga mengalami penurunan sedalam 12 meter.
Geologi Sulawesi
Berada di zona tumbukan tiga lempeng benua yang hiperaktif, yaitu Eurasia, Australia, dan Pasifik, Sulawesi merupakan pulau yang rentan dilanda gempa dan tsunami.
Salah satu catatan tertua tentang gempa di Sulawesi dibuat Alfred Russel Wallace saat berkunjung ke Sulawesi Utara pada Juni-September 1859. Pada 29 Juni 1859 pukul 20.15, Wallace tengah membaca di pondokannya di Rurukan ketika tiba-tiba tanah bergetar. Awalnya getaran itu dirasa lemah. ”Saya duduk diam untuk merasakan sensasi itu”, tulisnya dalam The Malay Archipelago (1869).
Namun, gempa bertambah kuat. Rumahnya bergoyang seperti hendak roboh. Wallace pun menghambur keluar rumah. Teriakan terdengar di seluruh penjuru kampung. ”Tana goyang! Tana goyang!” Semua orang lari di luar rumah, perempuan menjerit dan anak- anak menangis.
Setelah gempa, Wallace menemukan lampu rumahnya jatuh. ”Saya tidak ragu bahwa gempa ini dapat merobohkan cerobong asap dan tembok batu bata. Namun, karena bangunan di sini rendah dan mempunyai kerangka kayu yang kokoh, tidak banyak kerusakan”, tulisnya.
Menurut Wallace, perbedaan antara tragedi dan komedi di Sulawesi sangat tipis. Di satu sisi, terdapat kekuatan alam sangat destruktif: batu-batuan, pegunungan, dan tanah kokoh yang bergetar hebat. ”Kami sama sekali tidak berdaya menghadapi bencana yang setiap saat bisa saja menghabisi kami,” katanya.
Di sisi lain, sejumlah laki-laki, perempuan, dan anak-anak berlarian keluar rumah setiap ada getaran ringan yang tidak berbahaya. ”Hal ini membuat semuanya seolah permainan. Banyak di antara penduduk tertawa,” kisah Wallace.
Sebagaimana diingatkan Wallace, kisah tanah runtuh di Kampung Tanah Runtuh seharusnya tidak pantas dianggap sebagai dongeng belaka, tetapi disikapi dengan kesiapsiagaan....(Laksana Agung Saputra/Amir Sodikin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar