Apa jadinya jika perkebunan Anda tiba-tiba dinyatakan sebagai wilayah
hutan dan menjadi tanah negara? Kini Menteri Kehutanan (Menhut) harus
lebih hati-hati dalam menentukan status hutan. Sebab Mahkamah Konstitusi
(MK) menyatakan penentuan status hutan harus melindungi, menghormati,
dan memenuhi hak tanah warga berdasarkan UU.
Kasus ini bermula ketika perkebunan sawit milik warga Jambi, Maskur Anang, yang berada di kawasan budidaya pertanian tiba-tiba dialihfungsikan oleh Menhut secara sepihak. Menhut menetapkan tanah Maskur sebagai hutan tanaman industri (HTI).
"Menteri Kehutanan melanggar hukum melakukan 'manipulasi rekayasa alih fungsi' atas areal tanah yang berada di luar kawasan hutan yang peruntukannya belum ditetapkan sebagai kawasan hutan menjadi 'Hutan Cadangan' yang telah dialihfungsikan dan ditetapkan sebagai cadangan HTI," ujar Maskur di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (16/7/2012).
Pengalihfungsian lahan
ini berdasar pasal 4 ayat 2 huruf b dan pasal 4 ayat 3 UU 41/1999
tentang Kehutanan. Merasa hak konstitusinya dilanggar, Maskur pun
menggugat ke MK dan meminta ketegasan pasal tersebut. Sebab kata
'memperhatian' dalam pasal 4 ayat 3 yang berbunyi 'Penguasaan hutan oleh
negara tetap "memperhatikan" hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional' menjadi ambigu dan
multitafsir.Kasus ini bermula ketika perkebunan sawit milik warga Jambi, Maskur Anang, yang berada di kawasan budidaya pertanian tiba-tiba dialihfungsikan oleh Menhut secara sepihak. Menhut menetapkan tanah Maskur sebagai hutan tanaman industri (HTI).
"Menteri Kehutanan melanggar hukum melakukan 'manipulasi rekayasa alih fungsi' atas areal tanah yang berada di luar kawasan hutan yang peruntukannya belum ditetapkan sebagai kawasan hutan menjadi 'Hutan Cadangan' yang telah dialihfungsikan dan ditetapkan sebagai cadangan HTI," ujar Maskur di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (16/7/2012).
Setelah disidang di MK, akhirnya MK mengabulkan sebagian yang dikehendaki Maskur. "Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," bunyi putusan MK yang dibacakan oleh Ketua MK, Mahfud MD.
Menurut MK, kata 'memperhatikan' dalam pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan haruslah pula dimaknai secara imperatif berupa penegasan. Pemerintah, saat menetapkan wilayah kawasan hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi.
Hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
"Pasal 4 ayat 3 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional'," tandas Mahfud. (asp/nrl)
Salmah Muslimah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar