#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Senin, 06 Agustus 2012

Konflik Balaesang, Kapolda Dinilai Aneh

Pernyataan Kapolda Sulteng Brigjen Pol Dewa Parsana yang menyebut bahwa penembakan terhadap lima warga Balaesang Tanjung sudah procedural, dinilai aneh oleh kalangan mahasiswa. Mereka menilai Kapolda sangat melindungi kesalahan anggotanya.

Menurut puluhan mahasiswa, dari sini sangat jelas terlihat bahwa kepolisian tidak berpihak terhadap hak-hak rakyat, melainkan membela kaum investor.

“Sungguh sangat aneh kalau penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap masyarakat Balaesang Tanjung adalah sesuatu hal yang prosedural. Sementara masyarakat hanya mempertahankan apa yang menjadi haknya,” ujar Koordinator Lapangan Gerakan Mahasiswa FKIP (GMF) Untad, Fandi.
Pada hari Sabtu (4/8), sejumlah mahasiswa GMF berunjukrasa di Bundaran Hasanuddin, sekitar pukul 16.30 Wita. Setelah berorasi di Bundaran Hasanuddin, massa kemudian melanjutkan aksinya di depan Kantor DPRD Sulteng.

Fandi menambahkan, pelanggaran HAM di Sulteng sudah semakin merajalela, bahkan terkesan sudah menjadi hal yang wajar. Sebab hampir semua penanganan massa yang dilakukan oleh aparat kepolisian selalu diwarnai dengan aksi penembakan. Beberapa kasus pelanggaran HAM tersebut yakni tragedi berdarah Buol, kasus Tiaka di Morowali, kemudian kasus Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala.

Perlu diketahui, konflik Buol berdarah menewaskan tujuh orang dan puluhan warga mengalami luka tembak. Pada Konflik Tiaka, dua orang warga Mamosalato tewas terkena peluru tajam, sementara pada Konflik Balaesang, satu orang warga tewas tertembus peluru dan empat warga lainnya luka-luka.

Untuk itu GMF menyatakan sikap, mengutuk keras perbuatan aparat kepolisian terhadap masyarakat Balaesang. Menuntut Kapolri dan Kapolda untuk segera mengusut tuntas kasus penembakan di Balaesang.

“Kami juga mengutuk pihak investor yang selalu menjadikan aparat negara bagaikan anjing penjaga yang bertindak brutal,” tegas pendemo.

Saat hearing bersama DPRD Sulteng Rabu (1/8), Kapolda Sulteng Brigjen Pol Dewa Parsana mengungkapkan bahwa penembakan terhadap warga pada konflik Balaesang Tanjung beberapa waktu lalu sudah sesuai dengan prosedur tetap (protap) yang berlaku. Kapolda juga mengaku bahwa jenis peluru yang mengenai kelima korban hingga menewaskan satu diantaranya belum teridentifikasi.

Parsana menuturkan, saat itu anggota kepolisian hendak melaksanakan patroli di wilayah tersebut namun ditengah perjalanan, tepatnya di Dusun I, Desa Malei, aparat dicegat oleh ratusan warga yang diduga dari Desa Katong, Desa Malei, Desa Kamonji dan Desa Rano.

”Lalu anggota terlibat kontak dengan massa di dekat jembatan, anggota dilempari dengan bom molotov dan beberapa senjata lainnya. Karena situasi sudah tidak dapat dikendalikan akhirnya anggota mengambil tindakan tegas untuk membubarkan massa yang beringas,” ungkapnya.

Saat ini, tambah Parsana, pihaknya telah menurunkan empat tim yakni tim investigasi, tim verifikasi, tim penyidikan serta tim rekonsiliasi. Diharapkan tim ini dapat segera menyelesaikan permasalahan yang ada di wilayah Balaesang Tanjung. Sejauh ini kata Kapolda tim investigasi telah memeriksa 41 saksi di internal kepolisian.

”Kami juga masih akan melakukan uji balistik dan jika nantinya ditemukan ada yang tidak sesuai maka anggota yang bertugas saat itu akan diproses sesuai hukum yang berlaku,” tandasnya. MG8

www.harianmercusuar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar