Awam Green
Sebagai contoh, sampai kini di Indonesia ada sekitar 33.000 desa yang
wilayahnya tumpang tindih dengan kawasan hutan. Hak warga desa terhadap
hutan tidak diakui, aksesnya dibatasi kalau tidak mau dikatakan hilang
sama sekali, sehingga mereka menjelma menjadi salah satu kelompok
masyarakat miskin terbesar di Indonesia. Menurut data yang dilansir oleh
Badan Pusat Statistik (BPS), di Jawa saja misalnya, yang kawasan
hutannya paling kecil ketimbang daerah-daerah lain, ada sekitar 4.984
desa yang bermasalah dengan perbatasan hutan. Dari seluruh desa-desa
yang menyatu kawasannya dengan hutan, baru 15% saja batas kawasan
hutanya sudah selesai. Selebihnya masih “main” tunjuk.
Persoalan tumpang tindihnya kawasan hutan dengan keberadaan desa didalamnya tersebut menjadi pernyataan kunci dari Hedar Laudjeng yang menjadi salah satu narasumber dalam rembuk nasional bertajuk “Tata Kelola Sumber Daya Desa” di Festival Jawa Kidul, Mandalamekar, Jatiwaras, Tasikmalaya, Senin (4/6). Anggota Dewan Kehutanan Nasional tersebut mengungkapkan, untuk menyelasaikan permasalahan tersebut, perlu diadakan revisi undang-undang dengan mengacu pada UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/2001.
“Akan tetapi menunggu revisi undang-undang butuh waktu lama padahal masalah di depan mata, seperti konflik tanah, dan keberadaan masyarakat adat. Untuk itu, dari dulu saya menyarankan agar membuat konsensus pengelolaan hutan berbasis desa atau kesautan masyarakat hukum adat,” kata Hedar.
Hadir pula dalam rembuk nasional “Tata Kelola Sumber Daya Desa” Wakil Ketua Pansus RUU Desa Budiman Sujatmiko. Budiman mengungkapkan, Indonesia merupakan negeri dengan corak keragaman desa. Ada istilah “Desa Mawa Cara”, desa yang telah punya adat ratusan tahun dan kecerdasan kolektif di komunitasnya. Masyarakat tersebut bisa bertahan selama ratusan tahun.
“Bentuk ‘Desa Mawa Cara’ itu, bisa dilihat dari cara kerja rakyat tradisional seperti subak di Bali, kecerdasan lokal desa pemburu paus Lamalera di Lambeta, NTT, dan jejaring desa di Jawa,” kata Budiman.
Dalam dunia modern seperti sekarang ini, kata Budiman, seorang kepala desa tidak berbeda dengan kepala negara. Yang membedakan hanya skala wilayah kewenangannya saja. Kalau desa punya anggaran, desa juga harusnya punya anggaran juga.
“Agar desa tidak menjadi desa tanpa negara, tergantung dari apakah negara melaksanakan pembukaan Undang-Undang 1945,” kata Budiman. “Kalau tidak,” kata Budiman lagi, “negara akan ditinggalkan desa-desanya.”
Seperti diketahui, kini Rancangan Undang-Undang Desa sedang dibahas di parlemen. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menargetkan RUU tersebut bisa segara disahkan tahun ini juga. Undang-Undang yang baru ini diharapkan akan dapat mengokohkan kembali keberadaan desa sebagai pemerintahan yang paling bawah dari pemerintah tanpa harus mengkhianati asal-usul ataupun kecerdasan setempat yang telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum lahirnya Indonesia.
Pada rembuk nasional yang mengundang beberapa kepala desa dan perangkatnya dari seputaran Jawa dan beberapa dari luar Pulau Jawa ini, hadir pula sebagai narasumber Kepala Kelompok Program Tata Pemerintahan Lingkungan dan Ekonomi Kemitraan Avi Mahaningtyas, Badan Pemberdayaan Pemerintahan Masyarakat Desa Jawa Barat Ludo Pratomo, Kepala Desa Mandalamekar Yana Noviadi, dan pegiat Gerakan Perempuan Peduli Desa di Bima Chandra Komala. (K.A)
www.combine.or.id
Persoalan tumpang tindihnya kawasan hutan dengan keberadaan desa didalamnya tersebut menjadi pernyataan kunci dari Hedar Laudjeng yang menjadi salah satu narasumber dalam rembuk nasional bertajuk “Tata Kelola Sumber Daya Desa” di Festival Jawa Kidul, Mandalamekar, Jatiwaras, Tasikmalaya, Senin (4/6). Anggota Dewan Kehutanan Nasional tersebut mengungkapkan, untuk menyelasaikan permasalahan tersebut, perlu diadakan revisi undang-undang dengan mengacu pada UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/2001.
“Akan tetapi menunggu revisi undang-undang butuh waktu lama padahal masalah di depan mata, seperti konflik tanah, dan keberadaan masyarakat adat. Untuk itu, dari dulu saya menyarankan agar membuat konsensus pengelolaan hutan berbasis desa atau kesautan masyarakat hukum adat,” kata Hedar.
Hadir pula dalam rembuk nasional “Tata Kelola Sumber Daya Desa” Wakil Ketua Pansus RUU Desa Budiman Sujatmiko. Budiman mengungkapkan, Indonesia merupakan negeri dengan corak keragaman desa. Ada istilah “Desa Mawa Cara”, desa yang telah punya adat ratusan tahun dan kecerdasan kolektif di komunitasnya. Masyarakat tersebut bisa bertahan selama ratusan tahun.
“Bentuk ‘Desa Mawa Cara’ itu, bisa dilihat dari cara kerja rakyat tradisional seperti subak di Bali, kecerdasan lokal desa pemburu paus Lamalera di Lambeta, NTT, dan jejaring desa di Jawa,” kata Budiman.
Dalam dunia modern seperti sekarang ini, kata Budiman, seorang kepala desa tidak berbeda dengan kepala negara. Yang membedakan hanya skala wilayah kewenangannya saja. Kalau desa punya anggaran, desa juga harusnya punya anggaran juga.
“Agar desa tidak menjadi desa tanpa negara, tergantung dari apakah negara melaksanakan pembukaan Undang-Undang 1945,” kata Budiman. “Kalau tidak,” kata Budiman lagi, “negara akan ditinggalkan desa-desanya.”
Seperti diketahui, kini Rancangan Undang-Undang Desa sedang dibahas di parlemen. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menargetkan RUU tersebut bisa segara disahkan tahun ini juga. Undang-Undang yang baru ini diharapkan akan dapat mengokohkan kembali keberadaan desa sebagai pemerintahan yang paling bawah dari pemerintah tanpa harus mengkhianati asal-usul ataupun kecerdasan setempat yang telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum lahirnya Indonesia.
Pada rembuk nasional yang mengundang beberapa kepala desa dan perangkatnya dari seputaran Jawa dan beberapa dari luar Pulau Jawa ini, hadir pula sebagai narasumber Kepala Kelompok Program Tata Pemerintahan Lingkungan dan Ekonomi Kemitraan Avi Mahaningtyas, Badan Pemberdayaan Pemerintahan Masyarakat Desa Jawa Barat Ludo Pratomo, Kepala Desa Mandalamekar Yana Noviadi, dan pegiat Gerakan Perempuan Peduli Desa di Bima Chandra Komala. (K.A)
www.combine.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar