#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Rabu, 13 Juni 2012

Sekolah (Pura-pura) Gratis

awam green

Oleh : Novyana Handayani

Siapa tak senang dengan kata-kata gratis. Apapun yang gratis, bisa habis dalam sekejab mata. Apalagi asekaolah gratis. Alangkah indahnya, enam tahun sekolah dasar dan tiga tahun di menengah pertama, ditempuh tanpa mengeluarkan materi.

Tak perlu bayar uang BP3 atau apapun namanya. Tak perlu beli buku, karena buku online tersedia. Apalagi ada dana BOS, dari pemerintah pusat. Tapi siapa sangka, gratis selalu sesuai dengan persyaratan. Gratis tersebut tidak termasuk uang seragam yang harus dibayar di awal penerimaan siswa baru (PSB).



Bayangkan, untuk anak SD saja orangtua harus merogoh saku minimal Rp 350 ribu untuk seragam. Belum termasuk uang bangunan, yang katanya tidak boleh ditarik tapi ternyata sudah sesuai kesepakatan lewat rapat komite sekolah.

Ah, pusing. Masih untung kalau segala uang itu bisa dicicil, tapi terkadang ada sekolah yang tak kenal ampun. Harus bayar langsung jika anak ingin dapat kursi. Jika orangtua berani pasang badan, cerita sana sini apalagi ke wartawan, bisa-bisa anak jadi korban kekerasan. Tak dianggap oleh guru, tak diperhatikan.

Belum lagi masuk SMA, jika taka bayar uang sumbangan bangunan, maka anak tak diterima. Apalagi yang nilai hanya pas-pasan. Sebentar lagi PSB, lima kursi direbut sepuluh anak. Alhasil yang tak punya koneksi apalagi money, terpaksa masuk sekolah pinggiran.

Ternyata sekolah gratis hanya pura-pura saja. Karena pengawasan tak pernah ada, guru nakal bisa seenaknya. Maaf jika ada yang tak terima, tapi inilah kenyataan yang sebenarnya.

www.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar