#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Kamis, 26 Juli 2012

Kasus Balaesang, Polda Sulteng Harus Profesional

Polda Sulteng harus profesional dalam penyelesaian kasus Balaesang. Selain menelusuri akar permasalahan sebenarnya dan tidak sekadar membatasi pada aksi penolakan tambang yang berakhir dengan perusakan alat berat dan rumah warga, Polda juga harus profesional baik pada masyarakat maupun anggota Polri yang ‘mematikan’ warga yang melakukan protes atas tambang Balaesang.

“Apakah tindakan anggota kepolisian itu telah sesuai prosedur atau belum, ini perlu diperiksa secara profesional dan transparan. Perlu diungkap apakah penembakan sudah sesuai standar operasi atau belum. Ini penting untuk menjaga netralitas Polri dalam kasus ini,” tegas Ketua Fraksi PDIP DPRD Provinsi (Deprov) Sulteng, Huisman Brant Toripalu.

Brant mengatakan, akar masalah kasus Balaesang adalah konflik lahan antara warga yang berupaya mempertahankan hak ekonomi dan lingkungannya berhadapan dengan investor tambang.

Ia mengatakan kasus Balaesang merupakan kasus yang kesekian kalinya terjadi di Sulteng. Sebelumnya konflik lahan yang menghadapkan masyarakat dengan aparat dan pemilik modal juga terjadi di Banggai. Menurut Brant, akar konflik tersebut adalah permasalahan agraria.

“Permasalahannya bermula dari tidak dilaksanakannya regulasi yang ada. Peraturan perundang-undangan dan aturan pelaksanaannya untuk pengadaan tanah bagi investor atau masyarakat sangat jelas. Olehnya tuntutan masyarakat harus dilihat secara komprehensif, jangan hanya diposisikan sebagai pihak yang menolak investor semata,” kata Brant, kemarin (25/7).

Tuntutan masyarakat harus dimaknai upaya mempertahankan tanah sebagai sumber penghidupan. Dengan pendekatan itu, aparat kepolisian tidak boleh menempatkan masyarakat secara an sich sebagai pihak yang bersalah atas konflik yang terjadi.

“Tindakan masyarakat harus dimaknai sebagai bentuk kekecewaan, rasa frustasi dan kemarahan atas tersumbatnya aspirasi mereka untuk mempertahankan hidup dan lahan garap mereka,” tuturnya.

Sekretaris Komisi I, Nawawi Sang Kilat, secara tegas minta polisi yang melakukan penembakan juga harus diperiksa, jangan hanya warga yang melakukan pengrusakan.

“Apakah penembakan sesuai prosedur atau tidak. Saya setuju Kapolda kita undang dan harus dijelaskan seterang-terangnya, kenapa selalu ada penembakan mulai dari Buol, Tiaka dan kini Balaesang. Penyelesaian dua kasus ini juga tidak jelas,” tekannya.

WAJIB DICABUT

Bupati Donggala Habir Ponulele, didesak untuk segera mencabut izin usaha pertambangan (IUP) PT Citra Manunggal Abadi.

Desakan itu, diungkapkan Koalisi Demokrasi untuk Pemerintahan Amanah dan Bersih Sulteng (Kompas). Olehnya, Dekab Donggala, segera memanggil Bupati Donggala sekaligus meminta penjelasan terkait kasus di Kecamatan Balaesang, yang telah menelan korban jiwa.

“Dekab Donggala jangan hanya memanggil SKPD. SKPD hanya menjalankan perintah atasan, bukan pihak yang bertanggungjawab atas kasus yang terjadi. Ini dibutuhkan sikap tegas Dekab Donggala, tidak hanya sekadar menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP),” kata Ketua Kompas Sulteng, Muh Masykur, Selasa (24/7).

Ia menceritakan awalnya, PT CMA hanya berbekal surat sakti dari Bupati Donggala, atas rekomendasi Gubernur, bernomor 188.45/0288/DESDM/2010, seluas 5.000 Ha tanah milik rakyat itu, kini berpindah tangan ke PT CMA, atas kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati dengan sepengetahuan Gubernur.

“Jika kelak IUP itu, tetap menjadi surat sakti maka bakalan akan terjadi penghacuran hajat hidup rakyat, karena mereka dipaksa melepaskan lahan kelola pertanian, yang jadi tempat sandaran hidup secara turun temurun.

“Keuntungan yang diperoleh dari hasil olahan PT CMA, hanya menguntungkan segelintir orang saja. Karena sejatinya yang namanya investasi swasta, tidak berkorelasi langsung dengan kesejahteraan rakyat,” ujarnya. TMU/URY

www.harianmercusuar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar