Pernyataan
ketua Lembaga Adat Desa Malei dan Kepala Desa Malei dimuat disalah satu media online lokal
(http://www.harianmercusuar.com/?vwdtl=ya&pid=24959&kid=all)
yang memberikan kesempatan kepada PT. Cahaya Manunggal Abadi (CMA) untuk
melakukan kegiatan eksplorasi (penelitian) di wilayah Malei dan sekitarnya
sampai tahun 2014 merupakan keputusan yang harus di tinjau kembali.
Sebab di
duga keras, keputusan Lembaga Adat Desa Malei dan Kepala Desa Malei tersebut merupakan
keputusan tanpa pilihan dan mereka berada dalam situasi dibawah tekanan para pihak yang menginginkan agar
PT.CMA terus melakukan aktivitas eksplorasi di kecamatan Balaesang Tanjung. Tragedi
berdarah tanggal 17 Juli 2012 yang telah menewaskan Sando alias Masdudin bukan
perkara mudah dan seharusnya menjadi pertimbangan bahkan menjadi ukuran
kemanusiaan apakah izin eksplorasi tersebut layak untuk dilanjutkan.
Telah
menjadi rahasia umum, kasus tewasnya Sando alias Masdudin hingga saat ini belum
satupun mengungkapkan identitas aparat kepolisian resort Donggala yang
melakukan penembakan. Begitu juga mereka yang tertembak dan telah mengalami
penyiksaan. Padahal tragedi berdarah pada 17 Juli 2012 adalah jelas dan nyata
telah terjadi sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang serius. Sehingga betapa
kita tak lagi memperdulikan nilai kemanusiaan dan perjuangan masyarakat
Balaesang Tanjung bila harus memutuskan untuk melanjutkan kegiatan eksplorasi
di wilayah Balaesang Tanjung khususnya di desa Malei.
Di
lakukannya sosialisasi mengenai Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dan Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR) yang dilaksanakan pada 14 Januari 2013 di Desa Malei
Kecamatan Balaesang Tanjung semakin menunjukkan dan mempertegas bahwa Bupati
Donggala, Habir Ponulele sangat menginginkan dibukanya wilayah pertambangan
emas di Balaesang Tanjung, sehingga tak peduli bahwa proses sebelumnya telah
menimbulkan korban jiwa. Olehnya mengizinkan proses eksplorasi pertambangan emas
di Balaesang Tanjung dilanjutkan adalah sebuah upaya atau strategi untuk
memuluskan izin eksploitasi.
Dalam RTRW kabupaten Donggala ditegaskan bahwa wilayah Balaesang Tanjung adalah
wilayah yang rawan bencana. Maka keputusan tersebut sangat bertolak belakang
dengan keputusan pemerintah daerah kabupaten Donggala mendukung wilayah
Balaesang Tanjung menjadi wilayah usaha pertambangan. Hal ini tentu sangat
mencurigakan dan seakan – akan adanya skenario penciptaan proyek penanggulangan
bencana dan transmigrasi lokal pada masa mendatang di wilayah Balaesang
Tanjung. Sebab rencana pembukaan Wilayah Usaha Pertambangan dan Wilayah
Pertambangan Rakyat di kecamatan Balaesang Tanjung secara jelas telah
mengabaikan pertimbangan ekologis dan secara nyata mengutamakan kepentingan
pemodal.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kemanusiaan Dan Anti
Kekerasan
Jl. Tanjung Satu No.59, Kota Palu – Sulawesi Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar