Penulis : Kang
Rendra
Agusta
Pakowa-Balingara-Obo, 25 April 2013
Pagi ini tas-tas yang lengkap
dimasukkan kedalam truk hijau. Truk desa yang terbiasa mengangkut hasil
pertanian. Kami berangkat menuju daerah zero signal. Balingara.
52 Kilometer dari ibukota kecamatan
ini, perjalanan ke ujung barat kabupaten Banggai. Pantai yang terlihat
memanjang, juga tebing-tebing curam di Batu Hitam. Raksasa batu di sisi kiri,
begitu kokoh dan angkuh. Gunung Lontio, patahan raksasa yang menyimpan misteri.
Puncak JuluTompu. Tanjung Kopinyo yang ramai dengan rumah nelayan dibesut rawa
bakau. Hingga tugu bertuliskan “selamat Jalan Kabupaten Banggai”. Tugu yang
dilepas dengan patung penari Umapos dan Mangonyop. Batas itu
adalah kuala Balingara.
Dari jalan poros Luwuk-Palu KM 180,
kendaraan kami haluan ke kiri. Melewati tepi kuala, menuju pegunungan
Balingara. Jalan berbatu yang sering dibelah oleh sungai-sungai kering.
Hutan-hutan yang lebat, jalanan yang berliku tajam penuh tanjakan sepanjang 42
KM. Dari 0 mdpl Balingara menuju desa transisi 180 mdpl. Sampai di desa yang
baru saja mekar, bernama Obo.
Obo,26-27 April 2013
Obo, nama seorang pengembara yang
singgah di tempat ini puluhan tahun yang lalu. Nama itu digunakan untuk
menyebut sebuah daerah yang ada dalam transisi saat ini. Desa transisi antara
Balingara (Banggai) dan desa Bulan (Ampana). Desa Transisi antara suku Saluan
Loinang dan Suku Ta. Desa Transisi antara Petani tetap dan Petani Ladang
berpindah. Desa transisi kehidupan manusia Maden dan Nomaden. Desa Transisi
antara ajaran Haripuru ke agama Samawi.
Desa ini memiliki 60 KK, hanya 10 KK
yang rumahnya berkumpul dalam jarak dekat. Selebihnya jarak antar rumah 2-5
kilometer antar rumah. Desa yang dikelilingi bukit Batu Tanda, bukit yang
menyimpan folklore pertemuan orang-orang yang singgah di pertemuan dua kuala.
Kabut-kabut yang pekat mengelilingi
lembah ini. Pagi-pagi kabut yang mengantar anak-anak ke sekolah dengan kaki
telanjang. Mereka berjalan berjalan lebih dari 3 mil, mencapai sebuah sekolah
yang halamannya penuh rumput. Halaman yang hanya ditumbuhi satu pohon kelapa
dan satu tiang bendera yang terbuat dari sebatang ranting lurus. SD yang diampu
oleh 2 guru, hanya ada satu unit kelas.SD yang tidak bisa meluluskan siswanya
karena banyak syarat yang belum dipenuhi. Tidak ada SD inti yang menampung
siswa yang lepas dari kelas 5. Kami datang mengenalkan Indonesia di tanah ini,
Indonesia. Papan tulis yang tua, debu-debu kapur yang kami goreskan membentuk
tatanan kepulauan.
“ kita sekarang berada di pulau K,
pulau Sulawesi “
Keakraban ditambah dengan
perkenalan, hampir semua yang berkenalan mengungkapkan cita-cita mereka sebagai
Tentara dan Guru. Apa yang mereka lihat pagi itu, itulah cita-cita mereka.
Hingga ada satu anak yang maju ke depan kelas, rambutnya ikal kulitnya coklat
pekat.
“ perkenalkan nama saya Alferd, saya
kelas tiga. Cita-cita saya ingin naik kelas empat “
Semua tertawa, lahir kami tertawa
tetapi hati berkata lain. Semangat untuk naik kelas yang begitu hebat,
kurangnya pengajar, kurangnya fasilitas dan tuntutan ujian yang setara dengan
keberadaan anak-anak di tanah Jawa. Tanda tanya
“Depe desa singada poskesdes, Polindes ato Juru Rawat.” Pelayanan
kesehatan begitu jauh dan sulit didapatkan. Kalau harus turun membutuhkan 28 KM
kalau naik ke Longgek 18 KM, jalannya hanya susunan batu kuala.
Desa tanpa listrik, tanpa sinyal
layanan selluler. Rumah Sekdes menjadi sentral pertemuan masyarakat, karena
hanya ditempat itu ada Genset untuk pembangkit listrik. Masyarakat sekedar
berkumpul, bersendau gurau sampai membicarakan hal penting.
Keterbatasan di perbatasan
Balingara.
Sebuah danau yang mereka sebut “
Rano” dalam bahasa Ta. Mirip dengan bahasa sansekerta yang menyebut “ Ranu”
yang berarti telaga. Rano yang dipenuhi dengan teratai, dikelilingi ingerhous,
ilalang, Pinus udang dan tumbuhan hutan. Rano yang menyajikan ikan Mujair dan
Gabus bagi masyarakat Obo, sekedar sebagai lauk makanan. Ada lagi tentang
sebuah danau yang disebut Rano Sembilan Tanjung, lekukan yang menjorok ke danau
sebagai hulu sungai Balingara. Kisah mistik akan adanya buaya air tawar yang
ada disana, konon mencapai 5 depa.
Kisah Batu Putih, sebuah batu yang
diceritakan sebagai kapal yang terdampar di atas gunung seperti epos Gilgamesh
dan Nabi Nuh. Goa yang ada di dalamnya menyimpan kerangka manusia.Dari Bulutui
dan Rotan hutan mereka hidup. Jagung di sekitar delta tampak rimbun dan subur.
Ladang-ladang yang baru dibuka.
Saluan-Loinang yang kehilangan
Family
Desa perbatasan yang ditempati oleh
masyarakat Loinang Simpang, yang tersebar karena serangan Belanda. Politik
monopoli manusia, Belanda mengharapkan agar semua orang pedalaman turun ke
tepian pantai. Penolakan terjadi hingga Belanda mengirimkan satu peleton
pasukan untuk menyerang Benteng Baloa-Doda. Masyarakat Loinang kocar-kacir
menyebar keseluruh penjuru pegunungan, ada pula yang hadir di perbatasan ini.
Mereka kehilangan fams, saat
ini nama mereka diambil dari apa yang mereka dengar. Nama Gergaji, Tank,
Jepang, Pulpen, Suharto dll. Seorang tetua adat bernama Gergaji mengantarkan
kami kepada pengetahuan ajaran bernama Haripuru.
Pendidikan melalui ajaran leluhur
Haripuru adalah ajaran kuno
masyarakat pedalaman dimana mereka percaya bahwa :
kekuatan tertinggi ada pada Tuhan
Yang Maha Esa atau Tompu atau Anui-Langga. Di bawah Tompu
mereka percaya pada Nabi (tanpa mereka tahu nama nabi), lalu percaya kepada
arwah leluhur atau Tominuat. Lalu kepada manusia yang kerasukan Tominuat
yang disebut Buhake. Masyarakat Saluan di Desa Obo mempercayai adanya
tanda alam atau Hambolo. Tanda-tanda ini yang esensinya masih terjaga
sampai sekarang adalah mendengarkan tanda-tanda dari kicauan burung atau mongkoek.
Burung yang menjadi tanda adalah burung Kukau (tekukur malam).
Mohondahabit adalah proses doa yang mereka naikkan kepada Tominuat dengan
Pomangan (sesaji) berupa ; Popos (pinang), hampak (sirih), talon
(kapur) dan sosop (rokok). Mereka percaya bahwa doa yang disampaikan
kepada Tominuat akan diteruskan kepada Nabi lalu kepada Tompu. lalu Tompu
memberi jawaban melalui suara burung. Proses mendengar jawaban itu disebut Pihongo.
Berikut ini tafsir suara kicau berdasarkan jumlah :
1 kali : ada tamu pejabat (utus
daka)
2 kali : ada tamu
3 kali : aba-aba musibah / bahaya
4 kali : baik
5 kali : ada rejeki
6 kali : ada tamu
7 kali : umur panjang / kesembuhan
jika sedang berobat
8 kali : pejabat besar datang
Pengecualian
7 kali lalu disusul suara “kiii..” :
pertanda buruk, terjadi pertumpahan darah.
“Burung Totoidi juga berbunyi
sebagai tanda menjelang pagi dan petang. Bahkan sebelum Utus Daka datang ke
sini, kami sudah diberitahu beberapa hari sebelumnya. Kami mendengar suara
burung berbunyi delapan kali” ucap seorang translator mengulangi kata-kata pak
Gergaji.
Kehidupan Nomaden masih melekat di
dalam kehidupan mereka. Setiap ada anggota keluarga yang meninggal mereka
selalu berpindah tempat. Mayat dibungkus dengan kulit kayu Andolia (Cempaka)
baru dikuburkan. Untuk penanda di atas kuburnya diletakkan sebuah kayu
berbentuk silinder (di Lobu berbentuk perahu, dimungkinkan perbedaan budaya
gunung dan pantai).
“ Dahulu kami selalu meninggalkan
rumah dan pekarangan jika ada salah satu dari anggota keluarga yang meninggal.
Karena kami takut, jika arwah yang mati mengajak kami menemaninya di alam kubur
“
Angin lembah berhembus di celah-celah
Laigan Pangkat, di balik embun pagi yang menetes lentik di ujung daun
Enau. Daun yang digunakan untuk membungkus tembakau sosop, mereka menyebutnya Gau.
Etika anak tangga yang terbuat dari kayu gelondongan dipecak sebagai simbol ada
tidaknya tuan rumah.
Desa tinggal orang Loinang pedalaman
yang sangat taat dan santun. Pelajaran yang menarik tentang kesetiaan
suami-istri orang Loinang. Ketika hukum adat berkata “mati” bagi setiap orang
yang bertindak serong. Monogami sampai mati.
Madu murni menjadi sebuah kenikmatan
hasil hutan. Pengembara yang menuju peradaban.
Sistem berpindah ladang setelah tiga
kali tanam, mereka membuka hutan baru. Lima sampai sepuluh tahun kemudian,
mereka kembali ke tanah semula.
Permainan Pili-pili (baling-baling)
dan Patengkang (egrang) begitu lekat di hati.
“Humatok kami menyebutnya sebagai
sebuah sistem gotong royong. Dalam membuka lahan, pesta perkawinan atau orang
meninggal. “
Mereka berkumpul bakubantu. Kerukunan
yang tertanam sejak jaman dahulu masih terjaga hingga kini.
Inilah Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar