HUKUMONLINE.com - Meskipun konstitusi, beberapa peraturan perundang-undangan, dan putusan Mahkamah Konstitusi mengakui hak masyarakat adat, praktiknya lewat regulasi pula mereka dimarjinalisasi. Investasi sektor pertambangan dan kehutanan telah membuat masyarakat adat kian terpinggir dan semakin memprihatinkan.
Juli lalu, misalnya, Mahkamah Konstitusi menegaskan jaminan hak masyarakat dalam pengelolaan hutan. Ketika ditemukan sumber-sumber energi dan mineral di suatu kawasan yang dihuni masyarakat adat, lahan itu lambat laun akan menjadi sengketa. Ironisnya, kebijakan pemerintah relatif selalu lebih berpihak pada upaya menggusur masyarakat dari lokasi tersebut. Pimpinan masyarakat adat yang kritis dan pendamping mereka sering menjadi sasaran kriminalisasi. Bahkan tak jarang dihukum di pengadilan.
Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, minyak dan gas bumi dipandang lebih mengedepankan investasi dan sering mengabaikan perlindungan masyarakat adat. “Masyarakat adat seringkali terusir atau bahkan tergusur dari tanah yang sudah mereka tempati jauh sebelum negara ini berdiri,” kata akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, I Nyoman Nurjaya kepada hukumonline, di sela-sela Seminar Pengkajian Hukum Nasional 202, di Jakarta, Rabu (05/12).
Nurjaya menunjuk contoh seringnya konflik di lahan yang dijadikan lokasi pertambangan atau perkebunan. Demi alasan investasi, status hutan lindung pun bisa berubah. Masyarakat yang ada di kawasan hutan dipandang sebagai warga kelas dua.
Menurut Guru Besar Ilmu Hukum ini, regulasi tak menempatkan masyarakat hukum adat sebagai entitas hukum yang kedudukannya setara dengan hak negara atau individu. “Pemeintah hanya melihat dari sisi komoditas ekonomi,” ujarnya, prihatin.
Keprihatinan senada disampaikan Prof. Muhammad Yamin. Guru Besar Hukum Agraria Universitas Sumatera Utara (USU) ini mengatakan pemerintah terlalu mudah memberikan izin pengelolaan dan eksplorasi migas, dan perpanjangan kontrak kerjasamanya. Ditambah pengawasan yang kurang, jadilah kebijakan yang diterbitkan memberi ruang bagi investor ‘merebut’ lahan dari masyarakat adat.
Yamin menilai seharusnya pemerintah memperhatikan prinsip bahwa siapa yang datang dan bertempat tinggal pertama kali dalam suatu wilayah, maka dialah yang berhak untuk di layani. “pemerintah harusnya memahami prinsip who first come who serve”, paparnya.
Dalam pengelolaan sumber daya di sektor migas, kata Prof. Yamin, perlu kiranya dianut prinsip-prinsip dalam hukum adat yang selama ini lebih mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal. Sebagai contoh, prinsip-prinsip bagi hasil yang ada di dalam masyarakat adat itu sangat tepat apabila dijadikan landasan prinsipil dalam pengelolaan sumber daya alam di sektor migas. Namun sayangnya pemerintah seringkali menafikan prinsip-prinsip yang ada dalam hukum adat.
Problematika yang perlu disoroti saat ini ialah seringkali para investor dan pemerintah ‘berselingkuh’ dalam rangka mempermudah akses penguasaan terhadap sumber daya alam di sektor migas. Sementara kepentingan rakyat nyaris tak dianggap. “Seharusnya rakyat dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.
Juli lalu, misalnya, Mahkamah Konstitusi menegaskan jaminan hak masyarakat dalam pengelolaan hutan. Ketika ditemukan sumber-sumber energi dan mineral di suatu kawasan yang dihuni masyarakat adat, lahan itu lambat laun akan menjadi sengketa. Ironisnya, kebijakan pemerintah relatif selalu lebih berpihak pada upaya menggusur masyarakat dari lokasi tersebut. Pimpinan masyarakat adat yang kritis dan pendamping mereka sering menjadi sasaran kriminalisasi. Bahkan tak jarang dihukum di pengadilan.
Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, minyak dan gas bumi dipandang lebih mengedepankan investasi dan sering mengabaikan perlindungan masyarakat adat. “Masyarakat adat seringkali terusir atau bahkan tergusur dari tanah yang sudah mereka tempati jauh sebelum negara ini berdiri,” kata akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, I Nyoman Nurjaya kepada hukumonline, di sela-sela Seminar Pengkajian Hukum Nasional 202, di Jakarta, Rabu (05/12).
Nurjaya menunjuk contoh seringnya konflik di lahan yang dijadikan lokasi pertambangan atau perkebunan. Demi alasan investasi, status hutan lindung pun bisa berubah. Masyarakat yang ada di kawasan hutan dipandang sebagai warga kelas dua.
Menurut Guru Besar Ilmu Hukum ini, regulasi tak menempatkan masyarakat hukum adat sebagai entitas hukum yang kedudukannya setara dengan hak negara atau individu. “Pemeintah hanya melihat dari sisi komoditas ekonomi,” ujarnya, prihatin.
Keprihatinan senada disampaikan Prof. Muhammad Yamin. Guru Besar Hukum Agraria Universitas Sumatera Utara (USU) ini mengatakan pemerintah terlalu mudah memberikan izin pengelolaan dan eksplorasi migas, dan perpanjangan kontrak kerjasamanya. Ditambah pengawasan yang kurang, jadilah kebijakan yang diterbitkan memberi ruang bagi investor ‘merebut’ lahan dari masyarakat adat.
Yamin menilai seharusnya pemerintah memperhatikan prinsip bahwa siapa yang datang dan bertempat tinggal pertama kali dalam suatu wilayah, maka dialah yang berhak untuk di layani. “pemerintah harusnya memahami prinsip who first come who serve”, paparnya.
Dalam pengelolaan sumber daya di sektor migas, kata Prof. Yamin, perlu kiranya dianut prinsip-prinsip dalam hukum adat yang selama ini lebih mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal. Sebagai contoh, prinsip-prinsip bagi hasil yang ada di dalam masyarakat adat itu sangat tepat apabila dijadikan landasan prinsipil dalam pengelolaan sumber daya alam di sektor migas. Namun sayangnya pemerintah seringkali menafikan prinsip-prinsip yang ada dalam hukum adat.
Problematika yang perlu disoroti saat ini ialah seringkali para investor dan pemerintah ‘berselingkuh’ dalam rangka mempermudah akses penguasaan terhadap sumber daya alam di sektor migas. Sementara kepentingan rakyat nyaris tak dianggap. “Seharusnya rakyat dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar