INTERAKSI dengan masyarakat luar dan Islam mewarnai kehidupan komunitas Suku Anak Dalam (SAD) Lubuk Kayu Aro, Desa Pelempang, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi. Tapi lagi-lagi, tidak meratanya pembangunan, keterbatasan akses pelayanan sosial dasar menjadikan SAD terkesan termarjinalkan.
Menemui komunitas SAD Lubuk Kayu Aro tidaklah susah. Mereka sudah bermukim lama. Letak geografis kampungnya pun dekat dari jalan utama. Hanya sekira lima kilometer. Tapi itu tak sebanding dengan ketersedian pelayanan dasar layaknya masyarakat umum.
Kecuali yang membuat sulit adalah akses menuju permukiman sunyi itu. Dari Jalan Lintas Jambi-Palembang via Tempino, Simpang Pengeratan adalah jalan masuk untuk menuju kampung yang dulunya hutan tersebut. Butuh perjuangan ekstra untuk menembus sulitnya jalan masuk ke lokasi.
Sepanjang dua kilometer pertama, kondisi jalan tanah itu relatif gampang dilalui. Namun begitu menginjak kilometer ketiga, tak semua mobil bisa menembus jalan bergelombang dan terkadang menyempit itu.
Kendaraan dobel gardan adalah yang ideal. Bila tidak, bersepeda motor adalah pilihan terakhir selain berjalan kaki. Kalau tidak hati-hati naik sepeda motor dengan jalan begini bisa jatuh,” ujar Lek No, masyarakat sekitar yang mengantar Tribun ke permukiman SAD, Senin (31/7/2012) siang.
Setelah pokok kelapa sawit (Elaeis guineensis jack), tanaman selanjutnya adalah karet (Hevea brasiliensis). Karetlah yang mendominasi tumbuh di sana sebagai tanaman sumber penghasilan masyarakat setempat, termasuk Suku Anak Dalam.
Lupakan prototipe Suku Anak Dalam yang hanya mengenakan kain seadanya untuk menutup aurat. Atau kaum wanitanya yang kadang membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka.
Kondisi seperti itu, kini tak lagi ditemui pada komunitas SAD pimpinan Temenggung Soleh. Merekalah yang turun temurun menetap di Lubuk Kayu Aro, Desa Pelempang. Kini mereka bersosialisasi layaknya masyarakat kebanyakan, walau dengan sejumlah keterbatasan.
Dan 13 tahun sudah Kabupaten Muaro Jambi berdiri. Wilayah yang dulunya bagian dari Kabupaten Batanghari ini menjadi kabupaten sendiri dengan Undang-Undang Nomor 54 tahun 1999 sebagai payung hukumnya.
Tapi usia belasan itu belum menciptakan pemerataan pembangunan bagi masyarakat Dusun Lubuk Kayu Aro, Desa Pelempang, Kecamatan Mestong. Padahal, kampung yang secara administrasi masuk dalam RT 10, Desa Pelempang itu hanya berjarak sekira lima kilometer dari jalan arteri lintas Jambi- Palembang. Atau mungkin rentang puluhan kilometer dengan ibukota kabupaten membuat sentuhan pembangunan sulit terjangkau.
Faktanya nyaris demikian. Kami sudah puas dengan janji-janji. Katanya jalan akan diperbaiki, sampai sekarang tidak ada,” kata Hermanto (24), tokoh pemuda setempat yang juga imam di kampung itu.
Bukan Hermanto seorang yang berkeluh kesah akan buruknya kondisi jalan menuju dusun mereka. Sejumlah warga menuturkan pula saat berbincang dengan Tribun, Senin (30/7/2012) malam. Sejumlah nama yang kini memegang jabatan penting di Muaro Jambi mereka sebut.
Malah, sejumlah warga bercerita bahwa jembatan kayu yang menghubungakn jalan itu sempat ambles. Dan akhirnya warga yang gotong royong membangunnya kembali,” kata Rubiyanto menantu Temenggung, yang didapuk menjadi Jenang SAD di sana.
Banyak cerita mengalir lantaran buruknya jalan di sana. Itu terjadi ketika dimulainya pembangunan masjid di permukiman SAD. Truk pengangkut pasir tak bisa masuk sehingga pasir diturunkan di dekat jembatan. Apesnya, pasir itu pun tak bisa diangkut untuk dibawa ke lokasi pembangunan.
Akhirnya sopir bilang, ia ikhlas jangan dibayar,” cerita Hermanto ketua Masjid Al SAD, mengenang.
Buruknya jalan juga berimbas pada banyak hal. Mulai dari aktivitas perekonomian, pelayanan kesehatan hingga kesempatan SAD mendapatkan ilmu. Apakah itu ilmu pendidikan umum hingga ilmu agama. Pasalnya, dulu pernah ada dai yang ditugaskan di sana untuk mengajar, acap absen dengan alasan buruknya jalan. Miris!
Setidaknya ada 48 kepala keluarga (KK) yang menetap di RT 10 Dusun Lubuk Kayu Aro. Adapun yang tinggal di sekitar masjid, sebagai sentra kegiatan mereka, ada 17 KK.
Rumah-rumah mereka terbuat dari papan beratap seng. Ukurannya, tidak lebih besar dari rumah tipe 36. Kecuali kediaman Temenggung Soleh, yang sedikit lebih baik karena sudah permanen.
Menjadikan sungai kecil sebagai sumber utama mata air, praktis SAD Lubuk Kayu Aro langka akan air bersih. Di sungai dangkal itulah mereka melakukan aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK). Sumur yang digali sedalam 10 meter di dekat masjid tak mengeluarkan air sama sekali. Pantauan Tribun, sumur hanya ada di rumah Temenggung dan Jenang.
Keterbatasan lain bagi SAD di sana walau sudah menetap dan tercatat secara administratif, adalah pelayanan kesehatan. Puskesmas terdekat ada di Tempino kurang lebih 10 kilometer dari sana.
Minimnya pelayanan kesehatan dan pengetahuan, berimbas pada tingginya tingkat kematian bayi. Hampir tiap tahun, dari sejumlah kelahiran selalu terjadi kasus kematian bayi.
Pada 2010, misalnya. Menurut Rubiyanto ada dua bayi yang meninggal. Dua kasus yang sama juga terjadi tahun lalu. Di sini banyak melahirkan dibantu oleh dukun beranak,” ucapnya.
Ia menduga, minimnya pengetahuan, asupan gizi, pelayanan kesehatan dan air bersih menjadi akumulasi penyebab kasus itu. Walaupun menurutnya, pada beberapa persalinan ada bidan yang membantu.
Terkait kasus kematian bayi saat persalinan ini, Pai warga SAD di sana bukan sekali dua mengalami. Enam anaknya dari istri pertama, meninggal dalam proses persalinan.
Tak tahu kenapa,” katanya getir saat ditanya penyebab kematian anaknya itu. Derita itu kian lengkap tatkala istrinya menyusul mengembuskan nafas terakhir karena sakit. Dia bilang, terakhir istrinya melahirkan pada 2005. Itulah anak keenamnya yang meninggal.
Di tengah kondisi warga kota yang kadang merasakan listrik padam sekali sepekan, SAD Lubuk Kayu Aro hanya sekitar lima jam menikmati listrik dari genset dalam sehari. Gerutu kita yang keluar lantaran pelayanan kesehatan yang tak memuaskan, mereka mencoba sehat di tengah minimnya fasilitas. (Tribun Jambi/deddy rachmawan)
www.tribunnews.com
Menemui komunitas SAD Lubuk Kayu Aro tidaklah susah. Mereka sudah bermukim lama. Letak geografis kampungnya pun dekat dari jalan utama. Hanya sekira lima kilometer. Tapi itu tak sebanding dengan ketersedian pelayanan dasar layaknya masyarakat umum.
Kecuali yang membuat sulit adalah akses menuju permukiman sunyi itu. Dari Jalan Lintas Jambi-Palembang via Tempino, Simpang Pengeratan adalah jalan masuk untuk menuju kampung yang dulunya hutan tersebut. Butuh perjuangan ekstra untuk menembus sulitnya jalan masuk ke lokasi.
Sepanjang dua kilometer pertama, kondisi jalan tanah itu relatif gampang dilalui. Namun begitu menginjak kilometer ketiga, tak semua mobil bisa menembus jalan bergelombang dan terkadang menyempit itu.
Kendaraan dobel gardan adalah yang ideal. Bila tidak, bersepeda motor adalah pilihan terakhir selain berjalan kaki. Kalau tidak hati-hati naik sepeda motor dengan jalan begini bisa jatuh,” ujar Lek No, masyarakat sekitar yang mengantar Tribun ke permukiman SAD, Senin (31/7/2012) siang.
Setelah pokok kelapa sawit (Elaeis guineensis jack), tanaman selanjutnya adalah karet (Hevea brasiliensis). Karetlah yang mendominasi tumbuh di sana sebagai tanaman sumber penghasilan masyarakat setempat, termasuk Suku Anak Dalam.
Lupakan prototipe Suku Anak Dalam yang hanya mengenakan kain seadanya untuk menutup aurat. Atau kaum wanitanya yang kadang membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka.
Kondisi seperti itu, kini tak lagi ditemui pada komunitas SAD pimpinan Temenggung Soleh. Merekalah yang turun temurun menetap di Lubuk Kayu Aro, Desa Pelempang. Kini mereka bersosialisasi layaknya masyarakat kebanyakan, walau dengan sejumlah keterbatasan.
Dan 13 tahun sudah Kabupaten Muaro Jambi berdiri. Wilayah yang dulunya bagian dari Kabupaten Batanghari ini menjadi kabupaten sendiri dengan Undang-Undang Nomor 54 tahun 1999 sebagai payung hukumnya.
Tapi usia belasan itu belum menciptakan pemerataan pembangunan bagi masyarakat Dusun Lubuk Kayu Aro, Desa Pelempang, Kecamatan Mestong. Padahal, kampung yang secara administrasi masuk dalam RT 10, Desa Pelempang itu hanya berjarak sekira lima kilometer dari jalan arteri lintas Jambi- Palembang. Atau mungkin rentang puluhan kilometer dengan ibukota kabupaten membuat sentuhan pembangunan sulit terjangkau.
Faktanya nyaris demikian. Kami sudah puas dengan janji-janji. Katanya jalan akan diperbaiki, sampai sekarang tidak ada,” kata Hermanto (24), tokoh pemuda setempat yang juga imam di kampung itu.
Bukan Hermanto seorang yang berkeluh kesah akan buruknya kondisi jalan menuju dusun mereka. Sejumlah warga menuturkan pula saat berbincang dengan Tribun, Senin (30/7/2012) malam. Sejumlah nama yang kini memegang jabatan penting di Muaro Jambi mereka sebut.
Malah, sejumlah warga bercerita bahwa jembatan kayu yang menghubungakn jalan itu sempat ambles. Dan akhirnya warga yang gotong royong membangunnya kembali,” kata Rubiyanto menantu Temenggung, yang didapuk menjadi Jenang SAD di sana.
Banyak cerita mengalir lantaran buruknya jalan di sana. Itu terjadi ketika dimulainya pembangunan masjid di permukiman SAD. Truk pengangkut pasir tak bisa masuk sehingga pasir diturunkan di dekat jembatan. Apesnya, pasir itu pun tak bisa diangkut untuk dibawa ke lokasi pembangunan.
Akhirnya sopir bilang, ia ikhlas jangan dibayar,” cerita Hermanto ketua Masjid Al SAD, mengenang.
Buruknya jalan juga berimbas pada banyak hal. Mulai dari aktivitas perekonomian, pelayanan kesehatan hingga kesempatan SAD mendapatkan ilmu. Apakah itu ilmu pendidikan umum hingga ilmu agama. Pasalnya, dulu pernah ada dai yang ditugaskan di sana untuk mengajar, acap absen dengan alasan buruknya jalan. Miris!
Setidaknya ada 48 kepala keluarga (KK) yang menetap di RT 10 Dusun Lubuk Kayu Aro. Adapun yang tinggal di sekitar masjid, sebagai sentra kegiatan mereka, ada 17 KK.
Rumah-rumah mereka terbuat dari papan beratap seng. Ukurannya, tidak lebih besar dari rumah tipe 36. Kecuali kediaman Temenggung Soleh, yang sedikit lebih baik karena sudah permanen.
Menjadikan sungai kecil sebagai sumber utama mata air, praktis SAD Lubuk Kayu Aro langka akan air bersih. Di sungai dangkal itulah mereka melakukan aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK). Sumur yang digali sedalam 10 meter di dekat masjid tak mengeluarkan air sama sekali. Pantauan Tribun, sumur hanya ada di rumah Temenggung dan Jenang.
Keterbatasan lain bagi SAD di sana walau sudah menetap dan tercatat secara administratif, adalah pelayanan kesehatan. Puskesmas terdekat ada di Tempino kurang lebih 10 kilometer dari sana.
Minimnya pelayanan kesehatan dan pengetahuan, berimbas pada tingginya tingkat kematian bayi. Hampir tiap tahun, dari sejumlah kelahiran selalu terjadi kasus kematian bayi.
Pada 2010, misalnya. Menurut Rubiyanto ada dua bayi yang meninggal. Dua kasus yang sama juga terjadi tahun lalu. Di sini banyak melahirkan dibantu oleh dukun beranak,” ucapnya.
Ia menduga, minimnya pengetahuan, asupan gizi, pelayanan kesehatan dan air bersih menjadi akumulasi penyebab kasus itu. Walaupun menurutnya, pada beberapa persalinan ada bidan yang membantu.
Terkait kasus kematian bayi saat persalinan ini, Pai warga SAD di sana bukan sekali dua mengalami. Enam anaknya dari istri pertama, meninggal dalam proses persalinan.
Tak tahu kenapa,” katanya getir saat ditanya penyebab kematian anaknya itu. Derita itu kian lengkap tatkala istrinya menyusul mengembuskan nafas terakhir karena sakit. Dia bilang, terakhir istrinya melahirkan pada 2005. Itulah anak keenamnya yang meninggal.
Di tengah kondisi warga kota yang kadang merasakan listrik padam sekali sepekan, SAD Lubuk Kayu Aro hanya sekitar lima jam menikmati listrik dari genset dalam sehari. Gerutu kita yang keluar lantaran pelayanan kesehatan yang tak memuaskan, mereka mencoba sehat di tengah minimnya fasilitas. (Tribun Jambi/deddy rachmawan)
www.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar