#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Senin, 17 September 2012

Ibu Ecih, Sendiri Dalam Keramaian

Dari Kiri : Finna, Brian, Suci, Ibu Ecih dan Agist
Kunjungan lapangan bersama empat (4) siswa SMA Kornita Bogor yakni Brian Ibnu Syam, Agist Agnia Fidzly Almatin, Suciyati Martinea, dan Finna Hanifah Amatullah, ke desa Tegal Encong, kecamatan Cariu, kabupaten Bogor membawa cerita tersendiri. Ini merupakan rangkaian kegiatan pelatihan kikigaki yang digagas oleh NGO Kyouzon No Mori di Jepang bekerjasama dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) Kornita Bogor dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Sakado Jepang. 


Rumah Ibu Ecih
Perjalanan menuju Tegal Encong dari SMA Kornita ditempuh tidak kurang dari dua jam lamanya. Siang itu matahari tepat berada diatas kepala saat kami berjalan menelusuri pematang sawah. Berita tentang kekeringan yang melanda beberapa wilayah di pulau Jawa di televisi dan diberbagai media elektronik, kini nyata dihadapan kami.

Dari kejauhan terlihat sosok seorang perempuan tua sedang duduk ditepi pematang sawah, memandang empat ekor dombanya yang sedang melumat rumput kering dalam petakan sawah. “Ibu Ecih namanya”, jelas Brian pada kami.

Usia ibu Ecih telah mencapai 80 tahun. Di musim kemarau saat ini, keseharian ibu Ecih dihabiskan untuk menggembalakan domba dari pagi hingga hari petang. Bila saat musim penghujan, manakala semua petani mulai menggarap sawah, ibu Ecih juga turut serta membantu menggarap sawah milik petani didesa tersebut. Tentunya dengan harapan pada panen nantinya ibu Ecih bisa mendapatkan beras. “20 liter beras sudah bisa memenuhi kebutuhan untuk 7 bulan”, jelasnya pada kami.

Sekitar sejam kami duduk dan bercerita bersama ibu Ecih di pematang sawah. Ibu Ecih mengajak kami kerumahnya dan kami pun setuju. Setelah mengikat dombanya disamping rumah, kami di persilahkan masuk kedalam rumah. Ibu Ecih menyerahkan dua lembar kain untuk alas duduk, spontan kami menolak. “ Nak, lantainya kotor “, ucapnya. “ Tidak apa Nek “, ucap Brian, Suci, Agist dan Finna secara bersamaan. Agist langsung mencari sapu ijuk dan membersihkan lantai. Setelah bersih kami semua duduk. Finna dan Suci sibuk mempersiapkan makan siang. Sambil menikmati makanan, diskusi pun kembali dilanjutkan.

“ Kurang lebih 20 tahun saya hidup sendiri dirumah ini. Bila malam hari, saya duduk didepan rumah dibawah pohon sambil memandang rumah-rumah penduduk dikejauhan hingga rasa kantuk tiba. Jarang orang datang, walau hanya sekedar untuk berbicara dengan saya. Kadang saya berpikir bagaimana bila saya sakit atau meninggal dunia nanti, tetapi saya selalu berdoa agar supaya tidak sakit. Ungkap ibu Ecih dengan nada sedih hingga tak kuasa air matanya pun jatuh. Kami semua turut larut dan terharu mendengarnya. Agist, Suci dan Finna dengan spontan mendekati, membelai dan berusaha menghibur agar ibu Ecih tidak bersedih. Setelah suasana kembali membaik, Ibu Ecih hanya bisa berharap, dan mengatakan pada kami, “ semoga pemerintah memperhatikan kehidupan saya “.

Tak terasa hari sudah sore, kami pun pamit untuk kembali. Brian, Agist, Suci dan Finna mengatakan akan kembali lagi, untuk melihat ibu Ecih memandikan dombanya. “ Kalau kemari tolong bawakan nenek sikat untuk membersihkan domba ya..”, ucap Ibu Ecih dengan wajah berharap. Brian, Agist, Suci dan Finna menyanggupinya dan berjanji untuk membawa sikat domba bila kembali ke desa Tegal Encong.

(Syahrun Latjupa)

1 komentar:

  1. waaaaaw kereeen. Kangen nenek ecih :''''
    follow blog aku dong finnahanifah.blogspot.com :)

    BalasHapus