Awam Green, Palu, Sulawesi Tengah
Oleh : Deni Prianto**
Tina I Kosi ( Foto : Deni Prianto 2012 ) |
Hari masih pagi, matahari baru
menampakkan dirinya sebagian, tapi kehidupan orang Tompu sudah menggeliat sejak
tadi subuh, seorang nenek berusia sekitaran 80-an tahun nampak sudah
mempersiapkan seikat padi untuk ditumbuk, Tina i Kosi demikianlah panggilan
beliau sehari-hari, beliau mulai membersihkan lesung dan alu dan mulailah
kegiatan nombayu atau menumbuk padi dilakukan, seikat padi tadi mulai
dimasukkan dilesung dan kemudian mulai ditumbuk secara berirama dan teratur,
menggambarkan keteraturan kehidupan yang ada di Ngata Tompu, kadang-kadang
ayunan pombayu (alu) itu terlihat cepat, kadang lambat sesuai dengan
kebutuhan tenaga untuk merubah padi itu menjadi beras, setelah beberapa saat,
nenek itu menghentikan kegiatan nombayunya, dan mengumpulkan padi yang sudah
ditumbuk tadi ke dalam tapis, dan kemudian mulai menapis, untuk mengeluarkan
kulit-kulit padi yang sudah terpisah dengan beras, kemudian mulai lagi dengan
menumbuk padi tadi, nama padi itu adalah Saralonja.
Sara Lonja adalah nama salah satu
jenis padi lokal dari Ngata Tompu, yang kalau penamaan lokalnya untuk jenis
padi di sana adalah Pae, yang dalam bahasa Indonesia artinya padi, dari sekitar 50
jenis Pae yang ada di Ngata Tompu hingga akhir tahun 70-an sekarang
tinggal tersisa sekitar 10 jenis yang salah satunya adalah Saralonja, hal itu
sebagai akibat langsung daripada peristiwa diera tahun 1970-an dimana adanya
kebijakan negara khususnya sektor Kehutanan yang menetapkan lingkup wilayah
Ngata Tompu sebagai daerah yang masuk kawasan Hutan Lindung, dimana dengan
adanya kebijakan tersebut maka masyarakat Ngata Tompu dipaksa untuk keluar dari
kampungnya dan dipindahkan melalui program Resetlement ke daerah lembah Palolo,
dan Parigi, serta satu daerah lagi di Kecamatan Biromaru (sekarang wilayah itu
masuk Kecamatan Gumbasa), Padi atau Pae dalam kehidupan orang Tompu
mempunyai peran atau tempat yang sakral dan mengandung nilai-nilai kehidupan
itu sendiri, orang Tompu meyakini bahwa pae itu adalah saudara dari manusia, sehingga
memperlakukannya pun mempunyai prosesi-prosesi tersendiri, mulai dari pembukaan
ladang atau Talua sampai pada proses penanamannya hingga proses panennya.
Ladang atau Talua adalah sebuah media
tempat orang Tompu mengekspresikan diri, selain sebagai tempat untuk menanam
padi dan jenis tanaman lainnya untuk dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari,
juga adalah media tempat pelaksanaan dan prosesi adat yang menyangkut kehidupan
orang Tompu, salah satu hal yang menarik diantara banyak hal yang menarik atau mempunyai
kedalaman arti dalam proses kehidupan berladang orang Tompu adalah Notuja
Pae, menanam padi di ladang tidak boleh dilakukan sebanyak dua kali
dalam satu kali pembukaan ladang, dimana kalau hal ini dilakukan itu adalah
pelanggaran besar, dan biasanya hal itu akan diikuti dengan proses
penghukuman oleh alam, dan
sampai sekarang hal itu dipegang teguh oleh orang Tompu, No Talua atau berladang
selalu diawali dengan prosesi pembukaan ladang mulai dari menandai lokasi calon
ladang (Notandai), kemudian proses menebang pohon-pohon besar dikawasan
yang direncanakan untuk menjadi lokasi ladang itu, sebelum menebang pohon-pohon
itu ada prosesi adat yang dilakukan dimana pohon yang akan ditebang itu
dikelililingi tiga kali sambil mengetuk-ngetuk pohon itu dengan kapak, yang
mana itu adalah bentuk permintaan izin untuk menebang pohon itu, kemudian
setelah ditebang, lokasi itu dibiarkan selama beberapa waktu, lalu diadakan
pembakaran dengan tujuan untuk
membersihkan rumput atau semak-semak yang ada dilokasi ladang itu, baru
kemudian meminggirkan atau menata sisa-sisa batang pohon yang telah ditebang
tadi, ada yang digunakan sebagai kayu api untuk dirumah,dan hal-hal yang lain,
kemudian setelah ladang siap untuk ditanami diadakanlah penanaman padi sulung,
jadi sebelum ada tanaman lainnya di talua tersebut harus ditananam dahulu
sejumlah benih padi, sebagai tanda tanaman sulung kemudian barulah ditanami
padi yang lebih banyak diladang tersebut dengan cara ditugal memakai kayu
panjang yang telah disiapkan, semua pekerjaan berladang ini dilakukan secara
beramai-ramai, atau bergotong royong, namanya No Siala Pale, dan juga
waktu-waktu membuka ladang ini, kemudian membersihkan dan seterusnya ini, tidak
dilakukan secara sembarangan, tapi ada waktu-waktu tertentu dan itu ditentukan
oleh Totua-Totua
Ngata atau orang tua – orang tua
kampung, berdasarkan susunan bintang-bintang yang ada, ini juga adalah bentuk
kearifan lokal yang masih dipegang teguh dan dilaksanakan di Ngata Tompu, dan
memang sangat berhubungan dengan keberhasilan dalam berladang.
Setelah proses penanaman padi selesai,
sambil menunggu saat panen padi, biasanya dipinggiran-pinggiran ladang tadi
ditanami dengan ubi kayu, atau tanaman selingan lainnya, seperti jagung,
sehingga waktu yang ada selalu termanfaatkan, sambil diselingi membersihkan
rumput-rumput atau semak yang tumbuh diantara tanaman padi, satu lagi hal
menarik adalah ketika padi itu mulai berbuah ada ritual yang berlaku disekitar
ladang dan bahkan sampai di dalam perkampungan, berupa penggantian penyebutan
untuk aktivitas yang dilakukan sehari-hari juga benda yang diperlukan atau
dikonsumsi sehari-hari, misalnya minum air diganti namanya, atau mengambil air
diganti namanya, dan itu berlaku seragam di Ngata Tompu, sampai masa panen
telah selesai, pemanenan padi disana masih menggunakan ani-ani, dan namanya
adalah Nokato, padi yang telah dipanen kemudian dikumpulkan dengan
cara diikat seukuran dua genggaman tangan, kemudian disimpan dalam lumbung
padi, ada juga yang disimpan dibumbungan dapur, biasanya padi yang ini yang
akan segera ditumbuk untuk dikonsumsi setiap hari, dan salah satu jenis padi
itu adalah Saralonja, sayup-sayup masih terdengar suara alu bertumbukan dengan
lesung, suara ayunan pombayu Tina i Kosi, seiring dengan
geliat kehidupan di Ngata Tompu.
**Anggota LPA. Awam Green
Tidak ada komentar:
Posting Komentar