#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Sabtu, 28 Juli 2012

TRAGEDI BERDARAH BALAESANG TANJUNG : Upaya Masyarakat Untuk Mempertahankan Hak

Alat Berat Yang Di Bakar Massa Di Desa Walandano
Jerit dan isak tangis keluarga menggemuruh menyambut kedatangan Masdudin yang akrab dipanggil Sando. Kini Ia terbujur kaku tak bernyawa, setelah punggungnya tertembak timah panas hingga tembus ke bagian perut. Sebagian warga terlihat berdiri di halaman, depan pintu rumah dan di tepi jalan dengan mata yang berkaca-kaca sepanjang desa Malei. Suasana haru dan duka mendalam sangat terasa menyelimuti Jum’at pagi itu. “ Tidak Ada Korban Penembakan ” kata para petinggi kepolisian. Begitu berita tersiar di berbagai media, baik cetak maupun elektronik.


Di sebuah rumah kecil dan sederhana almarhum di semayamkan. Dalam peti kayu berwarna coklat, Masdudin alias Sando terbujur kaku dibungkus kain kafan yang telah terikat rapi. Wajahnya yang pucat pasi menghadap keatas seakan memandang cahaya matahari yang menyelinap masuk kedalam rumahnya dari bagian atap seng yang bocor. Sang isteri yang sedang menggendong bayi tak bisa berkata-kata, hanya matanya berkaca-kaca. Tiga orang anaknya yang masih kecil, duduk tersimpuh ditepi peti kayu itu, menatap ayah mereka dengan suara tangis yang keras seiring air mata mengalir deras memenuhi wajah mereka.
Sando adalah fakta bahwa masyarakat menolak keras rencana pertambangan bijih emas seluas 5000 Ha oleh PT. Cahaya Manunggal Abadi (PT.CMA) di kecamatan Balaesang Tanjung.

Sekarang ini, dibeberapa berita media, polisi sibuk mencari aktor intelektual dibalik tragedi itu semua. Masyarakat kini di nyatakan bersalah. Ratusan keluarga masuk hutan berlindung dari kejaran aparat kepolisian yang menembak dan menangkap membabi buta pada kamis pagi pukul 09.00 Wita. Beberapa saksi mata, dengan wajah yang penuh ketakutan mengungkapkan bahwa mereka yang di tangkap, diperlakukan secara kasar. Di buang ke dalam mobil, di pukul, di tendang dan di setrum.

Bila benar demikian, pertanyaan-nya bukankah negara kita telah menandatangi konvenan anti penyiksaan ? Bagaimana dengan asas praduga tak bersalah ? Inikah yang disebut pengayom masyarakat ? Ini benar–benar salah satu dari sekian banyak tragedi berdarah para penegak hukum di negeri tercinta ini.

Bila melihat rentan waktu, bukan tak mungkin konflik bisa dicegah. Dua tahun yang lalu, pada Juni 2010, Bupati Donggala menerbitkan surat izin ekplorasi No.188.45/0288/DESDM/2010. Sejak itu perdebatan (Pro dan Kontra) dalam masyarakat hingga berbagai pertemuan terus bersitegang. Setahun kemudian muncul Peraturan Daerah Kabupaten Donggala No. 1 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Donggala tahun 2011 – 2013. Salah satu isinya menyebutkan bahwa wilayah kecamatan Balaesang Tanjung salah satu kawasan peruntukan pertambangan mineral logam, yaitu emas. Pada bagian lainnya, Perda RTRW Kab. Donggala menjelaskan bahwa kecamatan Balaesang Tanjung juga merupakan wilayah rawan bencana dan daerah wilayah serapan air. Padahal faktanya areal yang di rencanakan untuk wilayah pertambangan saat ini terdapat ribuan tanaman berupa pohon cengkeh, kelapa, kakao, rotan yang ditanam masyarakat (sistem gayapon) dan tempat sumber mata air bagi masyarakat di kecamatan Balaesang Tanjung.

Wujud penolakan nyata sekaligus peringatan massa disampaikan secara terbuka dalam aksi unjuk rasa yang di lakukan masyarakat Balaesang Tanjung pada 6 Maret 2012 di kantor BLH, Kantor Bupati, kantor DPRD Donggala. Masyarakat Balaesang Tanjung, dalam orasi maupun tulisan pamflet secara tegas menyatakan sikap menolak rencana masuknya perusahaan pertambangan emas di Balaesang Tanjung. Kemudian juga menuntut kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Donggala agar mencabut izin ekplorasi PT. CMA serta meminta agar alat berat yang berada di desa Walandano segera dikeluarkan dari kecamatan itu. Dan yang terakhir masyarakat meminta DPRD Donggala segera melakukan revisi Perda RTRW Kabupaten Donggala 2011.

Peringatan tokoh masyarakat akan terjadi konflik horisontal di kemudian hari, di abaikan. Laporan pemalsuan tanda tangan oleh orang-orang perusahaan tambang tak kunjung di proses oleh polisi, tahapan dan isi AMDAL di tutupi dan sosialisasi hanya terbatas pada mereka yang menginginkan kehadiran perusahaan tambang. Inilah hal – hal yang terjadi sebelumnya.

Lalu mengapa situasi semakin tak terkendali ? Banyak warga yang menerangkan bahwa pemicu kemarahan masyarakat, pada saat membaca penjelasan dari ketua komisi II DPRD Donggala dari Partai Amanat Nasional bernama Gosetra Mutaher pada harian Mercusuar pada tanggal 11 Juli 2012 halaman 8. Isi sebagai berikut “ Bahwa kondisi di Desa Malei, Kecamatan Balaesang Tanjung sudah kondusif dan terkendali, pasca penahanan warga Malei yang hendak mengikuti seminar di Donggala beberapa minggu lalu. Ia berharap masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang belum paham pada manfaat tambang jika telah beroperasi. Kini, tahapan eksplorasi tambang biji emas sudah selesai dilakukan seminar Amdal, RPL dan UKL. Hanya menunggu beberapa perbaikan dokumen sebelum dilakukan eksploitasi “. Inilah pemicu utama masyarakat bergerak, marah, merasa sikap mereka selama ini tak di dengarkan, tak di pedulikan, aksi unjuk rasa damai sia – sia, usaha dialogis tak berguna dan akhirnya melakukan perlawanan adalah pilihan terakhir untuk mempertahankan hak yang terancam dan tergadaikan oleh kebijakan pemerintah daerah yang tidak sensitif konflik.

Kini beberapa dari mereka telah mendekam dalam penjara, sebagian masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), ratusan keluarga menderita kelaparan dalam hutan karena takut di tangkap. Bahkan, saat ini, salah seorang dosen di Universitas Tadulako di tuduh menjadi provokator, karena secara terang-terangan berani menolak kehadiran perusahaan tambang yang kerap menghancur masa depan masyarakat dan tanah leluhurnya sendiri.

Akhirnya, mari kita semua membuka mata. Sejak tahun 2010 hingga Juli 2012 situasi di Balaesang Tanjung, seakan di pelihara adanya, dan terjadi pembiaran. Kita di pertontonkan berbagai fakta tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia ketika kebijakan tak pro rakyat dan tidak sensitif konflik. Yakinlah perlawanan rakyat tak akan berhenti, bila hak – hak atas tanah dan wilayahnya di pandang sebelah mata. Cukup sudah jika rakyat harus berlumuran darah dan memberikan nyawanya dalam mempertahankan haknya. Di manakah lagi mereka harus mencari KEADILAN..?? Jika Pemerintah Daerah, DPRD, Pengusaha dan Polisi berdiri dalam satu barisan.

Penulis : Syahrun Latjupa
*Aktivis LPA. Awam Green, Anggota Presidium Front Perjuangan Pembaruan Agraria Sulawesi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar