#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Senin, 11 Juni 2012

UU Pengadaan Tanah Dinilai Tak Berpihak Masyarakat

Awam Green

TEMPO.CO, Jakarta- LSM Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Serikat Petani Indonesia, serta Yayasan Bina Desa Sadajiwa menggugat UU No.2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Alasannya, karena tidak berpihak kepada masyarakat, kepentingan umum, dan UUD 1945.

"Kami mempermasalahkan UU No.2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah karena bertentangan dengan UUD 1945 dan bertentangan dengan kepentingan umum" ujar kuas hukum pemohon, Edi Harmon Gurning, di Mahkamah Konstitusi, Senin, 11 Juni 2012.

 

Kepentingan umum yang dimaksud oleh kuasa hukum pemohon adalah segala hal yang penting bagi orang banyak dan membutuhkan perlindungan Negara. Dan, menurut kuasa hukum pemohon, ada dua pasal dari UU Pengadaan Tanah yang bertentangan dengan kepentingan umum, yaitu Pasal 9 Ayat 1 dan Pasal 10.

Pasal 9 Ayat 1 mengatakan bahwa penyelenggaraan tanah untuk kepentingan umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Menurut kuasa hukum pemohon, norma pasal itu bisa dianggap bertentangan dengan kepentingan umum karena tidak memberikan definisi kepentingan pembangunan dan masyarakat yang menjadi syarat penyelenggaraan kepentingan umum.


Salah satu kuasa hukum pemohon, Janses E Sihaloho mengatakan, apabila definisi keduanya tak jelas, penyelenggaraan tanah untuk kepentingan umum tak akan tercapai. Pasalnya, kata Janses, dua norma tak akan bisa diseimbangkan apabila definisinya tak jelas. "Setelah kami telusuri, ternyata definisi kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat, tidak secara jelas dan tegas dijelaskan. Kalau kepentingan itu tumpang tindih bagaimana."


Untuk pasal 10, kata Janses, bisa dianggap bertentangan dengan kepentingan umum karena sejumlah fasilitas yang dijabarkan pada pada pasal itu tidak mewakili kategori kepentingan umum. Sebagai contoh, kata Janses, fasilitas jalan tol tidak bisa disebut sebagai kepentingan umum karena yang membutuhkan terbatas.


"Ada beberapa catatan juga di Pasal 10 huruf d. Di situ disebutkan pelabuhan sebagai kepentingan umum. Kami beranggapan pelabuhan bisa menjadi kepentingan umum bila bisa diakses semua orang. Tapi, faktanya, banyak pelabuhan hanya dipakai untuk kepentingan bisnis," kata Janses. Ia beranggapan pasal 10 berorientasi uang.


Menurut Janses, UU Pengadaan Tanah ini juga bermasalah manakala membahas status lahan yang pengadaannya mendapat keberatan dari pihak masyarakat. Ia mengatakan, masyarakat yang keberatan akan pembangunan di suatu lahan dapat digugat di pengadilan tata usaha negara. "Mekanisme musyawarah tak berjalan. Padahal dalam UU, unsur musyawarah disebutkan meski kata mufakat tak disebutkan."


Terakhir, kuasa hukum pemohon memohon kepada MK untuk mengabulkan permohonan mereka dan menyatakan pasal-pasal yang mereka gugat bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28A, Pasal 33, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.


Sidang hari ini dipimpin oleh Muhammad Alim serta Harjono dan Ahmad Fadlil sebagai hakim anggota.


ISTMAN M.P. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar