Awam Green
Desa Merdeka - Mitra DMC dan Lintas Media
Oleh : R. Yando Zakaria & Hedar Laudjeng
‘Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Adat’ bisa dengan ‘Undang-Undang tentang
Desa’: Mari Lupakan Kulit. Bersungguh-sungguhlah dengan Substansi !……
Marzuki Alie, Ketua DPR RI, dalam pidato pembukaan Kongres Masyarakat
Adat Nusantara IV di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara (19 April
2012), dengan sangat percaya diri menyatakan akan memperjuangkan
Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlingungan Masyarakat Adat –
selanjutnya disingkat RUU PPMA – yang diusulkan AMAN akan disahkan
menjadi undang-undang pada masa siang Tahun 2012 ini. Bagi saya ini
jelas hanyalah angin surga. Sebab, saya tahu bahwa RUU itu masih dalam
tahap awal legal drafting oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Anehnya,
dalam bagian yang lain, Alie meminta anggota Aliasi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) turut mengawal proses penetapan Rancangan Undang-Undang
tentang Desa – selanjutnya disingkat RUU Desa — yang sudah masuk tahap
rapat dengar pendapat (RDP), dengan target dapat ditetapkan menjadi
undang-undang pada masa sidang saat ini, atau selambat-lambatnya pada
masa sidang mendatang.
Anehnya, berbeda dengan posisi Negara, sebagaimana yang
direpresentasikan oleh pandangan Ketua DPR RI, tidak ada sarasehan yang
diselenggarakan mendahului kegiatan KMAN IV yang secara khusus membahas
kedua ‘proses politik’ yang akan menentukan kelangsungan hak-hak
masyarakat (hukum) adat dan/atau itu. Kasat mata, kedua proses itu bukan
tidak mungkin saling menegasikan, dan upaya penegakan hak-hak
masyarakat (hukum) adat yang diperjuangkan AMAN bukan tidak mungkin akan
menjadi sisa-sia.
***
Untuk menjawab pertanyaan pokok di atas, dan kemudian merumuskan
‘agenda sinergi’ yang lebih bermanfaat bagi warga ‘desa’ ataupun
‘masyarakat adat’ ke depan, kita perlu apa melihat kembali sejarah yang
menyangkut kedua entitas sosial-politk ini di dalam konstelasi
perpolitikan kenegaraan Indonesia. Kita tahu, betapapun, munculnya dua
inisiatif yang ‘berbeda tapi boleh jadi sama’ ini tidak bisa dilepaskan
dari ‘tragedi sejarah’ pemberlakukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa’ (Taufik Abdullah, 2000). UU 5/1979 adalah
‘puncak’ dari kebijakan intervensi Negara – sejak kolonial hingga
nasional – yang melumpuhkan kekuatan modal sosial, dan sekaligus
merampas hak-hak komunal yang melekat pada ulayat (wilayah kehidupan)
dari entitas sosial yang disebut ‘masyarakat hukum adat’ di Negara ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, kesatuan masyarakat hukum adat ini dikenal
dengan sebutan desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, marga di
Sumatera bagian Tengah hingga Selatan, negeri di Maluku (Tengah), soa di
Maluku Utara, ohoi di Maluku Tenggara, dan lain sebagainya, yang jumlah
sebutnya boleh jadi setara dengan jumlah kelompok etnik yang ada di
Indonesia, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 650an kelompok etnik itu
(Zakaria, 2000; Hidayah, 1998).
Maka, tidak heranlah jika dalam bagian Mengingat Butir e. yang
terdapat pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,
terdapat pernyataan yang mengiringi pembatalan pemberlakuan UU No.
5/1979 yang berbunyi sebagai berikut: “Bahwa Undang-undang No. 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 No. 56;
Tambahan Lebaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk,
susunan, dan kedudukan pemerintahan desa tidak sesuai dengan jiwa
Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak
asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti” (cetak
tebal ditambahkan). Boleh jadi ini adalah respons atas tuntutan AMAN
yang mengemuka pada KMAN I Tahun 1999, di Jakarta, yang mengatakan bahwa
“Kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak akan mengakui
negara!”
Apa sebenarnya yang dikatakan konstitusi tentang desa atau disebut
dengan nama lain itu? Fakta sejarah menunjukkan desa atau disebut dengan
nama lain, demikian pula dengan adat, menjadi topik pembicaraan yang
mendapat sorotan khusus dalam perbincangan menyusun dasar-dasar dan
bentuk Negara sepanjang sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan sidang-sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menggantikan, sebagaimana
tercatat dalam risalah yang dirujuk (Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1995). Setidaknya ada 3 simpul pemikiran yang dapat ditarik
dalam perdebatan yang hangat itu. Pertama, jelaslah bahwa, Indonesia
yang hendak didirikan itu tidaklah berpijak pada pengetahuan tentang
Jawa saja, melainkan meliputi wilayah yang saat ini disebut Nusantara
itu. Dalam salah satu sesi sidang Mr. M. Yamin mengatakan “… Negara
Indonesia tak dapatlah didudukkan di atas hasil penyelidikan bahan-bahan
yang didapat di Pulau Jawa saja, karena keadaan itu boleh jadi
menyesatkan pemandangan dan sedikit-dikit mungkin melanggar pendirian
kita. Sejak dari sekarang hendaklah meliputi seluruh keadaan-keadaan di
segala pulau Indonesia dengan pikiran yang sudah meminum air persatuan
Indonesia. Kita mendirikan Negara Indonesia atas keinsafan akan
pengetahuan yang luas dan lebar tentang seluruh Indonesia.”
Kedua, pada masa-masa awal berdirinya Indonesia itu, ada kesepahaman
yang amat kuat tentang kehendak bahwa negara baru yang ingin dibangun
itu adalah sebuah Negara-bangsa Indonesia yang baru sama sekali.
Dipahami pula bahwa Negara-bangsa Indonesia yang baru itu tidak bisa
dilandaskan pada kebesaran-kebesaran Kerajaan Nusantara yang pernah ada,
karena menurut Mr. M. Yamin, kesemuanya masih bersifat etats
patrimonies (Negara berdasarkan keturunan) ataupun etats puissances
(Negara atas dasar kekuasaan semata). Sebagai alternatifnya, yang
menjadi topik penting ketiga, adalah soal dipilihnya desa atau disebut
dengan nama lain itu – dan adat — sebagai pondasi pendirian Negara
bangsa Indonesia itu. “… Kita tidak mabuk dengan hiburan menyembah
kerajaan-kerajaan seribu satu malam atau bertanam pohon beringin di atas
awan, melainkan melihat kepada peradaban yang memberi tenaga yang nyata
dan kekuatan yang maha dahsyat untuk menyusun negara bagian bawah. Dari
peradaban rakyat zaman sekarang, dan dari susunan Negara Hukum Adat
bagian bawahan, dari sanalah kita mengumpulkan dan mengumpulkan
sari-sari tata negara yang sebetul-betulnya dapat menjadi dasar Negara,”
ujar Mr. M. Yamin.
Untuk memperkuat pandangannya, pada kesempatan lain Mr. M. Yamin
mengatakan bahwa “… Kesanggupan dan kecakapan Bangsa Indonesia dalam
mengurus tata negara dan hak tanah yang semenjak beribu-ribu tahun
menjadi dasar negara dan rakyat murba, dapat diperhatikan pada susunan
persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 nagari di
Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo,
di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain-lain sebagainya. …
Susunan persekutuan yang mengagumkan pada garis-garis besar tak rusak
dan begitu kuat sehingga tak dapat diruntuhkan oleh pengaruh Hindu,
pengaruh feodalisme, dan pengaruh Eropa. Desa tinggal desa, dan susunan
itu memang dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Indonesia
berubah-ubah, dan bedanya, sebagai warna intan yang menyilaukan
bermacam-macam seri.”
Mr. M. Yamin juga mengatakan bahwa “… Negara Indonesia disusun tidak
dengan meminjam atau meniru negeri lain, dan bukan pula suatu salinan
daripada jiwa atau peradaban bangsa lain, melainkan semata-mata suatu
kelengkapan yang menyempurnakan kehidupan bangsa yang hidup berjiwa di
tengah-tengah rakyat dan tumpah-darah yang menjadi ruangan hidup kita
sejak purbakala; kelengkapan itu hendaklah sesuai dengan sifat keinginan
rakyat Indonesia sekarang. … Maka dengan sendirinya … menyusun dasar
negara itu dalam adat, agama, dan otak Indonesia, dan … (di) dalamnya
memanglah tersimpan persesuaian dasar yang akan menjadi sendi
pembentukan negara” (cetak tebal ditambahkan).
Seperti kita ketahui, kemudian, desa atau disebut dengan nama lain
itu, memang diakui keberadaannya dalam UUD 1945. Desa atau disebut
dengan nama lain itu disebut konstitusi sebagai ‘susunan asli’ Bangsa
Indonesia itu, memiliki ‘hak asal-usul’ yang sejatinya menyangkut
pengakuan negara terhadap sistem organisasi, ulayat, dan juga
norma-norma hukum yang hidup dan dikembangkan oleh ’susunan asli’ yang
bersangkutan, karenanya ‘bersifat istimewa’, dan Negara harus
menghormati keberadaan ‘hak-hak asal asul yang bersifat istimewa’ itu,
sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen.
Sebagaimana yang dapat dibaca pada Bagian Penjelasan untuk Pasal 18
itu, jelaslah bahwa desa atau disebut dengan nama lain itu adalah contoh
langsung dari apa yang disebut dalam Penjelasan itu sebagai
volksgemeenschappen, yang dalam kajian hukum ada diterjemahkan sebagai
(kesatuan) masyarakat hukum adat.
***
Pasca reformasi, UUD 1945 mengalami amandemen. Salah satunya adalah
amandemen terhadap Pasal 18. Dalam proses yang berlangsung pada bulan
Agustus tahun 2000, alih-alih mengapus pengakuan itu, boleh jadi karena
sudah dianggap tidak relevan lagi dan dimakan zaman, pengakuan terhadap
keberdaan desa atau disebut dengan nama lain itu justru semakin lebih
tegas, sebagaimana yang tampak dalam proses amandemen Pasal 18, yang
kemudian melahirkan Pasal 18B Ayat 2.
Memang, satu hal yang selalu menjadi perdebatan sebelum amandemen
Pasal 18 adalah bagaimana kedudukan (otonomi) desa terhadap (otonomi)
Pemerintahan Daerah, dan juga terhadap ‘otonomi sektoral’ lainnya,
sebagaimana yang tergambarkan pada problem-problem pengakuan terhadap
‘hak-hak masyarakat (hukum) adat’ pada UU Pokok Agraria, UU Pokok
Kehutanan, dan UU sektoral lainnya (Arizona, 2011). Menyangkut masalah
yang pertama, dalam proses amandemen Pasal 18 terjadi pedebatan serius
soal ketidak konsistenan pengaturan norma-norma hukum yang menyangkut
‘pembagian daerah yang besar dan kecil’ cq ‘hak istimewa’, serta
keberadaan ‘susunan asli’ di dalam Pasal 18 dimaksud (lihat Naskah
Komprehensif Amandemen UUD 1945, Buku 4, Jilid 2). Perdebatan ini
kemudian bermuara pada usul F TNI-POLRI cq. Taufiequrrahman Ruki yang
menyarankan pemilahan norma pengaturan yang ‘ambigu’ itu ke dalam dua
ranah pengaturan yang berbeda satu sama lainnya. Usul ini diterima, dan
bermuara pada, pertama, soal ‘pembagian daerah besar dan kecil’ cq.
‘Pemerintahan Daerah’, yang kemudian yang diatur oleh Pasal 18 dan 18A;
dan kedua, adalah soal pengakuan ‘hak istimewa’, sebagaimana yang
kemudian diatur oleh Pasal 18B.
Pasal 18B itu pun mengatur dua entitas sosial-politik yang berbeda
pula satu sama lainnya, yakni, Pasal 18B Ayat (1) yang berbunyi ”Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; dan
Psala 18B Ayat (2) yang mengatakan “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.” Berbeda dengan situasi sebelum amandemen, penyebutan
‘kesatuan masyarakat hukum adat’ tidak lagi menjadi sekedar berada pada
penjelasan melainkan berada pada batah tubuh UUD 1945. Artinya, melalui
proses amandemen, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat itu
semakin kuat dari waktu-waktu sebelumnya.
Tentu saja, kemudian, hasil amendemen ini menghasilkan beberapa
implikasi. Di antaranya, melalui pengaturan pada Pasal 18 dan Pasal 18A,
desa – dengan demikian tentunya juga soal ‘Pemerintahan di Desa’ –
tidak lagi menjadi bagian dari tata pemerintahan yang diamanatkan
langsung oleh konstitusi seperti yang pernah berlaku pada masa
pra-amandemen. Pasal 18 pasca-amandemen jelas-jelas mengatur hanya ada
Daerah dan Pemerintahan Propinsi, Kabupaten, dan Kota. Tafsir
selanjutnya, kalaupun diperlukan apa yang kemudian disebut sebagai
sistem pengaturan tentang ‘penyelenggaraan Pemerintahan di tingkat Desa
atau disebut dengan nama lain’ atau disingkat ‘Pemerintahan Desa atau
disebut dengannama lain’, kedudukannya tidaklah menjadi bagian dari
rezim Pemerintahan Daerah, melainkan menjadi unit pemerintahan yang
otonom, berdasarkan ‘otonomi asli’ desa atau yang disebut dengan nama
lain, atau bisa juga disebut ‘otonomi desa’ sebagai ‘imbangan’ dari
‘otonomi daerah’, sebagaimana diatur oleh Pasal 18B Ayat 2. Kalaupun
pengaturan tentang ‘Pemerintahan Desa’ itu perlu ‘merujuk’ pada
pasal-pasal yang mengatur soal-soal yang menyangkut kepemerintahan
(daerah), hal itu tidak harus berarti ‘otonomi desa’ berada di bawah
‘otonomi daerah’. Sebabnya adalah, alih-alih meberikan perhatian pada
soal ‘pemerintahan desa’, proses amandemen Pasal 18 memang memberikan
perhatian khusus pada soal-soal yang menyangkut desa atau disebut dengan
nama lain, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Pasal 18B ayat 2. Maka,
dalam konteks ini, kedudukan desa sebenarnya setara dengan kedudukan
‘daerah’ dan/atau ‘daerah istimewa’ itu.
Prof Talizinduhu Ndraha (1999) menyebutkan bahwa kewenangan (dalam
sistem pemerintahan) dapat diturunkan/dikembangkan dari dua jenis hak
yang berbeda satu sama lainnya. Yakni Hak bawaan, yakni hak yang melekat
pada entitas yang bersangkutan; dan Hak berian, yakni hak yang muncul
sebagai hasil pemberian/peyerahan dari kekuasaan yang lebih tinggi.
Dengan konsepsi yang demikian maka sejatinya ‘Daerah’ memiliki ‘otonomi
daerah’, yang dikembangkan berdasarkan ‘hak berian’. Kecuali untuk
daerah-daerah tertentu sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 18B ayat
1. Sementara Desa atau disebut dengan nama lain memiliki ‘otonomi desa’,
yang muncul sebagai konsekwensi ‘hak bawaan’ (yang muncul sebagai
akibat disebutkannya ‘hak asal-usul’ (sebelum amendemen) dan/atau
‘hak-hak tradisional’ di dalam UUD 45 pasca-amandemen. Oleh sebab itu
sering pula disebut sebagai ‘otonomi asli’.
Perlu pula diingat bahwa, berbeda dengan posisi desa dan konsep
volksgemeenschappen cq. ‘kesatuan masyarakat hukum adat’ pada UUD 1945,
konsep ‘kesatuan masyarakat hukum adat’ muncul secara langsung pada
norma konstitusi. Seperti juga pada situasi sebelum-amandemen, desa dan
atau disebut dengan nama lain, kemudian, juga ‘sekedar’ menjadi contoh
saja dari apa yang kemudian disebut ‘masyarakat adat’, sebagai sandingan
dari penyebutan-penyebutan lain seperti nagari, marga, dan seterusnya.
Atau dapat kita singkat menjadi ‘desa atau disebut dengan nama lain’
saja.
Dalam pada itu, yang dimaksud sebagai ‘masyarakat hukum adat’ dalam
proses amandemen Pasal 18 adalah juga apa yang disebut ‘masyarakat
adat’, konsep yang diusulkan oleh OMS ketika itu. Kesamaan ‘objek yang
diacu’ antara konsep ‘masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat adat’, dan
‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu juga ditegaskan dan/atau
dibenarkan oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH. di dalam proses amandemen
yang berlangsung tahun 2000 itu (lihat Naskah Komprehensif Amandemen UUD
1945, Buku 4, Jilid 2, hal. 1356.).
Selanjutnya, pengakuan terhadap hak-hak yang melekat kepada ‘kesatuan
masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat adat’, atau ‘desa atau disebut
dengan nama lain’ itu makin diperkuat pula oleh kehadiran Bab XA,
tentang Hak Azazi Manusia, Pasal 28i, yang menyebutkan bahwa “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman”.
Dengan argumentasi di atas, saya percaya bahwa pengakuan dan
perlindungan hak-hak masyarakat (hukum) adat dapat saja dicapai melalui
undang-undang yang mengatur tentang desa dan atau disebut dengan nama
lain, sejauh undang-undang dimaksud tidak semata-semata tentang
‘pemerintahan desa’, sebagaimana yang terdapat pada aturan-perundangan
tentang desa selama ini.
***
Jika demikian halnya, maka, dalam konstelasi yang demikian, ‘RUU
Desa’ yang tengah berproses saat ini haruslah dilihat/dibaca sebagai
‘RUU Pengakuan dan Perlingdungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat’,
termasuk soal ‘penyelenggaraan Pemerintahan Nasional di aras desa atau
disebut dengan nama lain’. Pengakuan atas ‘hak asal-usul’ desa atau
disebut dengan nama lain jelas menunjukkan desa atau disebut dengan nama
lain itu tidaklah sekedar urusan ‘pemerintahan desa’, melainkan, yang
terpenting, justru adalah soal pengakuan terhadap wilayah (ulayat) desa
atau disebut dengan nama lain itu, norma-norma hukum (adat) yang
mengatur kehidupan bersama kesatuan masyarakat hukum adat itu, dan ‘hak
pertuanan’ atas ‘harta-kekayaan’ yang melekat kepadanya (baca:
sumber-sumber kehidupan, termasuk sumber-sumber agrarian yang menjadi
basi material kesatuan masyarakat hukum adat itu).
Jika logika yang benar adalah sebagaimana sudah dijelaskan di atas
maka, judul regulasi yang paling tepat bagi regulasi tentang ‘kesatuan
masyarakat hukum adat’ atau ‘masyarakat adat’, atau ‘desa atau disebut
dengan nama lain’ dimaksud, sesuai pasal utama yang menjadi dasarnya,
dalam hal ini adalah Pasal 18B ayat 2, adalah sebagaimana dalam tata
urutan berikut. Pertama, ‘Undang-undang tentang Pengakuan dan
Penghormatan terhadap Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat’.
Kedua, ‘Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat’. Ketiga, ‘Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Adat’ (sebagaimana yang diusulkan AMAN dan DPD 2010).
Keempat, ‘Undang-undang tentang Desa atau disebut dengan nama lain’.
Dengan demikian, penyebutan sekedar ‘RUU Desa’ adalah penyebutan yang
paling tidak sesuai, karena paling tidak konsisten dengan mandat
konstitusi.
Selain tidak sesuai, penyebutan sekedar ‘RUU Desa’ itu juga sangat
mudah ‘ditelikung’ menjadi sekedar regulasi tentang ‘pemerintahan desa’,
sebagai ‘efek historis’ yang begitu kental melekat pada sebutan desa
saat ini. Baik yang menjadi ‘keyakinan’ dari kalangan pemerintah
(termasuk aparat pemerintahan desa, sebagaimana yang tergambarkan dalam
RUU versi Pemerintah dan aspirasi Aparat Pemerintahan Desa) maupun
kalangan masyarakat luas pada umumnya. Bahkan juga menjadi ‘keyakinan’
dari kalangan gerakan sosial dan perguruan tinggi sekalipun!
***
Meski begitu, memang harus diakui bahwa realita lapangan sering
berkata lain. Pengalaman saya (RYZ) dalam beberapa tahun belakang ini
menjadi dosen tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL
UGM, menunjukkan bahwa mengubah pandangan bahwa kata ’desa’ itu tidak
semata-mata merujuk pada pengertian desa sebagai hasil kontruksi
adminitarsi pemerintahan pada masa kolonial dan nasional, melainkan juga
bisa merujuk pada desa sebagai ’susunan asli’ yang ada sebelum
upaya-upaya administrasi pemerintahan itu dilakukan, sebagaimana yang
terjadi di Jawa dan Bali misalanya, tidaklah dapat berjalan mulus. Boleh
jadi, diperlukan satu kebiasaan baru, sebagaimana telah ’ditemukan’
oleh masyarakat Bali, yang menyebut desa sebagai hasil kontruksi proses
administrasi pemerintahan itu sebagai ’desa dinas’, dan ’desa adat’
untuk menyebut entitas sosial yang tumbuh dalam proses perkembangan
masyarakat Bali itu sendiri.
Selain itu, akibat pengalaman masa lalu, kata ’desa’ begitu
menakutkan bagi kalangan yang terlibat dalam gerakan hak-hak masyarakat
adat; dan sebaliknya, kata ’masyarakat adat’ dan/atau ’masyarakat hukum
adat’ begitu tidak jelasnya bagi kubu yang lain. Perdebatan dikalangan
pendukung gerakan masyarakat tentang konsepsi mana yang akan digunakan
untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat (hukum) adat, antara
pilihan-pilihan yang tersedaian itu, pun tidak kunjung berakhir.
Bahkan kerancuan berfikir yang demikian itu juga dialami oleh kaum
cerdik-cendekia yang berkumpul dalam berbagai organisasi masyarakat
sipil dan perguruan tinggi. Salah satu contoh adalah sebagaimana yang
tergambarkan dalam kesimpulan berikut, yang merupakan rangkuman hasil
penelitian yang dilakukan Tim Peneliti FPPD (2008) dan juga Kolopaking
(2011). Dikatakan, (1) Ada adat, tetapi tidak ada desa. Adat sangat
dominan. Desa tidak punya pengaruh. Papua; (2) Tidak ada adat, tetapi
ada desa Pengaruh adat sangat kecil. Desa modern sudah tumbuh kuat.
Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, sebagian Sumatera; (3)
Integrasi antara desa dan adat. Adat dan desa sama-sama kuat. Terjadi
kompromi keduanya. Sumatera Barat; (4) Dualisme/Konflik antara adat
dengan desa. Pengaruh adat jauh lebih kuat ketimbang desa. Terjadi
dualisme kepemimpinan lokal. Pemerintahan desa tidak efektif. Bali,
Kalimantan Barat, Aceh, NTT, Maluku; dan (5) Tidak ada desa tidak ada
adat. Kelurahan sebagai unit administratif (local state government).
Tidak ada demokrasi lokal, seperti yang umumnya tejadi di wilayah
perkotaan.
Jika dicermati, secara tegas kesimpulan itu mengasumsikan bahwa desa
tidaklah dapat berupa adat; dan desa adalah semata-mata unit wilayah
yang saat ini diurus oleh sebuah Pemerintahan Desa. Meski saya tahu yang
dimaksud ’desa’ di sini adalah apa yang dimaksud sebagai ’desa dinas
tadi’. Namun, penggunaan yang ’serampangan’ itu tetap saja potensial
menimbulkan kerancuan dalam menyusun kebijakan ke depan. Misalnya,
’desa-desa adat’ yang ada di sebagian Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera,
yang dikenal dengan sebutan ngata, banua, wanua, marga, tersingkirkan
sebagai contoh dari ’desa adat’. Bagaimana mungkin ’Jawa, sebagian besar
Sulawesi, Kalimantan Timur, sebagian Sumatera’ dikategorikan sebagai
‘tidak ada adat, tetapi ada desa’. Lalu, bagaimana kita mendudukkan
keberdaan ‘kelurahan (sebelum ‘diboyong ke kota), ngata, banua, wanua,
marga, sekedar menyebutkan contoh dari ’Jawa, sebagian besar Sulawesi,
Kalimantan Timur, sebagian Sumatera’. Bukankah sejatinya kelurahan
(sebelum ‘diboyong ke kota), ngata, banua, wanua, marga itu adalah ’desa
adat’ atau sering juga disebut sebagai bentuk ’desa asli’?
Kerancuan berfikir yang demikian itu telah mengakibatkan gerakan
sosial yang peduli dengan hak-hak masyarakat adat dan/atau hak-hak
petani dan/atau hak-hak masyarakat perdesaan pada umumnya tersegregasi
satu sama lain (lihat gambar). Realitas yang demikian tentulah sangat
tidak produktif. Hemat saya, sejumlah kompromi – yang tidak meninggalkan
substansi tentunya — perlu diupayakan. Perdebatan yang mempertentangkan
konsep-konsep masyarakat hukum adat, masyarakat adat, desa dan atau
disebut dengan nama lain sudah harus diakhiri. Gerskan pembelaan harus
mulai memberikan perhatian pada substansi dan proses-proses politik yang
terus bergulir. Sebab itulah, dua fenomena politik yang saya singgung
di atas harus segera disikapi.
Bagi saya, membiarkan proses legislasi dua RUU ‘berjalan beriring’,
khususnya soal RUU Desa dan RUU PPMA adalah sangat berbahaya! Dalam
arti, status quo antara pengakuan atas hak-hak masyarakat adat di satu
pihak, dan penyelenggaraan ‘pemerintahan desa’ di sisi lain akan terus
berlanjut.
Pengalaman selama ini menunjukkan, masyarakat (hukum) adat dalam
posisi yang terus merugi dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, di tengah
tetap menggodog RUU PPMH seperti yang dilakukan AMAN bersama baleg saat
ini, upaya untuk ‘mensubversi’ proses legislasi RUU Desa adalah
keniscayaan.
Bahkan, hemat saya, upaya mensubversi proses RUU Desa itu jauh lebih
strategis, karena proses legislasi yang berlangsung telah berada dalam
‘situasi yang mengikat’ (telah menjadi agenda sidang antara Pemerintah
dan Parlemen cq. Komisi II). Sementara RUU PPMH masih pada tahap legal
drafting di baleg, dan belum ditemukan mitra kerjasanya yang tepat.
Untuk itu, AMAN harus mensegerakan substansi yang ingin diusungnya
melalui UU PPMA menjadi subsatnsi yang hendak didesakkan ke dalam RUU
Desa.
Mari lupakan ‘kulit’. Bersungguh-sungguhlah dengan ‘isi’. ***
Tobelo, 21 April 2012.
R. Yando Zakaria
r.y.zakaria@gmail.com
Tinggal di Dusun Jambon, RT 05/RW 23, Desa Trihanggo, Gamping – Sleman Yogyakarta 55291
Bahan Bacaan :
- Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen (sekarang Kementerian) Dalam Negeri, 2007. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Desa.
- Jaweng, Robert Endi, 2011. “Desa Menuntut Tekognisi Negara”, dalam Harian Kompas, Tanggal 10 Desember 2011.
- Koentjaraningrat, 1970. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
- Mahardika, Timur, 2001. Strategi Tiga Kaki. Dari Pintu Otonomi Daerah Mencapai Keadilan Sosial. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
- Marzali, Amri, (dalam proses penerbitan). “Klasifikasi Tipologi Komunitas Desa di Indonesia”. Sebuah tulisan yang dipersiapkan untuk sebuah buku yang masih dalam proses penerbitan.
- Melalatoa, Junus., 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: Kerjasama Fakultas Ilmu Sosial da Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Penerbit Pamator.
- Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretarian Negara Republik Indonesia.
- Slamet, Ina. E., 1965. Pokok-pokok Pembangunan Masjarakat Desa. Sebuah Pandangan Anthropologi Budaya. Jakarta: Bharata.
- Soemano, H., et.al., eds., 1980. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Proses Kelahirannya. Jakarta: Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.
- Zakaria, R. Yando, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: ELSAM.
- Zakaria, R. Yando, 2004. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) dan Lapera Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar