#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Kamis, 09 Agustus 2012

Mempertanyakan Negeri Pertanian Krisis Pangan

Sebagai negara yang amat subur, tanaman apapun bisa tumbuh di negeri ini. Lahan seluas 40,6 juta hektar dengan kondisi tanah subur sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat negeri ini. Namun, yang patut dipertanyakan adalah kenapa bisa negeri yang begitu subur lahan pertaniannya justru terancam hanya gara-gara melambungnya harga bahan baku tempe? Pasti kita semua geleng kepala menyaksikan hal ajaib seperti ini terjadi di sebuah negeri dengan lahan luas dan kondisi tanah yang begitu subur. Indonesia sudah berada di ambang zona gawat darurat dalam hal pangan. Sedikit-sedikit, impor. Impor beras, jagung, garam, elektronik hingga yang teranyar heboh impor kacang kedelai. Padahal semua orang di dunia, apalagi orang Indonesia sendiri mengakui kalau tanah Indonesia subur untuk ditanami segala macam tanaman. Batang ubi tinggal lempar sesuka hati, tumbuh dengan sendirinya. Ranting kayu ditancapkan dimana saja, bertunas perlahan tanpa harus disirami. Batang tebu yang terbuang ke pinggiran lobang sampah, sungai dan peceran, lama-lama keluar tunasnya menjadi bibit baru yang tumbuh menjadi tumbuhan tebu. Sebenarnya apa yang salah? Kenapa bisa sampai kehabisan stok kacang kedelai dan repot-repot mengimpor dari negara lain?
Menarik apa yang telah dikatakan oleh seorang pengamat pertanian Lembaga untuk Pembangunan Ekonomi dan Keuangan (Indef) Bustanul Arifin bahwa Indonesia saat ini terancam krisis pangan karena ketidakmampuan pemerintah memenuhi pasokan bahan pokok dari dalam negeri sementara permintaan terus meningkat. Sebuah ironi sekaligus membuat hati teriris bila mengingat status negeri ini yang agraris, memiliki lahan yang luas dan amat subur.

Terancam Krisis Pangan

Aksi mogok para pembuat tahu dan tempe di Jawa beberapa hari sebelumnya cukup membuat publik terhenyak. Blow up media massa yang merespon secara besar-besaran dimana para pengrajin tahu dan tempe mengeluh dengan kenaikan harga kedelai menjadi menu terhangat. Tuntunan diturunkannya harga kedelai bukanlah solusi tepat. Ibarat pisau bermata dua, wacana kebijakan menstabilkan harga kedelai dengan penetapan nol bea masuk impor kedelai di satu sisi membunuh produktifitas kedelai lokal dan disisi lain menambah penyakit ketergantungan impor terhadap kedelai luar negeri.

Di tahun 1998, areal tanaman kedelai di Indonesia seluas 1,6 juta hektar dengan produksi 1,869 ton kedelai dan konsumsi kedelai tidaklah sebanyak sekarang ini. Sementara masa kini, lahan untuk tanaman kedelai mencapai luas 600 ribu hektar dengan produksi 700 ribu ton, (Analisa, 28/07/12) sementara konsumsi akan kedelai semakin tahun semakin tinggi mengikuti jumlah penduduk yang semakin bertambah.

Untuk tahun 2011 saja, konsumsi nasional mencapai 2,4 juta ton. Bandingkan dengan produksi kedelai nasional yang hanya 700 ribu ton. Otomatis untuk menutupi kekurangan pasokan secara pintas selama ini ditempuh oleh pemerintah adalah dengan cara impor. Kabar buruk gagal panen kedelai Amerika Serikat membuat harga kedelai melambung dan meroket di pasar Indonesia. ujung-ujungnya usaha tempe yang menggunakan bahan baku tempe kelimpungan terancam gulung tikar.

Sebenarnya masalah pangan tidak hanya berkutat pada kedelai, namun jauh-jauh hari negeri ini juga disibukkan dengan masalah stok pangan lainnya hingga selalu mengimpor beras, jagung, garam dan buah-buahan. Luas lahan pertanian 40,6 juta hektar menurut hemat penulis lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bila memang benar-benar dioptimalkan. Apalagi bila ada penambahan areal pertanian. Tapi entah apa yang salah di negeri ini hingga kini tidak pernah mandiri, tidak pernah menjadi negeri pengekspor hasil pertanian, sampai-sampai masalah memenuhi kebutuhan perut sejengkal saja harus beli dari luar, sementara tanah di negeri sendiri subur dan amat luas untuk menyediakan kebutuhan seperti itu. Bandingkan dengan Kamboja, Thailand, Nyanmar dengan wilayah relatif kecil namun mengekspor hasil pertaniannya termasuk ke Indonesia. Seharusnya Indonesia malu mengimpor dan berusaha untuk berbenah menjadi negara pengekspor.

Membangun Pertanian

Masalah pertanian di Indonesia masih berkutat pada langkanya pupuk, kekeringan, kebanjiran, harga merosot saat panen sehingga begitu masa paceklik tiba para petani kelimpungan, serangan hama, dan penguasaan lahan pertanian. Namun yang paling berpengaruh pada produksi pangan adalah alih fungsi lahan pertanian dari lahan pertanian berbasis pangan menjadi lahan perkebunan seperti kelapa sawit, karet, dan kakao.

Namun yang lebih sakitnya, kepemilikan lahan pertanian maupun lahan perkebunan didominasi kaum bermodal yang umumnya dikuasai korporasi/perusahaan asing. Rakyat pribumi hanya mengolah sedikit lahan, dan bahkan hampir kebanyakan menjadi kuli yang bekerja untuk lahan pertanian yang digarap asing. Contoh paling dekatnya adalah Malaysia yang menguasai lahan kelapa sawit hingga 2 juta hektar (25 persen dari luas total lahan perkebunan kelapa sawit nasional).

Nah, sudah waktunya pemerintah fokus memanfaatkan lahan pertanian untuk ditanami bahan pokok pangan rakyat negeri ini. Usaha subsidi membantu petani lokal, memperluas areal pertanian khususnya beras, kedelai, jagung dan tidak mudah mengeluarkan izin untuk perusahaan asing mengolah lahan pertanian kita serta membeli hasil pertanian petani dengan harga pantas merupakan salah satu solusi menjaga ketersediaan stok pangan agar tetap aman. Bila petani makmur dengan pertaniannya, maka mereka tidak mungkin akan mengalih fungsikan lahannya untuk perkebunan kelapa sawit dan karet.

Semoga pemerintah tidak mengambil langkah gegabah mengantisipasi harga kedelai yang naik. Termasuk harga produk pertanian lainnya seperti beras, buah lokal dan hasil pertanian lainnya.

Jika hasil pertanian negara lain bisa merajai di negeri ini, negeri yang begitu subur, kenapa hasil pertanian negeri sendiri tidak bisa merajai di negeri sendiri?

 
Penulis : Suadi 



Penulis adalah Mahasiswa UMSU, Aktif di LPM Teropong, Tenaga Pendidik di SMP YPI An-Nur Martubung 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar