Sejumlah perusahaan pertambangan dan perkebunan yang terlanjur beroperasi tanpa izin pelepasan kawasan hutan berpeluang memeroleh status pemutihan.
Akhir juli lalu, pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 60/2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta PP Nomor 61/2012 tentang penggunaan kawasan hutan. Kedua produk hukum anyar itu menyempurnakan PP Nomor 10/2006 dan PP Nomor 24/2010.
Perbaikan regulasi pelepasan kawasan hutan akan membuka jalan untuk bisnis pertambangan dan perkebunan yang sebelumnya dicap haram karena beroperasi tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan. Perusahaan kebun dan tambang yang mendapat keistimewaan pemutihan adalah yang mengantongi izin usaha yang diterbitkan oleh pemerintah daerah.
Di samping itu, lokasi kebun dan tambang harus mengacu peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi atau kabupaten kota yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-undang (UU) No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Sementara mengacu kepada UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kebun dan tambang tersebut berlokasi pada hutan produksi atau hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Nantinya, dalam proses legalisasi kebun, Kementerian Kehutanan akan menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan.
Meski begitu, perusahaan yang ingin mendapat pemutihan wajib menyediakan lahan pengganti dengan rasio luas lahan yang setara dengan pada kawasan hutan produksi. Rasio lahan pengganti meningkat dua kali lipat jika kebun tersebut berada pada Daerah Aliran Sungai, pulau, atau provinsi yang luas hutannya kurang dari 30%. Lahan pengganti tidak diperlukan jika kebun tersebut berada pada hutan produksi yang dapat dikonversi.
“PP itu berlaku untuk izin kebun dan tambang yang sudah terbit sebelum UU No.26 tahun 2007, yang tidak melanggar aturan, boleh diproses izin pemanfaatan hutannya. Namun jika terbitnya setelah UU No. 26 tahun 2007, tetap tidak boleh diproses,” cetus Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan usai membuka peluncuran SILK
Menurut Zulkifli, gagasan kedua PP itu dilatarbelakangi kealpaan ketentuan peralihan pada UU No.26/2007 yang mengatur izin pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan tambang atau kebun yang sedang dalam proses penyelesaian.
“Undang-Undang kan tidak berlaku surut. Akhirnya karena tidak ada penjelasan, maka izin yang seharusnya bisa diproses malah tidak dilakukan. Malah jadi abu-abu, tidak ada kepastian hukum,” tutur Zulkifli.(msb)
Akhir juli lalu, pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 60/2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta PP Nomor 61/2012 tentang penggunaan kawasan hutan. Kedua produk hukum anyar itu menyempurnakan PP Nomor 10/2006 dan PP Nomor 24/2010.
Perbaikan regulasi pelepasan kawasan hutan akan membuka jalan untuk bisnis pertambangan dan perkebunan yang sebelumnya dicap haram karena beroperasi tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan. Perusahaan kebun dan tambang yang mendapat keistimewaan pemutihan adalah yang mengantongi izin usaha yang diterbitkan oleh pemerintah daerah.
Di samping itu, lokasi kebun dan tambang harus mengacu peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi atau kabupaten kota yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-undang (UU) No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Sementara mengacu kepada UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kebun dan tambang tersebut berlokasi pada hutan produksi atau hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Nantinya, dalam proses legalisasi kebun, Kementerian Kehutanan akan menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan.
Meski begitu, perusahaan yang ingin mendapat pemutihan wajib menyediakan lahan pengganti dengan rasio luas lahan yang setara dengan pada kawasan hutan produksi. Rasio lahan pengganti meningkat dua kali lipat jika kebun tersebut berada pada Daerah Aliran Sungai, pulau, atau provinsi yang luas hutannya kurang dari 30%. Lahan pengganti tidak diperlukan jika kebun tersebut berada pada hutan produksi yang dapat dikonversi.
“PP itu berlaku untuk izin kebun dan tambang yang sudah terbit sebelum UU No.26 tahun 2007, yang tidak melanggar aturan, boleh diproses izin pemanfaatan hutannya. Namun jika terbitnya setelah UU No. 26 tahun 2007, tetap tidak boleh diproses,” cetus Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan usai membuka peluncuran SILK
Menurut Zulkifli, gagasan kedua PP itu dilatarbelakangi kealpaan ketentuan peralihan pada UU No.26/2007 yang mengatur izin pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan tambang atau kebun yang sedang dalam proses penyelesaian.
“Undang-Undang kan tidak berlaku surut. Akhirnya karena tidak ada penjelasan, maka izin yang seharusnya bisa diproses malah tidak dilakukan. Malah jadi abu-abu, tidak ada kepastian hukum,” tutur Zulkifli.(msb)
Surya Mahendra Saputra
www.bisnis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar