Oleh: Benget Silitonga
ANALISADAILY.com - Salah satu "PR" pemerintah yang hingga kini tak kunjung selesai adalah
penyelesaian sengketa lahan. Dari tahun ke tahun perampasan dan
penggusuran tanah-tanah rakyat yang berujung menjadi sengketa lahan
semakin marak terjadi. Sampai 2011 terdapat 14.337 sengketa lahan dengan
berbagai tingkatan (BPN). Data September 2009-April 2011 ada 910
perkara sengketa lahan dilaporkan ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
Di Sumut, dalam kurun waktu 2005-2012 ada 2.833 sengketa lahan yang
ditangani Polda Sumut ("Bom Waktu Sengketa Lahan", KOMPAS 28/5/2012).
Ironisnya,
Pemerintah, lewat lembaga dan mekanisme penyelesaian konflik, termasuk
Kepolisian, Komnas HAM, BPN, Dewan Kehutanan Nasional, Task Force
Penanganan Konflik di Kementerian Kehutanan, Tim-tim Terpadu
Penyelesaian Konflik Lahan di provinsi dan kabupaten, dan Panitia Kerja
Penyelesaiaan Konflik Agraria di DPR sampai saat ini gagal menyelesaikan
sengketa lahan. Kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh pendekatan
penyelesaian sengketa lahan yang sangat biasa (ordinary) dan normatif.
Akar Masalah
Pemerintah cenderung melihat sengketa lahan dalam bingkai persoalan legal adminsitratif dan tindak kriminal. Sengketa lahan melulu dipandang sebagai akibat dari masalah sertifikasi legal kepemilikan lahan dan fenomena meningkatnya aksi kriminal perampasan lahan yang dilakukan kelompok rakyat. Tak heran pendekatan penyelesaian sengketa lahan yang dilakukan selama ini tetap normatif, mengedepankan aspek legal administratif, yang acapkali mengkriminalisasi dan merugikan rakyat yang berjuang mempertahankan haknya atas lahan, dan menguntungkan pihak (korporasi) yang menguasai lahan.
Padahal sengketa lahan sejatinya berakar pada politik distribusi kepemilikan lahan yang timpang. Ketimpangan tersebut ditopang oleh kebijakan ekonomi politik yang berwatak kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan dan pertumbuhan investasi, lahan-lahan garapan petani atau lahan milik masyarakat dengan mudahnya beralih fungsi menjadi lahan usaha korporasi dengan harga murah, atas izin pemerintah. Sekitar 85% dari petani Indonesia adalah petani gurem, dalam arti tidak memiliki lahan. Bandingkan dengan penguasaan lahan 34 juta ha oleh 531 perusahaan pemegang HPH/HTI, belum termasuk penguasaan lahan oleh perusahaan pemegang HGU dan pengusaha properti. Apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia adalah landreform, atau redistribusi lahan, bagi golongan elit, bukan untuk rakyat kecil.
Krisis Pangan
Timpangnya distribusi kepemilikan lahan dilanggengkan oleh dua mainstream kebijakan politik pemerintah yang pada akhirnya memicu krisis pangan. Pertama, liberalisasi perdagangan. Awalnya, kebutuhan pangan 230 juta penduduk Indonesia ditopang oleh jutaan keluarga petani kecil produsen pangan. Para petani mengelola lahan dengan mengkombinasikan budi daya tanaman pangan dan tanaman perdagangan serta ternak. Pola tersebut dikembangkan dari generasi ke generasi dan terbukti berhasil memenuhi kebutuhan pangan sendiri dan pendapatan keluarga, serta menjaga kelestarian lingkungan. Sekitar 25 juta rumah tangga petani Indonesia setiap tahunnya memproduksi pangan, meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar dengan nilai sekitar Rp 258,2 triliun (Kompas, 2010).
Namun liberalisasi perdagangan mengubah segalanya. Atas restu pemerintah dan perikatan perdagangan global, perusahaan pangan transnasional dengan mudahnya memperluas investasi, produksi dan pemasaran produk pangan ke negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga memungkinkan mereka menguasai pangan dan menggusur peran jutaan petani kecil yang sebelumnya menjadi pelaku mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan nasional. Liberalisasi perdagangan membuat petani kecil dan buruh tani semakin terpinggirkan dan rentan. Indonesia yang sebelumnya merupakan eksportir pangan kemudian secara bertahap menjadi importir pangan.
Pada periode 1989-1991, Indonesia merupakan pengekspor pangan (net exporter) dengan nilai sekitar US$ 418 juta/tahun. Namun sejak 1994, Indonesia beralih menjadi net food importer. Pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan (net importer) sekitar US$ 863 juta/tahun. Dari 32,5 jiwa (14,1%) jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2009, diperkirakan yang mengalami rawan pangan sekitar 11% atau sekitar 25,4 juta orang. Sebagian besar dari mereka berada di pedesaan yang bekerja sebagai buruh tani dan petani kecil
Kedua, kebijakan ekspansi (perkebunan) sawit. Seiring dengan trend global pergeseran penggunaan minyak fosil ke minyak nabati, dan untuk menggenjot devisa, pemerintah memproyeksikan perluasan perkebunan sawit pada tahun 2014 akan mencapai 10 juta hektare. Untuk mencapai itu pemerintah mempromosikan kebijakan sawit sebagai tanaman hutan, untuk memudahkan pelepasan kawasan hutan tanaman industri menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Kebijakan itu tentu berdampak buruk bagi keberlanjutan usaha jutaan keluarga petani produsen pangan skala kecil dan kedaulatan pangan nasional.
Meminjam kajian Meri Orth di Kalimantan Tengah (2007), ekspansi perkebunan kelapa sawit sangat berdampak terhadap; berkurangnya hutan sebagai sumber produksi pangan, merosotnya luas lahan produksi pangan karena konversi, menurunnya kesuburan lahan dan ketersediaan air, menurunnya persentase petani yang membudidayakan tanaman pangan (padi), meningkatnya jumlah penduduk yang mendapat bantuan Raskin, meningkatnya pengeluaran untuk membeli pangan, dan menurunnya jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi.
Reforma Agraria
Penyelesaian sengketa lahan tidak lagi memadai bila hanya mengandalkan pendekatan legal adminstratif semata (ordinary). Sengketa lahan bukan hanya persoalan konflik sertifikasi kepemilikan dan tindak kriminal. Tetapi sangat mengakar pada politik distribusi lahan yang tidak adil. Di sisi lain, penyelesaian sengketa lahan juga tidak bisa lagi hanya berorientasi pada penyelesaian konflik fisik tetapi juga harus didesain dalam upaya mengatasi krisis pangan. Itu artinya penyelesaian sengketa lahan tidak bisa lagi hanya mengutamakan hukum dan keadilan formal tapi harus dilakukan dalam perspektif keadilan sosial.
Untuk itu dibutuhkan sebuah langkah extra ordinary (luar biasa) dari pemerintah untuk menerbitkan dan menjalankan kebijakan politik Reforma Agraria. Pembaruan atau Reforma Agraria adalah upaya mewujudkan "transformasi agraris" yakni, dari struktur kepemilikan dan distribusi lahan yang timpang, feodal dan kapitalistik menjadi suatu struktur kepemilikan lahan modern yang berkeadilan sosial, dimana rakyat tidak lagi terkucil dan terinvolusi. Sebaliknya rakyat akan terintegrasi ke dalam pilar-pilar ekonomi, menjadi lebih produktif, mengalami proses industrialisasi yang genuine, dimana kesejahteraan rakyat akan lebih terjamin dan terpenuhi.
Esensi Reforma Agraria adalah penataan kembali, atau penataan ulang, struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber agraria agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera.
Asumsi yang mendasari urgensi Reforma Agraria adalah bagaimana alat produksi, dalam hal ini lahan, dikelola secara adil untuk kepentingan sebanyak-banyaknya rakyat. Dengan begitu Reforma Agraria bukan hanya akan menghadirkan Keadilan Agraria tapi juga menjadi basis mengatasi krisis pangan dan membangun kedaulatan pangan. Sebab solusi krisis pangan dan kedaulatan pangan juga mensyaratkan penataan ulang penguasaan sumber-sumber agraria (lahan), pertanian berkelanjutan, perdagangan lokal yang adil, dan pola konsumsi pangan lokal yang beragam.
Secara teoritis ada tiga agenda utama Reforma Agraria yakni; penanganan sengketa lahan, redistribusi lahan (Asset Reform), dan pemberdayaan penerima lahan (Access Reform). Agar tiga agenda tersebut bisa dijalankan maka Reforma Agraria memang memerlukan sejumlah pra syarat yaitu, political will pemerintah, institusi politik demokratik (termasuk parpol di dalamnya), Korporasi yang makin sosial dan menghormati HAM, dan Organsiasi rakyat (tani) yang kuat. Celakanya, sejumlah pra syarat tersebut sepertinya belum tersedia. Pemerintah masih hanya pintar beretorika dan tidak memiliki komitmen reforma agraria. Institusi politik kita juga masih elitis, koruptif, dan oligarkis. Sementara korporasi kita juga masih berwatak konvensional.
Dan yang terakhir organisasi rakyat (tani) juga masih terfragmentasi, mengalami keletihan berjuang, dan kelelahan spiritual. Kalau begitu mungkinkah Reforma Agraria terwujud? Kita tidak tahu pasti. Satu hal yang pasti, "....soal tanah adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah, mengurbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjutnya" (Tauchid, 1952). Semoga ketidakadilan agraria membuka mata hati para politisi dan penguasa di republik ini!***
* Penulis adalah Penggiat Demokrasi dan HAM. Aktivis Pertanahan Perhimpunan BAKUMSU di Medan
Akar Masalah
Pemerintah cenderung melihat sengketa lahan dalam bingkai persoalan legal adminsitratif dan tindak kriminal. Sengketa lahan melulu dipandang sebagai akibat dari masalah sertifikasi legal kepemilikan lahan dan fenomena meningkatnya aksi kriminal perampasan lahan yang dilakukan kelompok rakyat. Tak heran pendekatan penyelesaian sengketa lahan yang dilakukan selama ini tetap normatif, mengedepankan aspek legal administratif, yang acapkali mengkriminalisasi dan merugikan rakyat yang berjuang mempertahankan haknya atas lahan, dan menguntungkan pihak (korporasi) yang menguasai lahan.
Padahal sengketa lahan sejatinya berakar pada politik distribusi kepemilikan lahan yang timpang. Ketimpangan tersebut ditopang oleh kebijakan ekonomi politik yang berwatak kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan dan pertumbuhan investasi, lahan-lahan garapan petani atau lahan milik masyarakat dengan mudahnya beralih fungsi menjadi lahan usaha korporasi dengan harga murah, atas izin pemerintah. Sekitar 85% dari petani Indonesia adalah petani gurem, dalam arti tidak memiliki lahan. Bandingkan dengan penguasaan lahan 34 juta ha oleh 531 perusahaan pemegang HPH/HTI, belum termasuk penguasaan lahan oleh perusahaan pemegang HGU dan pengusaha properti. Apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia adalah landreform, atau redistribusi lahan, bagi golongan elit, bukan untuk rakyat kecil.
Krisis Pangan
Timpangnya distribusi kepemilikan lahan dilanggengkan oleh dua mainstream kebijakan politik pemerintah yang pada akhirnya memicu krisis pangan. Pertama, liberalisasi perdagangan. Awalnya, kebutuhan pangan 230 juta penduduk Indonesia ditopang oleh jutaan keluarga petani kecil produsen pangan. Para petani mengelola lahan dengan mengkombinasikan budi daya tanaman pangan dan tanaman perdagangan serta ternak. Pola tersebut dikembangkan dari generasi ke generasi dan terbukti berhasil memenuhi kebutuhan pangan sendiri dan pendapatan keluarga, serta menjaga kelestarian lingkungan. Sekitar 25 juta rumah tangga petani Indonesia setiap tahunnya memproduksi pangan, meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar dengan nilai sekitar Rp 258,2 triliun (Kompas, 2010).
Namun liberalisasi perdagangan mengubah segalanya. Atas restu pemerintah dan perikatan perdagangan global, perusahaan pangan transnasional dengan mudahnya memperluas investasi, produksi dan pemasaran produk pangan ke negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga memungkinkan mereka menguasai pangan dan menggusur peran jutaan petani kecil yang sebelumnya menjadi pelaku mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan nasional. Liberalisasi perdagangan membuat petani kecil dan buruh tani semakin terpinggirkan dan rentan. Indonesia yang sebelumnya merupakan eksportir pangan kemudian secara bertahap menjadi importir pangan.
Pada periode 1989-1991, Indonesia merupakan pengekspor pangan (net exporter) dengan nilai sekitar US$ 418 juta/tahun. Namun sejak 1994, Indonesia beralih menjadi net food importer. Pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan (net importer) sekitar US$ 863 juta/tahun. Dari 32,5 jiwa (14,1%) jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2009, diperkirakan yang mengalami rawan pangan sekitar 11% atau sekitar 25,4 juta orang. Sebagian besar dari mereka berada di pedesaan yang bekerja sebagai buruh tani dan petani kecil
Kedua, kebijakan ekspansi (perkebunan) sawit. Seiring dengan trend global pergeseran penggunaan minyak fosil ke minyak nabati, dan untuk menggenjot devisa, pemerintah memproyeksikan perluasan perkebunan sawit pada tahun 2014 akan mencapai 10 juta hektare. Untuk mencapai itu pemerintah mempromosikan kebijakan sawit sebagai tanaman hutan, untuk memudahkan pelepasan kawasan hutan tanaman industri menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Kebijakan itu tentu berdampak buruk bagi keberlanjutan usaha jutaan keluarga petani produsen pangan skala kecil dan kedaulatan pangan nasional.
Meminjam kajian Meri Orth di Kalimantan Tengah (2007), ekspansi perkebunan kelapa sawit sangat berdampak terhadap; berkurangnya hutan sebagai sumber produksi pangan, merosotnya luas lahan produksi pangan karena konversi, menurunnya kesuburan lahan dan ketersediaan air, menurunnya persentase petani yang membudidayakan tanaman pangan (padi), meningkatnya jumlah penduduk yang mendapat bantuan Raskin, meningkatnya pengeluaran untuk membeli pangan, dan menurunnya jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi.
Reforma Agraria
Penyelesaian sengketa lahan tidak lagi memadai bila hanya mengandalkan pendekatan legal adminstratif semata (ordinary). Sengketa lahan bukan hanya persoalan konflik sertifikasi kepemilikan dan tindak kriminal. Tetapi sangat mengakar pada politik distribusi lahan yang tidak adil. Di sisi lain, penyelesaian sengketa lahan juga tidak bisa lagi hanya berorientasi pada penyelesaian konflik fisik tetapi juga harus didesain dalam upaya mengatasi krisis pangan. Itu artinya penyelesaian sengketa lahan tidak bisa lagi hanya mengutamakan hukum dan keadilan formal tapi harus dilakukan dalam perspektif keadilan sosial.
Untuk itu dibutuhkan sebuah langkah extra ordinary (luar biasa) dari pemerintah untuk menerbitkan dan menjalankan kebijakan politik Reforma Agraria. Pembaruan atau Reforma Agraria adalah upaya mewujudkan "transformasi agraris" yakni, dari struktur kepemilikan dan distribusi lahan yang timpang, feodal dan kapitalistik menjadi suatu struktur kepemilikan lahan modern yang berkeadilan sosial, dimana rakyat tidak lagi terkucil dan terinvolusi. Sebaliknya rakyat akan terintegrasi ke dalam pilar-pilar ekonomi, menjadi lebih produktif, mengalami proses industrialisasi yang genuine, dimana kesejahteraan rakyat akan lebih terjamin dan terpenuhi.
Esensi Reforma Agraria adalah penataan kembali, atau penataan ulang, struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber agraria agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera.
Asumsi yang mendasari urgensi Reforma Agraria adalah bagaimana alat produksi, dalam hal ini lahan, dikelola secara adil untuk kepentingan sebanyak-banyaknya rakyat. Dengan begitu Reforma Agraria bukan hanya akan menghadirkan Keadilan Agraria tapi juga menjadi basis mengatasi krisis pangan dan membangun kedaulatan pangan. Sebab solusi krisis pangan dan kedaulatan pangan juga mensyaratkan penataan ulang penguasaan sumber-sumber agraria (lahan), pertanian berkelanjutan, perdagangan lokal yang adil, dan pola konsumsi pangan lokal yang beragam.
Secara teoritis ada tiga agenda utama Reforma Agraria yakni; penanganan sengketa lahan, redistribusi lahan (Asset Reform), dan pemberdayaan penerima lahan (Access Reform). Agar tiga agenda tersebut bisa dijalankan maka Reforma Agraria memang memerlukan sejumlah pra syarat yaitu, political will pemerintah, institusi politik demokratik (termasuk parpol di dalamnya), Korporasi yang makin sosial dan menghormati HAM, dan Organsiasi rakyat (tani) yang kuat. Celakanya, sejumlah pra syarat tersebut sepertinya belum tersedia. Pemerintah masih hanya pintar beretorika dan tidak memiliki komitmen reforma agraria. Institusi politik kita juga masih elitis, koruptif, dan oligarkis. Sementara korporasi kita juga masih berwatak konvensional.
Dan yang terakhir organisasi rakyat (tani) juga masih terfragmentasi, mengalami keletihan berjuang, dan kelelahan spiritual. Kalau begitu mungkinkah Reforma Agraria terwujud? Kita tidak tahu pasti. Satu hal yang pasti, "....soal tanah adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah, mengurbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjutnya" (Tauchid, 1952). Semoga ketidakadilan agraria membuka mata hati para politisi dan penguasa di republik ini!***
* Penulis adalah Penggiat Demokrasi dan HAM. Aktivis Pertanahan Perhimpunan BAKUMSU di Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar