#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Sabtu, 08 September 2012

Warga Toraja Desak Cabut Izin Tambang Timah

KOMPAS.com - Warga Desa Sasak, Kecamatan Bittuang, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, mendesak pemerintah mencabut izin eksplorasi tambang timah hitam (galena) yang beroperasi di desa mereka.

Desakan itu disampaikan puluhan warga Desa Sasak, Kecamatan Bittuang, dengan mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tana Toraja.

"Kami minta agar izin perusahaan PT. Christina Explo dicabut, karena kegiatan pertambangan tidak pernah menguntungkan warga di sekitarnya. Yang ada malah rugi dan kelestarian lingkungan hidup terancam," tegas Bongga, salah seorang tokoh masyarakat lembang Sasak, saat mendatangi kantor BPN Tana Toraja, Jumat (7/9/2012).

Rabu, 05 September 2012

Hikayat Runtuhnya Tanah Runtuh

KOMPAS.COM, Waktu adalah musuh utama ingatan. Di Tanah Runtuh, Kelurahan Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah, kisah tentang runtuhnya kampung itu karena gempa dan tsunami hanya dianggap dongeng. Warga tinggal di pantai tanpa membentengi diri dengan kesiapsiagaan.

"Mertua saya, almarhum Yoto Marauna, pernah cerita bahwa dulu pernah terjadi gempa besar di Palu. Setelah itu, air laut datang sampai ke jalan ini dan merobohkan banyak rumah, makanya di sini disebut Tanah Runtuh," kata Supriyadi (52), sambil menunjuk Jalan Yos Sudarso yang diapit permukiman padat. ”Tetapi, anak-anak muda tidak tahu lagi cerita itu. Saya juga ragu, itu cerita benar atau rekaan.”

Seperti kebanyakan warga Kota Palu, Supriyadi adalah pendatang. Dia berasal dari Jawa dan pindah ke Palu tahun 1980-an. Mertuanya, etnis Kaili, warga asli Palu. ”Kalau gempa sering terjadi di sini, tetapi kecil-kecil,” katanya. ”Tidak berbahaya.”