Oleh: Ewin Laudjeng
Mau Koe Kodi Bulu Siora,
(Meskipun Kecil Gunung Siora)
Ne Nuepe Kanja Rede Kadana,
(Jangan Kau Peduli Tubuhnya Yang Pendek)
Njisi Ri Vana, Nalabu Savana
(Meresap ke Rimba, Karamlah Sevanah)
Njisi Ri Lemba, Nalabu Salemba,
(Meresap ke Lembah, Karamlah Selembah)
Njumampipi Vana Manggasuvia
(Sekeliling Rimba memberi Penghormatan)
(Meskipun Kecil Gunung Siora)
Ne Nuepe Kanja Rede Kadana,
(Jangan Kau Peduli Tubuhnya Yang Pendek)
Njisi Ri Vana, Nalabu Savana
(Meresap ke Rimba, Karamlah Sevanah)
Njisi Ri Lemba, Nalabu Salemba,
(Meresap ke Lembah, Karamlah Selembah)
Njumampipi Vana Manggasuvia
(Sekeliling Rimba memberi Penghormatan)
Alkisah,
seorang lelaki bertubuh pendek datang dari pegunungan. Dia bermaksud meminang
seorang puteri bangsawan di Lembah Palu, Sulawesi Tengah. Sang puteri bangsawan
dan keluarganya tak berkenan menerimanya. Tapi, ketika lelaki itu melantunkan syair di atas, dengan serta merta Sang puteri dan keluarganya
menerima lelaki itu dengan penuh penghormatan.
Akhirnya,
lelaki itu pun bisa mewujudkan keinginannya: menikah dengan Sang puteri. Perkawinan ini, kemudian menghasilkan beberapa keturunan yang pada
berikutnya menjadi pemuka-pemuka masyarakat terkenal di Palu. Mereka menyebar di berbagai tempat, tidak berkumpul di satu lokasi. Syair dan kisah perkawinan lelaki dari pegunungan dengan puteri bangsawan di
Lembah Palu tersebut datang dari masa silam.
Tapi,
syair dan kisah itu masih melekat kuat dalam ingatan orang-orang tua di daerah
Pakava, Kabupaten Donggala dan Lembah Palu. Menurut Andreas K, Rayu (37), salah
seorang tokoh masyarakat Pakava, lelaki bertubuh pendek yang menggubah syair
legendaris tersebut adalah Pue Panda namanya. Ia berasal dari Boya Bavoaya,
sebuah kampung di wilayah Komunitas Masyarakat Adat Pakava. Sekarang ini, Boya
Bavoaya termasuk di wilayah Desa Palintuma, Kecamatan Pinembani.
Syair
dan kisah tersebut menunjukan dan memberi pelajaran pada masyarakat saat
ini, betapa pentingnya keberadaan atau peran politik pada masa itu, terutama
bagi masyarakat di Lembah Palu dan sekitarnya. Tapi, masa kejayaan itu telah
lama berlalu. Kenyataan masa kini menunjukan, keberadaan orang Pakava nyaris
tak diperhitungkan sama sekali. Bahkan, tanah adat tempat mereka tinggal saat
ini direcoki oleh Negara.
Lihat
saja, hampir seluruh wilayah perkampungan orang Pakava selalu masuk dalam
kawasan hutan negara dengan status hutan lindung dan hutan produksi. Tindakan
pemerintah itu, dilakukan tanpa penjelasan dan persetujuan orang Pakava.
Penetapan
tersebut, demikian cerita Haji Ando Andi Pelang (65), salah seorang pemuka
masyarakat adat setempat, hanyalah semacam klaim sepihak dari pemerintah atas
hampir seluruh tanah yang ada di wilayah adat. Ia juga menyebut bahwa peraturan
ini mengingatkannya atas kepada politik agraria yang diterapkan oleh pemerintah
Hindia Belanda melalui Domein Verklaring tahun 1870.
Hingga
kini, masyarakat Pakava tidak memahami apa arti patok-patok yang dipasang pemerintah di wilayah adat mereka. Dengan adanya penetapan kawasan tersebut, setiap perkampungan orang Pakava yang terdapat di dalam
kawasan hutan adalah illegal. Padahal, perkampungan-perkampungan itu sudah
dihuni sejak ratusan tahun yang silam. Kenapa bisa seperti itu? “Karena menurut
Undang-Undang Kehutanan, tinggal atau berkampung di dalam kawasan hutan Negara,
adalah perbuatan kriminal,” tutur Andreas menjelaskan.
Berdasarkan
penetapan kawasan hutan Negara tersebut, rumah-rumah orang
Pakava di Desa Bamba Kanini dibakar, dan mereka dipaksa pindah ke dataran Palolo. Perpindahan itu memunculkan persoalan baru yang tak kalah peliknya. Di Palolo, mereka bersengketa lagi dengan pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu yang tidak ingin wilayahnya dijarah. Peristiwa itu menjadi kenangan pahit dalam hidup orang-orang Pakava. Mereka diusir dari tanahnya sendiri tapi tidak diterima di tempat baru. Nasib mereka terluntalunta karena tidak jelas tempat tinggalnya. “Itu sangat memilukan hati kami,” kenang Andreas.
Pakava di Desa Bamba Kanini dibakar, dan mereka dipaksa pindah ke dataran Palolo. Perpindahan itu memunculkan persoalan baru yang tak kalah peliknya. Di Palolo, mereka bersengketa lagi dengan pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu yang tidak ingin wilayahnya dijarah. Peristiwa itu menjadi kenangan pahit dalam hidup orang-orang Pakava. Mereka diusir dari tanahnya sendiri tapi tidak diterima di tempat baru. Nasib mereka terluntalunta karena tidak jelas tempat tinggalnya. “Itu sangat memilukan hati kami,” kenang Andreas.
Selain
itu, penggusuran dan pengingkaran terhadap hak adat orang Pakava juga terjadi
di Duria Talunggayu, Dasengguni, Bamba Raba, dan sekitarnya. Sejumlah lokasi
tersebut diambil secara paksa untuk kepentingan proyek transmigrasi.
Sekarang,
tempat tersebut telah berganti menjadi Mertajaya dan Mertasari yang masuk dalam
wilayah Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat.
Sementara
itu, perkampungan mereka di Sampoa, Bamba Raiya, Simarege dan sekitarnya telah
digusur untuk dijadikan areal perkebunan Kelapa Sawit milik PT
Pasangkayu, anak perusahaan dari Astra Group. Sekarang, nama-nama tempat
(kampung) itu telah berganti menjadi Afdeling Alfa, Delta, Fanta hingga
Afdeling Golf.
Atas semua kisah pilu itu, Andreas menyisipkan harapan, agar
pemerintah bisa menghargai dan mengakui hak orang Pakava atas sumber daya alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar