Palu Sulteng,
KOMPAS.com - Pasca-keluarnya Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral yang mengharuskan penambahan pajak sebesar 20 persen serta membuat pabrik tersendiri, membuat aktivitas tambang di Kolaka, Sulawesi Tenggara, nyaris lumpuh.
Saat ini, perusahaan tambang yang masih aktif menambang hanya dua perusahaan. Sebelumnya, perusahaan tambang yang melakukan ekspolrasi nikel ini mencapai puluhan. Akibatnya, puluhan ribu hektar hutan yang telah dijadikan lahan tambang ditinggalkan begitu saja oleh pihak perusahaan tambang tanpa reklamasi.
Ironisnya, setelah beberapa bulan berlalu, Badan Lingkungan Hidup Kolaka belum memiliki data akurat terkait masalah reklamasi lokasi hutan pasca-penambangan. Hal itu diakui Kepala Badan Lingkungan Hidup Kolaka Anwar Sanusi.
"Kegiatan reklamsi itu harus dilakukan. Tapi saat ini, tim kami masih melakukan pendataan di lapangan. Kalau untuk data reklamasi sendiri kami belum punya, tetapi saya yakin pasti sudah ada perusahaan tambang yang melakukan hal itu. Reklamasi ini kewajiban yang harus dilakukan dan ditaati oleh seluruh pihak yang berkaitan dengan aktivitas pertambangan. Kalau saya pribadi memang belum sempat menanyakan masalah ini ke seksi yang menangani karena saya baru sekitar satu bulan menjadi kepala BLH di sini," ungkapnya, Kamis (08/11/2012).
Dia juga menambahkan, pihaknya akan kembali mempelajari peta luasan kawasan tambang secara keseluruhan yang ada di Kolaka, guna melihat lebih jelas berapa kawasan yang harus direklamasi.
Sementara itu, Kordinator Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Forum Swadaya Daerah (ForSDa), Jabir, yang juga tercatat sebagai anggota Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara mendesak Pemda Kolaka untuk bertanggungjawab penuh atas kerusakan hutan pasca-penambangan nikel selama ini.
"Mulai dari Dinas Kehutanan, Pertambangan, Badan Lingkungan Hidup sampai dengan pemimpin daerah ini (Kolaka) harus bertanggungjawab terhadap reklamasi pasca-tambang. Di sini (Kolaka), ada puluhan ribu hektar kawasan hutan yang telah ditambang," tandasnya.
"Nah, kalau dibiarkan (tak direklamasi, red), akan terjadi bencana besar. Apalagi di bawah bukit yang telah ditambang itu terdapat sedikitnya 5 desa yang berpenghuni padat. Belum lagi para warga pesisir Kolaka yang akan merasakan dampak sedimentasi lumpur dari areal pertambangan tersebut," tutup Jabir.
Editor : Farid Assifa
KOMPAS.com - Pasca-keluarnya Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral yang mengharuskan penambahan pajak sebesar 20 persen serta membuat pabrik tersendiri, membuat aktivitas tambang di Kolaka, Sulawesi Tenggara, nyaris lumpuh.
Saat ini, perusahaan tambang yang masih aktif menambang hanya dua perusahaan. Sebelumnya, perusahaan tambang yang melakukan ekspolrasi nikel ini mencapai puluhan. Akibatnya, puluhan ribu hektar hutan yang telah dijadikan lahan tambang ditinggalkan begitu saja oleh pihak perusahaan tambang tanpa reklamasi.
Ironisnya, setelah beberapa bulan berlalu, Badan Lingkungan Hidup Kolaka belum memiliki data akurat terkait masalah reklamasi lokasi hutan pasca-penambangan. Hal itu diakui Kepala Badan Lingkungan Hidup Kolaka Anwar Sanusi.
"Kegiatan reklamsi itu harus dilakukan. Tapi saat ini, tim kami masih melakukan pendataan di lapangan. Kalau untuk data reklamasi sendiri kami belum punya, tetapi saya yakin pasti sudah ada perusahaan tambang yang melakukan hal itu. Reklamasi ini kewajiban yang harus dilakukan dan ditaati oleh seluruh pihak yang berkaitan dengan aktivitas pertambangan. Kalau saya pribadi memang belum sempat menanyakan masalah ini ke seksi yang menangani karena saya baru sekitar satu bulan menjadi kepala BLH di sini," ungkapnya, Kamis (08/11/2012).
Dia juga menambahkan, pihaknya akan kembali mempelajari peta luasan kawasan tambang secara keseluruhan yang ada di Kolaka, guna melihat lebih jelas berapa kawasan yang harus direklamasi.
Sementara itu, Kordinator Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Forum Swadaya Daerah (ForSDa), Jabir, yang juga tercatat sebagai anggota Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara mendesak Pemda Kolaka untuk bertanggungjawab penuh atas kerusakan hutan pasca-penambangan nikel selama ini.
"Mulai dari Dinas Kehutanan, Pertambangan, Badan Lingkungan Hidup sampai dengan pemimpin daerah ini (Kolaka) harus bertanggungjawab terhadap reklamasi pasca-tambang. Di sini (Kolaka), ada puluhan ribu hektar kawasan hutan yang telah ditambang," tandasnya.
"Nah, kalau dibiarkan (tak direklamasi, red), akan terjadi bencana besar. Apalagi di bawah bukit yang telah ditambang itu terdapat sedikitnya 5 desa yang berpenghuni padat. Belum lagi para warga pesisir Kolaka yang akan merasakan dampak sedimentasi lumpur dari areal pertambangan tersebut," tutup Jabir.
Editor : Farid Assifa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar