#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Kamis, 30 Agustus 2012

Sesar Palukoro, Tektonik Paling Aktif di Indonesia

Gempa 6,2 Skala Richter (SR) yang mengguncang wilayah Palu dan sekitarnya, Sabtu sore (18/08) menjelang takbiran lalu, telah merenggut 8 jiwa. Gempa menyebabkan longsor di sejumlah lokasi di Kabupaten Sigi dan Parigi Montong. Bahkan, 3 kecamatan di wilayah itu terisolir.

Gempa yang mengguncang saat warga tengah asyik berbuka puasa tersebut, membuat panik karena tanah bergetar keras. Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan, gempa dirasakan sangat keras oleh masyarakat di Palu dan sekitarnya, selama 15 detik.

Pakar gempa dari GREAT ITB, DR Irwan Meilano, menerangkan, gempa ini berasal dari sesar Palukoro. Ia menyebut, sebagian potensi gempa di sekitar patahan Palukoro telah diteliti oleh tim ahli gempa dan Staf Khusus Presiden Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana. Sesar ini bergerak rata-rata 3 cm per tahun dan sangat berbahaya.
Tentang Palukoro ini, pakar gempa dari LIPI DR Dany Hilman, dari ITB DR Hamzah Latief dan periset di Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi (BPPT) DR. Boediarto Ontowirjo pernah memaparkannya di depan Pemda Sulteng, Badan Penanggulangan Bencana daerah (BPBD) Sulteng dan Peneliti Universitas Tadulako pada 13 Juni 2012 lalu.

Para ahli geologi mengkatagorikan Kota Palu, Ibukota Sulteng, sebagai daerah rawan gempa karena memiliki aktivitas tektonik tertinggi di Indonesia. Penyebab utamanya tidak lain adalah karena di kota Palu terdapat patahan kerak bumi (sesar) berdimensi cukup besar, dikenal dengan sesar Palukoro. Sesar itu memanjang mulai dari Selat Makassar sampai pantai utara Teluk Bone dengan panjang patahan sekitar 250 kilometer.

Di Kota Palu, patahan tersebut melintas dari Teluk Palu masuk ke wilayah daratan, memotong jantung kota, terus sampai ke Sungai Lariang di Lembah Pipikoro, Donggala (arah selatan Palu). Sesar ini merupakan pertemuan lempeng-lempeng tektonik Pasifik, Euro-Asia dan Indo-Australia.

Sesar itu terus bergerak satu sama lain dan memiliki sifat pergeseran strike slip mendatar sinistral (pergeseran ke arah kanan) dengan kecepatan geser sekitar 2-3.5 mm sampai dengan 14-17 mm/tahun.

Catatan kegempaan BMKG Palu menyebutkan, hampir setiap jam Palu dan Donggala diguncang gempa. Setiap hari tercatat getaran sampai 20 kali dengan skala 1 hingga 3 Skala Richter. Karena skalanya kecil, getaran gempa tersebut tidak begitu dirasakan oleh masyarakat.

Patahan Palukoro memisahkan 2 mandala yang berbeda corak strukturnya, yaitu mandala barat yang retak-retak dan mandala timur yang cenderung melipat. Pada citra Ikonos dan data topografi IFSAR resolusi 5 meter lipatan ini terlihat sebagai punggungan-punggungan yang membentuk busur (curvilinear). Ke arah tenggara, Patahan Palukoro bersambung dengan Patahan Malil-Kendari dan Patahan Matano.

Kedua patahan ini adalah patahan mendatar sinistral yang diduga mulai terbentuk dari sebelah timur dan berkembang ke barat, bersatu dengan Patahan Palukoro. Ahli berpendapat, pola retakan yang terdapat di mandala barat, sangat mungkin terjadi akibat tekanan berpasangan yang ditimbulkan pergerakan sinistral Patahan Palukoro di utara dan Patahan Pasternoster di selatan.

Pola melipat be-rasosiasi dengan sesar-sesar naik yang berarah utara-selatan. Pencerminan morfologi dari lipatan ini terlihat sebagai punggungan-punggungan dan lembah-lembah. Dalam hal ini, Danau Poso ditafsirkan sebagai espresi morfologi lipatan dan patahan dalam ukuran yang relatif besar.

Di antara Patahan Matano dan Malili-Kendari terdapat suatu bentuk morfologi yang mencerminkan pelipatan yang kuat yang ditafsirkan sebagai lipatan seret (dragfold) yang terbentuk di antara dua medan kompresi.

Bukti ini membawa kepada kesimpulan pergerakan mendatar sinistral (strike slip) Patahan Malili-Kendari dan Patahan Matano. Pergerakan tegak diketahui pula terjadi di beberapa tempat yang disebabkan pembelokan pada arah bidang patahan sehingga menimbulkan gaya tarikan. Terban dapat terjadi dan menghasilkan pembentukan lembah yang lebar seperti Lembah Palu.

Gempa Besar di Palu Sekitarnya

Dari data BMKG dan hasil Penelitian Kebumian dan Mitigasi Bencana Alam (PP MBA) pada Lembaga Penelitian Universitas Tadulako (Untad) Palu, tercatat beberapa gempa besar dalam 100 tahun terakhir yang mengguncang wilayah Palu dan sekitarnya.

Pada 1 Desember 1927 pukul 13.37 WIB, gempa berkekuatan 6.5 Skala Richter (SR) terjadi dengan intensitas VIII-IX MMI (Modified Mercally Intensity). Gempa ini berasal dari aktifitas tektonik Watusampo berpusat di Teluk Palu. Dampak gempa yang sangat kuat ini mengakibatkan kerusakan ratusan rumah penduduk, kantor-kantor pemerintah dan bangunan sosial di Kota Palu, Kota Donggala dan Kecamatan Biromaru.

Data BMKG Palu menyebutkan, 14 orang meninggal serta 50 lainnya luka-luka dalam peristiwa itu. Juga terjadi gelombang pasang tsunami setinggi 15 meter di Teluk Palu. Tangga Dermaga Talise (di pantai Teluk Palu) amblas ditelan ombak dan dasar laut di sekitar dermaga turun hingga 12 meter. Gempa itu juga dirasakan sampai di bagian tengah Sulawesi yang jaraknya sekitar 230 km dari pusat gempa.

Pada 30 Januari 1930, terjadi gempa yang menyebabkan tsunami di Pantai Barat Kabupaten Donggala selama 2 menit setinggi lebih dari 2 meter.

Pada 20 Mei 1938, terjadi gempa berkekuatan 7.6 SR dan Intensitas VIII-IX MMI. Gempa ini mengguncang seluruh Pulau Sulawesi dan sebagian Kalimantan serta memunculkan tsunami di Teluk Tomini. Sebanyak 50 orang tewas dan 50 orang luka-luka.

Pada 14 Agustus 1968, terjadi gempa berkekuatan 6,0 SR yang berpusat di Teluk Tambu, Kecamatan Balaesang Donggala (100 km dari Kota Palu). Getaran gempa ini dirasakan dengan intensitas VII-VIII MMI. Gempa dengan kedalaman 23 kilometer ini memunculkan tsunami lebih 5 meter di wilayah pantai barat Kabupaten Donggala. Sebanyak 200 orang tewas, 790 rumah rusak serta menenggelamkan hampir seluruh isi desa di pesisir pantai barat Donggala.

Peristiwa yang dikenal dengan Gempa Bumi Mapaga itu, menimbulkan tsunami dengan ketinggian air 8-10 meter. Sebelum terjadi tsunami, air laut di sekitarnya surut puluhan meter. Saat air laut surut, ikan-ikan pun bergeleparan di atas pasir. Warga nelayan Tambu yang tak mengerti akan peristiwa itu sebagai tanda bahaya tsunami, justru berbondong-bondong ke pantai untuk memungut ikan. Tetapi, pada saat itulah tiba-tiba gulungan air laut datang, menenggelamkan semua yang ada di pinggiran pantai, termasuk ratusan warga disitu. Para saksi mata menyebutkan, saat terjadi tsunami, pohon-pohon kelapa di pesisir pantai, hanya kelihatan pucuknya, karena tertutup air laut.

Pada 1 Januari 1996, gempa berkekuatan 7.4 SR mengguncang dan dirasakan dengan intensitas VI MMI. Gempa yang berpusat di Selat Makassar mengakibatkan gelombang tsunami di bibir pantai barat Kabupaten Donggala dan Kabupaten Toli-Toli. Sebanyak 9 orang tewas.

Sejumlah peristiwa gempa bumi dahsyat lainnya dalam siklus antara tahun 1904-2004, berturut-turut pernah melanda daerah itu. Gempa Sausu (1994), Gempa Tonggolobibi (1995), Gempa Donggala (1998) yang menimbulkan sejumlah kerusakan dan puluhan korban jiwa.

Gempa Sausu yang berpusat di Sausu, Donggala, menelan korban sekitar 30 orang tewas, dan ribuan rumah penduduk rata dengan tanah. Peristiwa alam yang dahsyat itu tidak pernah hilang dari ingatan masyarakat. Apalagi, sebagian saksi peristiwa mengerikan itu masih hidup.

Pada 24 Januari 2005 pukul 04.11 WIB, gempa berkekuatan 6.2 SR berpusat 16 kilometer arah tenggara Kota Palu menimbulkan kepanikan warga akibat trauma tsunami. Gempa itu menghancurkan 100 rumah. Seorang warga tewas dan 4 orang lainnya luka-luka.

Saat gempa ini, terjadi kepanikan luar biasa di wilayah berpenduduk sekitar 500.000 jiwa itu. Trauma bencana tsunami membuat mereka lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Dalam sekejap, Senin subuh itu, ruas jalan raya ke daerah puncak di sekitar Palu dan Donggala, macet total.

Ribuan kendaraan dan pejalan kaki yang sedang dilanda ketakutan dan ingin menyelamatkan diri, memenuhi jalan. Sebagian besar memilih mengungsi ke Pegunungan Gawalise, Ngata Baru, Bukit Jabal Nur, Sigi Biromaru, Bora, Palolo, dan Bandar Udara Mutiara Palu. Warga sama sekali tak menyadari, bahwa pusat gempa justru di tempat mereka mengungsi itu.

Pada Senin dinihari, 17 November 2008, gempa tektonik berkekuatan 7,7 SR yang berpusat di Laut Sulawesi. Gempa ini menyebabkan 4 penduduk Kabupaten Buol tewas. (kap/rin/nis)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar