#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Minggu, 17 Juni 2012

Swasembada Gula 2014 Sulit Tercapai

awam green

Prof. Dr. Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA, Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB

Metro Kolom - Ekonomi gula kembai menyita perhatian publik setelah muncul sinyalemen dari Pemerintah sendiri bahwa target swasembada gula sebesar 5,7 juta ton pada tahun 2014 akan sulit tercapai. Apakah hal ini merupakan indikasi untuk merevisi target swasembada gula seperti pada era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid Pertama ataukah merupakan upaya serius untuk mengejar target swasembada tersebut? Hanya waktulah yang akan menjawabnya.

Para analis sebenarnya amat paham bahwa target swasembada gula 2014 itu sulit tercapai melihat persoalan di hulu usahatani dan hilir industri serta langgam administrasi birokrasi pemerintahan saat ini. Masyarakat awam pun cukup skeptis terhadap rekam jejak prestasi dan kapasitas pemerintah untuk sekadar memenuhi janji-janji politik yang dicanangkannya sendiri pada saat Pemilihan Umum.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah memang paling gemar melakukan revisi target swasembada gula ini, dibandingkan misalnya dengan beras dan komoditas pangan lain, karena anggota parlemen dan masyarakat awam tampak tidak terlalu peduli. Pada awal masa administrasi Presiden Susilo Bambag Yudhoyono (SBY), target swasembada gula dicanangkan akan tercapai tahun 2007. Kemudian setelah tanda-tanda peningkatan produksi gula tidak juga terlihat pada akhir 2006, maka target target swasembada diundur menajadi akhir 2008.

Hal yang sama diulang lagi setahun berikutnya dan target swasembada diundur lagi sampai melewati masa administrasi pemerintahan tahun 2004-2009, yaitu menjadi tahun 2010. Setelah diketahui bahwa target swasembada itu tidak mungkin tercapai pada era KIB I, kemudian diciptakan istilah baru swasembada “gula konsumsi” yang merujuk pada upaya pencapaian swasembada gula yang hanya dikonsumsi langsung oleh rumah tangga dan usaha kecil menengah (UKM), bukan untuk industri makanan-minuman skala menengah besar. 

Istilah yang dikarang untuk gula yang dijadikan bahan baku minuman adalah “gula industri”, yang sebenarnya berasal dari upaya pemutihan (refinery) terhadap gula mentah yang diimpor langsung untuk memenuhi kebutuhan industri makanan-minuman skala besar dan umumnya milik asing.

Pada era KIB Pertama itu muncul fenomena investasi baru pembangunan pabrik gula rafinasi secara besar-besaran, dengan kapasitas produksi mendekati 3 juta ton. Lima pabrik gula rafinasi berdiri cukup cepat dan segera melakukan aktivitas produksi memutihkan gula mentah (raw sugar) yang masih berwarna kecokelatan.

Argumen utama yang diusung adalah bahwa impor gula tidak hanya akan dilakukan dalam bentuk gula putih (atau dikenal dengan istilah gula kristal putih=GKP), tapi juga dalam bentuk gula mentah untuk kemudian diputihkan  (atau dikenal dengan istilah gula kristal rafinasi=GKR). Impor gula mentah tidak harus membayar bea masuk alias tarif 0 persen, sedangkan impor gula putih tetap dikenakan bea masuk 5 persen atau kadang lebih, tergantung pada harga yang berlaku di tingkat internasional.

Namun demikian, kinerja produksi gula pada akhir era KIB Pertama hanya mencapai 2,5 juta ton dan masih di bawah target swasembada “gula konsumsi” 2,8 juta ton. Tidak hanya itu, fenomena munculnya industri gula rafinasi justru menimbulkan kerumitan tersendiri bagi upaya-upaya pencapaian target swasembada gula secara umum. Selain karena terdapat perlakuan berbeda dalam hal tarif impor di atas, karakter gula rafinasi yang seakan tidak mempedulikan basis gula tebu yang melibatkan jutaan petani dengan keterbatasan akses yang signifikan.
                                                               ****
Pada era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua dengan duet Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono, target swasembada gula kembali diundur sampai tahun 2014 dengan target 5,7 juta ton gula seperti disebutkan di atas. Pada tahun 2011, “gula konsumsi” ditargetkan mencapai 2,7 juta ton, menggunakan basis konsumsi 214 ribu ton per bulan atau sekitar 12 kilogram per kapita.

Sementara itu, konsumsi gula industri mencapai 1,98 juta ton dengan rincian konsumsi gula industri oleh industri besar mencapai 1,65 juta ton dan konsumsi gula oleh industri kecil dan menengah hanya 330 ribu ton. Total konsumsi gula pada tahun 2011 diperkirakan mencai 4,67 juta ton, suatu jumlah yang sangat tinggi (dilihat dari kinerja produksi) atau jumlah yang masih rendah (dilihat dari tingkat konsumsi gula di pasar domestik dan kemampuan industri gula rafinasi yang masih beroperasi sekitar 70 persen). Akan tetapi, produksi gula pada tahun 2011 diperkirakan hanya 2,35 juta ton menurut versi Pemerintah, dan bahkan lebih rendah sampai 2,15 juta ton menurut versi pelaku usaha.

Persoalan struktural sistem produksi, khususnya tentang ketersediaan lahan, kualitas bibit tebu unggul, dan manajemen usahatani tebu masih belum akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Untuk mencapai produksi gula 5,7 juta ton itu setidaknya diperlukan tambahan lahan usahatani dan perkebunan tebu seluas 350 ribu hektare, suatu angka yang cukup besar. Bahkan, program food estate di Merauke yang sering didiskusikan itu, lahan yang betul-betul siap hanya 25 ribu hektare. Areal pertanian yang sering diklaim mencapai 4 juta hektare itu masih belum siap secara administratif dan belum memadai secara bio-fisik, dan belum layak (feasible) secara sosial-ekonomi.

Demikian pula, klaim pemerintah bahwa terdapat 900 ribu hektare lahan bekas hutan yang telah dicabut izin pengelolaannya karena aktivitasnya tidak pernah jelas sebenarnya telah siap untuk dikonversi menjadi lahan perkebunan tebu. Akan tetapi, persoalan lahan secara administrasi dan sosial-ekonomi tidak sesederhana yang diduga, sehingga realiasi pengadaan lahan baru untuk perkebunan tebu itu pun masih cukup sulit. Apabila pemerintah sangat lamban merealisasikan pengadaan lahan seluas 350 ribu hektare itu, produksi gula maksimal yang akan dihasilkan Indonesia pada tahun 2014 hanya 3,2 juta ton, amat jauh dari target 5,7 juta ton.

Di tingkat produksi, persoalan manajemen budidaya produksi tebu masih belum berubah sejak dulu, sehingga fenomena inefisiensi masih belum mampu dipecahkan. Pada skala yang lebih modern, aplikasi teknologi produksi, teknik budidaya, serta sensitivitas usahatani tebu (lahan basah) terhadap fenomena perubahan iklim dapat menjelaskan rendahnya kinerja produksi tebu di Indonesia.

Pada skala tebu rakyat, persoalan teknik keprasan yang berulang sampai belasan kali juga menjadi masalah tersendiri karena insentif pendanaan pembongkaran ratoon cukup pelik untuk dapat dicerna petani tebu. Di samping itu, basis usahatani tebu semakin tergeser oleh komoditas lain, terutama padi, palawija dan hortikultura yang menghasilkan pendapatan ekonomi tinggi berlipat, juga menjadi kendala pelik yang harus dipecahkan secara arif dan bijaksana.

Dalam bahasa sehari-hari, sistem usahatani tebu telah mengalami pergeseran signifikan, jika tidak dikatakan telah “kalah abu” dalam dua dasa warsa terakhir karena beberapa komoditas lain bernilai ekonomi sangat tinggi semakin dikenal petani tebu. Apabila tidak mampu terkelola secara baik, tingkat substitusi komoditas seperti itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi pencapaian tujuan kebijakan lain, seperti tingkat ketahanan pangan, diversifikasi produksi dan keuntungan ekonomis usahatani.

Bahkan, tingkat substitusi tebu lahan basah dengan padi sawah pernah menjadi topik hangat beberapa waktu lalu karena peningkatan areal tanam tebu dapat mengurangi produksi padi cukup signifikan, dan jelas mengganggu tingkat ketahanan pangan. Fenomena penurunan produksi dan produktivitas – sekaligus penurunan penerimaan ekonomis usahatani telah membuat banyak petani tebu mengonversi menjadi usahatani lain atau dengan pola tanam lain yang lebih menguntungkan.

Karena fenomena substitusi tersebut di atas, petani juga mengalihkan tebu lahan sawah ke lahan kering karena pertimbangan rasional ekonomis. Upaya peningkatan produksi dan produktivitas tebu seakan tidak menghasilkan kinerja yang diharapkan, baik karena menyangkut pembenahan kelembagaan yang demikian strategis. Sejak “terlepas” dari kebijakan sentralistis dan komando ala skema Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) pada awal era reformasi lalu, petani masih perlu dibiasakan untuk mengadopsi pilihan-pilihan ekonomis yang lebih rasional. 

Oleh karena itu, disarankan, pertama, pemerintah perlu lebih terfokus pada langkah nyata dalam peningkatan akses permodalan, informasi pasar, pembenahan kelompok tani dan perbaikan sarana dan prasarana lain yang diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar para petani dalam bernegosiasi dengan pabrik gula dan pelaku pasar lainnya. Dalam hal yang lebih operasional, pemerintah pusat perlu melakukan dialog dengan pemerintah daerah yang telah memasuki fase otonomi, agar diperoleh suatu strategi kebijakan yang bervisi pemberdayaan petani dan lapisan masyarakat lainya.

Kedua, fokus pada perbaikan varietas tebu, optimalisasi waktu tanam, pupuk berimbang, pengendalian organisme pengganggu, perbaikan sistem tebang dan pengangkut merupakan beberapa metode konvensional yang bisa dilakukan. Diperlukan juga langkah terobosan seperti perbaikan insentif manajemen produksi tebu, mulai dari sistem bagi hasil, sistem transfer tebu, pengukuran kualitas tebu, hingga insentif harga. Dalam kondisi biasa-biasa saja, mustahil berharap peningkatan produksi dan produktivitas tebu apabila insentif harga beli demikian rendah karena pabrik gula telah menderita inefisiensi teknis dan ekonomis.

Ketiga, dialog antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sempat menjadi agenda publik mendesak pada tahun 2012 ini, misalnya difokuskan pada kebijakan pengembangan tebu lahan kering yang bervisi pemberdayaan petani dan organisasi tani. Pemberdayaan tersebut perlu menekankan pada tujuan utama dan strategis, yaitu mengurangi kesenjangan produktivitas mencolok antara tebu skala besar dan skala petani kecil.

Keempat, di sisi hilir, revitalisasi dan restrukturisasi pabrik gula perlu dituntaskan pada tahun 2012 ini dengan fokus pada beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perkebunan yang memiliki portofolio besar tentang gula. Tidak harus terlalu tabu untuk belajar banyak dari kebun tebu swasta dan pabrik gula berskala besar seperti Sugar Group, Gunung Madu Plantation dan lainnya. Aspek peningkatan rendemen, dan perbaikan tingkat efisiensi teknis dan ekonomis pabrik-pabrik gula perlu dikerjakan secara simultan. Tidak mungkin berharap terdapat peningkatan efisiensi pabrik gula apabila langkah peningkatan rendemen gula tidak dikerjakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar