SUARAPEMBARUAN, Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) menyoroti banyaknya pelanggaran dalam pengawakan di kapal-kapal penangkap ikan yang dioperasikan oleh sejumlah perusahaan perikanan di wilayah timur Indonesia, khususnya di laut Maluku. Bahkan KPI juga mengindikasikan terjadi manipulasi dan kriminalisasi dalam penangkapan yang dilakukan oleh kapal-kapal berbendera Indonesia maupun asing.
Presiden KPI, Hanafi Rustandi, kepada SP di Jakarta, Selasa (25/9), mengatakan, kondisi ini sangat memprihatinkan, karena pelaut lokal tergusur oleh pelaut dari daerah lain dan pelaut asing. Dari ratusan kapal penangkap ikan yang beroperasi di laut Maluku, baik yang berbendera Indonesia maupun asing, 80 persen menggunakan awak kapal dari daerah lain, bahkan pelaut asing. “Banyak kapal perikanan yang menggunakan pelaut asing, misalnya dari Tiongkok, Thailand, Burma, Kamboja dan Vietnam,” kata Hanafi.
Presiden KPI, Hanafi Rustandi, kepada SP di Jakarta, Selasa (25/9), mengatakan, kondisi ini sangat memprihatinkan, karena pelaut lokal tergusur oleh pelaut dari daerah lain dan pelaut asing. Dari ratusan kapal penangkap ikan yang beroperasi di laut Maluku, baik yang berbendera Indonesia maupun asing, 80 persen menggunakan awak kapal dari daerah lain, bahkan pelaut asing. “Banyak kapal perikanan yang menggunakan pelaut asing, misalnya dari Tiongkok, Thailand, Burma, Kamboja dan Vietnam,” kata Hanafi.
Dikatakan, besarnya jumlah angkatan kerja usia produktif yang tidak dibarengi tersedianya lapangan kerja yang memadai, merupakan salah satu masalah mendasar di wilayah timur Indonesia, khususnya Maluku. Hal ini mengakibatkan membludaknya jumlah pengangguran SDM terdidik, baik lulusan SLTA maupun perguruan tinggi.
Mereka tidak dapat mengisi lapangan pekerjaan formal, karena banyak direbut oleh pendatang dan orang asing. Terdesak oleh keadaan itu, mereka banyak merantau dengan bekal pendidikan seadanya tanpa keterampilan yang memadai. Dampak negative yang timbul adalah keputusasaan, meningkatkan tindak kriminal dan berbagai masalah sosial lainnya.
Menurut Hanafi, banyak investor menanamkan modalnya di Maluku, termasuk di sektor perikanan, namun penyerapan tenaga kerja lokal sangat sedikit. Produksi ikan di Maluku tahun 2010 tercatat 62,689 ton bernilai Rp 542,431 miliar, meningkat 163,1% dibanding tahun 2009 sebanyak 23,825 ton bernilai Rp 240,172 miliar.
Peningkatan produksi ikan itu disebabkan bertambahnya kapal-kapal penangkap ikan. Namun sangat disayangkan hanya sedikit angkatan kerja produktif lokal yang menikmati hasilnya. “Dari ratusan kapal penangkap ikan baik berbendera Indonesia maupun asing, 80 persen menggunakan pelaut dari daerah lain, termasuk pelaut asing,” ujarnya.
Bahkan banyak pelaut asing menjadi awak kapal berbendera Indonesia. Ulah perusahaan perikanan itu merupakan pelanggaran. Sebab, dalam UU No.45/2009 tentang pengawakan kapal ditegaskan bahwa kapal perikanan berbendera Indonesia harus diawaki oleh pelaut WN Indonesia.
Pelanggaran juga terjadi pada kapal-kapal perikanan asing yang beroperasi di wilayah ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) Indonesia. Di kapal-kapal perikanan itu, minimal 70% dari jumlah awaknya harus diisi oleh pelaut Indonesia. Namun kenyataannya ketentuan itu hanya di atas kertas. “Pemerintah harus menegakkan aturan dan menindak tegas kriminalisasi dalam pengawakan kapal,” tandasnya.
Takut terbongkar Hanafi kemudian menunjuk PT Pusaka Banjina Resource yang beroperasi di Benjina (Maluku) dan PT Maritim Timur Jaya yang beroperasi di Tual, Maluku Tenggara. “Keduanya mempekerjakan awak kapal asing, dan ini merupakan pelanggaran,” tegasnya.
Ia menilai alasan perusahaan mempekerjakan orang asing karena awak kapal Indonesia belum siap, sebagai kebohongan. Apalagi kenyataannya orang asing yang diperkerjakan perusahaan itu semuanya hanya sebagai deckhand (bawahan).
Anehnya lagi, kapal perikanan berbendera Indonesia yang dioperasikan perusahaan tersebut dinakhodai oleh orang asing. Ia mengingatakan UU Pelayaran dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), fungsi nakhoda adalah sebagai wakil negara di atas kapal yang berwenang menegakkan semuan peraturan perundang-undangan Indonesdia d atas kapal. “Bagaimana seorang nakhosa asing bisa menerapkan semua peraturan perundangan Indonesia, sementara ia sendiri berbahasa Indonesia saja tidak bisa?,” tanya dia.
Di sisi lain, Hanafi juga mengindiskasikan banyak terjadi manipulasi dalam penangkapan ikan. Hasil penangkap ikan sering dilaporkan tidak sesuai dengan sebenarnya, bahkan juga sering terjadi transhipment di tengah laut. Menurut Presiden KPI, ulah perusahaan banyak menggunakan awak kapal asing ini takut boroknya terbongkar bila mempekerjakan pelaut Indonesia. Masalahnya, orang Indonesia akan menjadi “mata dan telinga” terhadap ulah kapal penangkap ikan yang sering melakukan transhipment akan di tengah laut yang sangat merugikan negara.
Dalam konteks ini, Hanafi mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, segera menindak tegas semua pelanggaran tersebut, berikut sanksi hukumnya. “Tindakan tegas diperlukan agar kerugian negara tidak semakin besar, sedang kesempatan kerja bagi pelaut lokal di kapal-kapal perikanan juga semakin terbuka,” tukas Hanafi. [E-8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar