#menu { background: #333; float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; width: 100%; } #menu li { float: left; font: 67.5% "Lucida Sans Unicode", "Bitstream Vera Sans", "Trebuchet Unicode MS", "Lucida Grande", Verdana, Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 0; } #menu a { background: #333 url("http://i47.tinypic.com/n1bj0j.jpg") bottom right no-repeat; color: #ccc; display: block; float: left; margin: 0; padding: 8px 12px; text-decoration: none; } #menu a:hover { background: #2580a2 url("http://i49.tinypic.com/2vjbz4g.jpg") bottom center no-repeat; color: #fff; padding-bottom: 8px;

Senin, 19 November 2012

Menjaga Rempah-rempah di Seluruh Ternate

Oleh Virna Puspa Setyorini

KOMPAS.com Berdiri di dalam benteng berusia 500 tahun peninggalan Portugis di Desa Sangadji, Kecamatan Ternate Utara, Ternate, Maluku Utara, dan memandang laut lepas di hadapannya membuat orang lupa akan beban hidup untuk sementara.

Keindahan perairan Ternate serta jajaran bukit dan gunung yang samar tampak di kejauhan membuat benteng yang dikenal masyarakat sekitar bernama Toloko tersebut istimewa.

Setelah hampir 100 tahun Toloko berdiri, benteng yang berganti nama menjadi Holandia saat diduduki Belanda tersebut mulai direstorasi. Adalah Jan Peter Booth yang mulai merestorasi benteng tersebut pada tahun 1610.

Meski demikian keelokan benteng dengan latar belakang Gunung Gamalama dan Pulau Tidore di bagian timur laut ini tetap terjaga.

Benteng lain yang menjadi saksi awal kolonialisasi di Nusantara oleh Belanda adalah Benteng Orange.

Dari nama tersebut sangat mudah ditebak siapa yang membangun benteng yang awalnya menjadi pusat perusahaan dagang Belanda, VOC, di Nusantara tersebut.

Benteng berusia lebih dari 400 tahun ini awalnya juga berada di tempat yang strategis dengan pandangan luas ke laut lepas.

Tidak heran jika benteng di Kelurahan Gamalama, Kecamatan Ternate Selatan, Ternate, Maluku Utara, ini menjadi bangunan pertahanan pertama Belanda di Nusantara tampak kurang terawat.

Laut pun kini tidak tampak sedikit pun dari atas tembok benteng, tertutup oleh perumahan dan pertokoan padat di Kota Ternate.

Tidak hanya dua benteng di atas yang didirikan di masa awal kolonialisasi di Nusantara. Masih ada Benteng Kotanaka yang dibangun di samping kanan sebelah utara Kedaton Sultan Tenate, di atas sebuah bukit.

Benteng Belanda yang dibangun di abad ke 18 ini sengaja didirikan untuk mengawasi gerak-gerik Sultan Ternate.

Benteng lain yang tidak kalah keelokannya adalah Kalamata. Terletak di sebelah selatan pusat kota Ternate dan berjarak tiga kilometer (km) benteng yang dibangun oleh Piyageta dari Portugis tahun 1540 ini juga akhirnya direstorasi oleh Pieter Both pada masa kependudukan Belanda di. Ternate tahun 1609.

Dever Lacting, dibangun oleh Victor Moll tahun 1652 dan terletak di Desa Mangon, Kecamatan Sanana, Ternate. Benteng ini tidak banyak terdengar mengingat kondidi yang tidak utuh lagi. Kini diperkirakan hanya 30 persen saja dari bagian benteng yang masih berdiri.

Benteng lain yang masih di Ternate namun berada di luar pulau adalah Bernaveld, berlokasi di Desa Labuha Kecamatan Bacan. Butuh waktu sembilan jam untuk berlayar dari Ternate menuju pulau yang terletak di sebelah selatan pulau Ternate.

Kondisi benteng yang awalnya sengaja dibangun oleh Portugis di akhir abad XV untuk menghadang Spanyol ini masih dalam kondisi 70 persen baik.

Demi rempah-rempah

Seperti yang sudah diketahui bahwa alasan kuat penjelajahan bangsa-bangsa Eropa pada masa abad pertengahan adalah rempah-rempah.

Semakin majunya perdagangan rempah-rempah bangsa Arab sejak masa Nabi Muhammad SAW antara tahun 641 hingga 1096, yang dilanjutkan oleh kekuasaan kekhalifaan Ottoman akan Turki dan Alexandria semakin "mengeringkan" aliran rempah-rempah dari daerah yang mereka sebut "The Spice of Islands" ke benua biru atau dataran eropa.

Rute perjalanan darat mau pun laut rempah-rempah pada masa itu terafiliasi oleh pedagang-pedagang dari Arab. Tidak heran harga rempah-rempah melambung dan lebih mirip emas ketimbang sekedar sebagai bumbu masak.

Perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi di benua biru menghantarkan Portugis menjadi bangsa eropa pertama yang mendarat di Nusantara, sebelum akhirnya di susul oleh Spanyol dan Belanda.

Ternate, Banda Naera, Ambon menjadi pulau-pulau penting yang diperebutkan demi rempah-rempah. Betapa tidak, VOC pun menjadikan Ternate sebagai pangkalannya pada masa awal berdiam di Nusantara.

Ketika berbincang dengan Arsyad Muhammad, pensiunan Polri yang menjadi juru pelihara Benteng Tolluko sedikit banyak menambah pengetahuan mengenai seluk-beluk benteng Portugis tersebut dan juga benteng-benteng lainnya di Ternate.

Arsyad bercerita bagaimana kira-kira situasi benteng yang memiliki luas 1.252 meter persegi (m2) dan diberi nama Tolluco oleh Portugis ini pada masanya.

Menurut dia, Benteng Tolluco dikelilingi oleh air ketika awal berdiri. Tidak saja dikelilingi oleh air, benteng yang menurut Arsyad jika dilihat dari atas mirip seperti alat kelamin kaum adam ini juga berada di bukit tertinggi yang berada di bibir pantai.

Bukanlah keputusan salah ketika Gubernur Jendral Francisco Seereo dari Portugis memutuskan membangun benteng tersebut pada tahun 1512. Harus diakui lokasi benteng ini memang strategis.

Dengan posisinya yang cukup tinggi Portugis dengan mudah mengawasi pergerakan yang mungkin terjadi di perairan Ternate.

Selain itu, dengan sebuah ruang bawah tanah yang memiliki lorong panjang menjorok ke tepi laut, menurut Arsyad, Portugis dengan leluasa melakukan aktivitas bongkar-muat rempah-rempah atau pun mesiu di pinggir laut pada tengah malam tanpa diketahui.

Pensiunan polisi ini lantas menunjukkan satu per satu lokasi benteng-benteng lain khususnya yang berlokasi di Ternate pada sebuah peta yang ia figura dan gantung di salah satu sudut pos pintu masuk Benteng Tolluko.

Dan benar saja, posisi benteng-benteng Portugis, Belanda, mau pun Spanyol yang ada di pulau yang kaya akan rempah-rempah tersebut seperti hendak mengelilingi gunung berapi aktif Gamalama, yang artinya mengelilingi pulau.

Salah seorang staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Ternate Deddy menunjukkan sebuah bangunan sangat panjang di dalam Benteng Orange di mana para petinggi VOC dulunya sering melakukan rapat.

Dalam benteng ini pun, lanjutnya, pernah menjadi pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) VOC Pieter Both, Herarld Reyist, Laurenz Reaal, dan J C Coum.

Selain pusat pemerintahan Belanda, benteng ini pernah menjadi pengasingan Sultan Mahmud Badarudin II (Sultan Palembang) diasingkan di Ternate tahun 1822 hingga meninggal dunia tahun 1852 dan makamnya terletak di sebelah barat kelurahan Kalumpang Ternate.

Sayangnya benteng yang sangat bersejarah ini sangat tidak terawat. Ia mengatakan pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pun tidak dapat membenahi peninggalan bersejarah ini mengingat kepemilikannya belum jelas.

Saat berkunjung ke sana, bangunan yang lebih mirip bangsal yang sebelumnya disebut sebagai tempat Gubernur Jendral VOC sering melakukan rapat besar justru tersekat-sekat dan ditempati beberapa keluarga Polri dan TNI.

Sehingga untuk melihat atau pun mengambil gambar sebuah kuburan belanda yang berada di dalam bangsal tersebut pun sulit dilakukan oleh beberapa wartawan karena pemilik bilik sedang tidak berada di rumah.

Deddy pun mengatakan Benteng Orange memang masih terlihat baik di bagian depan. Namun tembok benteng di bagian belakang yang menghadap Gunung Gamalama telah lama runtuh dan belum dapat direhabilitasi.

Bahkan saat bertanya di mana prasasti yang seharusnya melekat di salah satu sisi benteng yang menunjukkan tahun pembuatan benteng, Deddy pun menjawab sudah lepas.

Ia sendiri pun tidak mengetahui pasti kapan prasasti tersebut lepas dan di mana sekarang benda bersejarah berada.

Benteng-benteng nan cantik yang sangat bersejarah di pulau kaya penghasil rempah-rempah ini kini menjadi "benteng" bagi anak-anak Ternate. Mereka riang gembira memanfaatkan lapangan benteng atau pun balkon benteng sebagai tempat bermain di sore hari.

Sumber : ANT
Editor : Jodhi Yudono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar