Gerak pertumbuhan dan perputaran ekonomi masyarakat kota Palu terus bergulir dari tahun ke tahun seiring dengan terus meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk. Berkat kemajuan teknologi dan efisiensi produksi pada akhirnya masyarakat kota dibanjiri banyak pilihan barang dan timbullah kecenderungan “ sekali pakai, buang “ dalam penggunaan barang yang akibatnya pada meningkatnya jumlah sampah di kota palu.
Data Dinas Kebersihan dan Pertamanan kota Palu, peningkatan volume sampah hampir dua kali lipat setiap tahunnya. Pada tahun 2003 volume sampah kota palu baru sebesar 494.067 M3, dan meningkat menjadi 858.724 M3 pada tahun 2004, dengan penghasil sampah terbesar berasal dari rumah tangga. masalahanya peningkatan jumlah sampah di kota palu tidak sebanding dengan peningkatan kemampuan pengelolaannya. Sehingga sampah berkembang menjadi sebuah masalah krusial. Dewasa ini ruang lingkup masalah sampah tidak lagi terbatas pada persoalan kebersihan, kesehatan dan keindahan lingkungan. Masalah persampahan sudah mulai bergeser menjadi sebuah problem sosial. Hal ini kerap kali terjadi dilingkungan padat penduduk, seperti kompleks-kompleks perumahan, pasar dan pertokoan. Sehingga terdapat kebutuhan untuk mengembangkan suatu sistem pengelolaan sampah yang berbasis masyarakat, berkesinambungan dan dapat memberi solusi terhadap masalah tersebut.
Di kota Palu tercatat sebanyak 672 tempat pembuangan sampah sementara ( TPS) dan 1 tempat pembuangan akhir (TPA) seluas 3 Ha. Dari empat kecamatan yang berada dikota Palu, kecamatan Palu Selatan memiliki tempat pembuangan sampah sementara terbanyak jumlahnya yakni 377 TPS. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk kota terbanyak juga berada di Palu Selatan yakni 105.269 jiwa, sehingga ini menjadi indikator bahwa banyaknya jumlah penduduk akan berkontribusi besar dalam menghasilkan jumlah volume sampah.
Jumlah TPS dan TPA perkecamatan di kota Palu, Fasilitas Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tahun 2004 :
Kecamatan TPS TPA
Palu Barat 106 -
Palu Selatan 377 1
Palu Timur 171 -
Palu Utara 18 -
Total 672 1
Tahun 2003 681 1
Sumber : Badan Pusat Statistik Palu, 2006
Sejauh ini pemerintah kota Palu telah berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan penanganan masalah sampah, namun upaya terkendala dengan keterbatasan tenaga kebersihan lapangan serta biaya operasional. Olehnya karenannya partisipasi masyarakat kota dalam menangani permasalahan ini menjadi penting untuk dikedepankan. Masalah persampahan berhubungan erat dengan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 70-an, ketika populasi penduduk masih terbilang kecil, hampir tidak ada permasalahn yang terkait dengan sampah. Namun saat ini, ketika jumlah penduduk semakin meningkat semakin banyak keluhan-keluhan yang terkai dengan sampah. Dibanyak bagian di sudut kota palu, dengan mudah dapat dijumpai papan-papan peringatan yang berisi larangan untuk membuang sampah. Pesan ini seringkali dituliskan secara lugas dan santun, namun tidak jarang juga disampaikan dengan kalimat-kalimat sarkastis. jika diperhatikan lebih dalam maka hal ini dapat mengindikasikan berkembangnya suatu pola komunikasi sosial yang kurang sehat dan dapat merusak kohesivitas sosial. dalam konteks konflik, hal ini dapat dibaca sebagai situasi berlangsungnya konflik laten antara beberapa masyarakat yang terkait dengan pengelolaan sampah.
Problem persampahan juga tidak terlepas dari perkembangan budaya “kosmopolit” yang mengikuti transformasi masyarakat sub urban menjadi masyarakat urban. Dalam proses ini terjadi transformasi sosial dan proses asimilasi budaya. Hingga tiba pada masa, yaitu adanya pengalihan bentuk pekerjaan dari sektor agraris ke sektor pelayanan jasa. Proses transformasi sosial dan asimilasi budaya masyarakat tersebut menghasilkan Tiga bentuk respon yakni menerima, mengikut dan menolak. Dari 3 bentuk respon masyarakat yang tersebut respon menolak dan menerima adalah masalah krusial. Sebab hal ini perlahan – lahan mengarah pada bentuk kerentanan konflik sosial yang bersifat horisontal.
Dalam kaitannya dengan permasalahan sampah dikelurahan Birobuli saat ini, menunjukan tingkat bentuk respon menolak dan menerima ditingkat masyarakat kelurahan hingga pada struktur lingkungan sosial masyarakat terkecil (RT) mulai terlihat dan terasa gejala – gejala sosial yang ditimbulkan oleh sampah yang mengarah pada bentuk konflik nilai. Kerentanan terjadinya konflik horisontal warga Birobuli dibuktikan dengan munculnya berbagai tulisan – tulisan ditempat – tempat penumpukan sampah sebagai bentuk penolakan terhadap sampah dengan menggunakan bentuk kata/kalimat dari yang santun hingga pada bahasa yang mulai terkesan emosional bahkan pada bahasa yang bermakna pengancaman.
Selain itu kerentanan terjadinya konflik struktural juga terlihat antara masyarakat dengan dinas kebersihan kota. Hal ini terlihat pada saat pembayaran iuran listrik juga ditetapkan adanya pemungutan pembayaran uang kebersihan. Mereka yang tidak merasa membuang sampah atau tempat tinggalnya tidak terjangkau oleh petugas kebersihan, kerapkali memprotes bahkan menolak untuk membayar uang kebersihan. Situasi ini menimbulkan ketegangan dan debat antara petugas dan masyarakat.
Fenomena sampah dalam dinamika perkembangan lingkungan masyarakat perkotaan di Kelurahan Birobuli saat ini, telah terjadi krisis lingkungan yang selanjutnya mengarah pada tingkat krisis sosial yang krusial. Olehnya diperlukan sebuah gerakan kesadaran lingkungan bersama dalam lingkup sosial masyarakat kelurahan hingga pada lingkup sosial masyarakat terkecil yakni Rukun Tetangga (RT). secara partisipatif antara masyarakat, pemerintah dan institusi sosial kemasyarakatan yang ada baik formal maupun informal dalam pengelolaan sampah.
Atas realitas lingkungan sosial di Kelurahan Birobuli, LPA. Awam Green mencoba mendesain satu program yang dikerjasamakan dengan Perkumpulan Sintuvu Pemuda Birobuli yakni “Pengembangan Mekanisme pengelolaan sampah berbasis masyaakat”. Adapun Lingkup program dititik beratkan pada tiga konteks gagasan dalam penanganan sampah ditingkat kelurahan. Pertama: Perlindungan lingkungan, Kedua; Mendorong mekanisme pengelolaan partisipatif Ketiga: Pemanfaatan sampah (daur-ulang atau meneruskan ke pusat-pusat daur-ulang) sebagai sumber pendapatan ekonomi masyarakat.
Gagasan upaya perlindungan lingkungan meliputi kegiatan sosialisasi dan kampanye dampak buruk bahaya sampah bagi kesehatan warga dan memperkenalkan cara – cara melakukan pemilahan dari berbagai jenis sampah sebagai bentuk partisipasi langsung masyarakat dalam upaya perlindungan lingkungan. Hal ini dilakukan dalam dua bentuk yakni dilakukan melalui pertemuan dan penyebaran brosur serta stiker.
Selanjutnya gagasan mekanisme pengelolaan sampah secara partisipatif ditingkat kelurahan akan dilakukan dalam bentuk workshop yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, Pemerintah dan tokoh pemuda. Pelaksanaan workshop ini diharapkan melahirkan sebuah prinsip, mekanisme teknis dan manajemen kelembagaan dalam pengelolaan sampah.
Kemudian gagasan bagaimana memanfaatkan sampah sebagai sumber pendapatan ekonomi masyarakat setempat. Saat ini ada beberapa cara mengolah sampah agar bermanfaat sebagai sumber pendapatan baru. Salah satunya melakukan pemilahan jenis sampah yaitu kertas, organik, plastik, logam dan botol kaca. Sampah kertas, Plastik, Logam dan Botol Kaca jika dikumpulkan dengan rapi akan dapat dijual kembali dan sampah organik dapat dimanfaatkan untuk membuat bahan pupuk organik dan pakan ternak.
Hubungan-hubungan sosial pada dasarnya ditentukan oleh motif-motif sosial, baik berupa kepentingan-kepentingan maupun digerakkan oleh nilai-nilai yang pada akhirnya akan menentukan pola, sikap dan perilaku masyarakat di dalam melakukan tindakan-tindakan sosial. Olehnya pemuda sebagai bagian warga dari sebuah lingkungan sosial, dapat menjadi kekuatan-kekuatan sosial, simpul-simpul sosial, strata sosial, yang secara keseluruhan akan menentukan bentuk hubungan sosial di tengah masyarakat dimasa akan datang. Tentunya dalam hal ini pengelolaan pembangunan masyarakat kota Palu kedepan.
Olehnya penting kita mengkaji bersama dan berupaya memotret fenomena “kasat mata” formasi sosial masyarakat Kota Palu, beserta potensi-potensi konfliknya yang kerap memunculkan problem sosial berkepanjangan. Sehingga kedepan tidak terjadi pembentukan komunitas yang bersifat ekslusif, kesenjangan komunikasi, sehingga ini tidak semakin memperparah penumpukan endapan prasangka karena kehadiran sampah.(ag)
Bahan Pembelajaran Dari Program Yang DiKerjasamakan : LPA. Awam Green & PMU PTD Kota Palu Tahun 2008
internalisasi pemahaman pengelolaan sampah yg ramah lingkungan perlu dimulai dari rumahtangga, dan perlu teladan dari para elit kota
BalasHapus