Oleh Daniel Leonard
KOMPAS.com - Kehidupan masyarakat di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara yang mendiami Pulau Langgur hingga Elat di Pulau Kei Besar dikenal sangat kental dengan tradisi serta adat dan budaya warisan nenek moyang mereka di tengah perkembangan zaman dan era modernisasi.
Hukum Larvul-Ngabal (pidana dan perdata) merupakan sebuah aturan baku yang masih dijunjung tinggi serta dihormati masyarakat dan tetap berlaku berbarengan dengan hukum positif dari negara.
Bila terjadi peristiwa pidana atau perdata antarwarga desa bertetangga maka hukum positif tetap berlaku bagi semua orang, namun proses penyelesaian secara adat berdasarkan hukum adat Larvul-Ngabal tidak bisa dikesampingkan begitu saja karena lebih efektif.
"Pertikaian warga di Kabupaten Maluku Tenggara, umumnya lebih dipicu masalah batas wilayah atau petuanan dan masalah wanita, dimana orang Kei akan merasa harga diri dan kehormatannya terusik bila kaum perempuan mereka dilecehkan atau batas-batas tanahnya diseroboti," kata tokoh masyarakat Malra dari Raschab Famur Danar, Thaher Hanubun di Langgur.
Maluku Tenggara terdapat 14 raschab dan khusus untuk raschab Famur Danar sendiri dipimpin Haji Muhammad Hanubun selaku kepala raschab atau raja dan membawahi sepuluh Ohoi atau desa dan dusun yang menyebar dari Kecamatan Kei Kecil Timur hingga Kecamatan Kei Kecil Barat.
Status raja atau kepala raschab di Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual yang membawahi beberapa desa dan dusun, berbeda dengan raja di Pulau Ambon dan Lease yang hanya membawahi satu desa dan dusun.
Di dalam satu raschab ini terdapat beberapa desa yang penduduknya berbeda-beda agama, baik Muslim, Katholik maupun Protestan namun mereka umumnya masih memiliki hubungan kekerabatan atau ikatan darah yang sangat kental.
Seperti Raschab Famur Danar membawahi Ohoi Elar Ngorsoin, Lanefar yang penduduknya memeluk agama Khatolik, Ternate beragam Islam, Ohiseb Serei (Protestan) Uf Maar (Islam), Yetfab dan Ohoider Tutu (Khatolik).
Menurut dia sanksi-sanksi adat dari hukum Larvul-Ngabal juga sangat efektif dan paling dihormati warga bila terjadi perselisihan akibat masalah tanah, seperti pemasangan tanda larangan secara adat yang disebut ’Sasi’.
Misalnya pemasangan tanda sasi secara adat di lokasi bandara Ibra yang sampai saat ini belum dicabut secara adat akibat persoalan ganti-rugi lahan yang tidak tuntas oleh pemerintah.
"Kalau sudah terjadi pertikaian antarwarga ohoi atau desa bertetangga, maka upaya perdamaian ini harus dilakukan melalui prosesi adat lewat penyembelihan kerbau atau sapi sebagai hewan kurban sehingga prosesi perdamaian yang bersifat mengikat dan abadi," kata Hanubun yang juga anggota DPRD Maluku ini.
Ritual adat yang dilakukan kepala raschab Famur Danar dengan menghadirkan berbagai kepala-kepala ohoi, termasuk Kepala Ohoi Lumifur, Johanis Ohoitutun yang hadir bersama masyarakat dan tokoh adatnya.
Meski kegiatan ini dilakukan Raschab Famur Danar, namun hampir seluruh perwakilan dari raschab lain yang juga ikut hadir untuk menyaksikannya termasuk Kepala Ur Lim (Kepala Lima) yang bergelar adat Tbav Yam Lim, Hamid Rahayaan.
Prosesi adat perdamaian warga ini dimulai dengan penyambutan Kepala Ohoi Lumifur di ujung Ohoiseb oleh tokoh adat Famur Danar, Hi. Nazaruddin Hanubun bersama warga dan berjalan menuju rumah Raja Raschab, M. Hanubun.
Dalam rumah kepala raschab ini, sudah menunggu sejumlah tokoh adat dan tokoh agama seperti Imam Masjid Al Mathun Danar, Hi. Abas Hanubun untuk duduk bersama dan melakukan dialog dalam bahasa Kei untuk menyelesaikan persoalan.
Sedangkan masyarakat asal Ohoi Lumifur bersama warga Danar langsung digiring ke lokasi sebuah keramat untuk menunggu proses penyembelihan sapi, penanaman emas dan uang koin di bawah tugu perdamaian dilakukan setelah proses adat di rumah Raja Raschab Famur Danar berakhir.
Prosesi ritual adat perdamaian ini dimulai dengan penyampaian kata hati nurani dari Raja Raschab Famur Danar, Thaher Hanubun sebagai penggagas perdamaian, penyembelihan sapi oleh Habib Said Mudzakir Assagaff dan penamanan gelang emas dan uang koin di bawah tugu keramat oleh raja dan tua-tua adat,
Kemudian sejumlah perempuan yang dituakan secara adat memercik air kelapa muda ke seluruh hadirin yang disebut Rinin Patpatuk’ sebagai tanda meringankan segala beban dosa atau kesalahan yang pernah terjadi.
Sedangkan percikan air kelapa muda yang kedua disebut ’Rinin Satsat’ mempunyai makna untuk memohon dan meminta berkat serta rahmat bagi seluruh warga, agar segala usaha dan perjuangan yang dilakukan dapat membawa hasil yang baik.
Berakhirnya ritual adat tersebut ditandai dengan pelepasan anak panah dari busur yang dilakukan seseorang namun tidak dibidik ke seorang warga lainnya yang berlari meninggalkan lokasi upacara adat sebagai tanda semua persoalan yang menjadi pemicu perkelahian dilepaskan, dan siapa saja yang melanggar akan terkena sanksi adat,
Garis Keras
Thaher Hanubun yang kebetulan sedang mencalonkan diri sebagai Bupati Maluku Tenggara periode 2013-2018 dan berpasangan dengan Gerry Hukubun dalam kesempatan lain menyatakan penyesalan mendalam terkait beredarnya isu negatif yang bersifat provokasi.
"Saya dibilang Muslim garis keras oleh sekelompok oknum tertentu, namun para pelaku ini sudah teridentifikasi sehingga tim kuasa hukum Hanubun-Hukubun yang akrab disapa ’Tegar’ akan melakukan upaya hukum," katanya.
Untuk itu, masyarakat diimbau untuk tidak mudah terprovokasi dengan isu yang sifatnya menghasut serta memecah-belah kehidupan orang Kei yang sudah terjalin baik selama ini oleh orang-orang tidak bertanggung jawab dan menggunakan isu ’Sara’ sebagai bahan kampanye terselubung.
"Saya sendiri beragama Muslim, tapi ada saudara saya juga yang beragama Khatolik maupun Protestan, sehingga darah yang mengalir di dalam tubuh saya sama dengan saudara-saudaraku yang beragama lain dan sebaliknya demikian jadi kami semua adalah saudara," ujar Hanubun.
Jabatan kepala daerah itu adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan itu terjadi kalau diperkenankan melalui dukungan suara rakyat, tapi yang diperjuangkan dalam hidup ini sebenarnya adalah hidup saling mengasihi antarsesama warga Kei, maupun siapa saja warga negara Indonesia yang merantau, hidup dan mencar nafkah di daerah ini.
Hanubun yang hidup selama 38 tahun di Jakarta terpaksa memilih kembali ke tanah asalnya di Maluku Tenggara ketika konflik kemanusiaan 1999 masih berkecamuk di seantero wilayah Provinsi Maluku.
Tokoh penggagas perdamaian di Maluku Tenggara dan Kota Tual ini nekat menggadaikan nyawanya untuk mengumpulkan seluruh raja guna merajut kembali kehidupan orang Kei yang sudah hancur luluh akibat konflik kemanusiaan.
Meski berada di bawah ancaman bayang-bayang kematian akibat tingkat emosianal warga yang tinggi selama konflik berkecamuk, Hanubun berani menerobos masuk bersama para raja dan kepala-kepala adat untuk kembali merangkul masyarakat.
Upaya ini membuahkan hasil, dimana seluruh orang Kristen maupun Muslim yang sudah mengungsi akibat rumahnya hancur bisa kembali ke desanya dan diterima secara baik tanpa ada rasa dendam maupun permusuhan dengan desa sekitar.
Maluku Tenggara akhirnya menjadi kawasan yang damai pasca konflik 1999 dan rumah penduduk, fasilitas kesehatan, sekolah maupun rumah-rumah ibadah kembali dibangun, bahkan ada satu lonceng Gereja yang sudah dijual ke Papua pun dikejar Thaher Hanubun untuk menebus dan kemudian mengembalikannya ke desa asal.
"Penyelesaian secara adat untuk mendamaikan warga sudah dilakukan, tapi masih ada satu persoalan penting lain yang belum tuntas, dimana saudari-saudari perempuan saya yang mengangkat kaki kain atau rok mereka tapi tidak dihormati saat itu ada di mana, apakah bapak Lor Sim dan bapak Lor Lim sudah menyelesaikan masalah ini atau belum," katanya.
Salah satu warga Langgur, Sykur Ohoitenan mengakui, konflik kemanusiaan di Malra tahun 2000 itu bisa reda setelah Haji Taher ikut memainkan peranan penting lewat pendekatan adat dan budaya untuk mendamaikan semua golongan dan mempersatukan kembali seluruh warga.
Jati diri orang Kei harus dikembalikan seperti semula dan jangan mudah diprovokasi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab karena menghembuskan isu Sara sebagai modal kampanye hitam.
Sumber :ANT
Editor : Jodhi Yudono
KOMPAS.com - Kehidupan masyarakat di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara yang mendiami Pulau Langgur hingga Elat di Pulau Kei Besar dikenal sangat kental dengan tradisi serta adat dan budaya warisan nenek moyang mereka di tengah perkembangan zaman dan era modernisasi.
Hukum Larvul-Ngabal (pidana dan perdata) merupakan sebuah aturan baku yang masih dijunjung tinggi serta dihormati masyarakat dan tetap berlaku berbarengan dengan hukum positif dari negara.
Bila terjadi peristiwa pidana atau perdata antarwarga desa bertetangga maka hukum positif tetap berlaku bagi semua orang, namun proses penyelesaian secara adat berdasarkan hukum adat Larvul-Ngabal tidak bisa dikesampingkan begitu saja karena lebih efektif.
"Pertikaian warga di Kabupaten Maluku Tenggara, umumnya lebih dipicu masalah batas wilayah atau petuanan dan masalah wanita, dimana orang Kei akan merasa harga diri dan kehormatannya terusik bila kaum perempuan mereka dilecehkan atau batas-batas tanahnya diseroboti," kata tokoh masyarakat Malra dari Raschab Famur Danar, Thaher Hanubun di Langgur.
Maluku Tenggara terdapat 14 raschab dan khusus untuk raschab Famur Danar sendiri dipimpin Haji Muhammad Hanubun selaku kepala raschab atau raja dan membawahi sepuluh Ohoi atau desa dan dusun yang menyebar dari Kecamatan Kei Kecil Timur hingga Kecamatan Kei Kecil Barat.
Status raja atau kepala raschab di Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual yang membawahi beberapa desa dan dusun, berbeda dengan raja di Pulau Ambon dan Lease yang hanya membawahi satu desa dan dusun.
Di dalam satu raschab ini terdapat beberapa desa yang penduduknya berbeda-beda agama, baik Muslim, Katholik maupun Protestan namun mereka umumnya masih memiliki hubungan kekerabatan atau ikatan darah yang sangat kental.
Seperti Raschab Famur Danar membawahi Ohoi Elar Ngorsoin, Lanefar yang penduduknya memeluk agama Khatolik, Ternate beragam Islam, Ohiseb Serei (Protestan) Uf Maar (Islam), Yetfab dan Ohoider Tutu (Khatolik).
Menurut dia sanksi-sanksi adat dari hukum Larvul-Ngabal juga sangat efektif dan paling dihormati warga bila terjadi perselisihan akibat masalah tanah, seperti pemasangan tanda larangan secara adat yang disebut ’Sasi’.
Misalnya pemasangan tanda sasi secara adat di lokasi bandara Ibra yang sampai saat ini belum dicabut secara adat akibat persoalan ganti-rugi lahan yang tidak tuntas oleh pemerintah.
"Kalau sudah terjadi pertikaian antarwarga ohoi atau desa bertetangga, maka upaya perdamaian ini harus dilakukan melalui prosesi adat lewat penyembelihan kerbau atau sapi sebagai hewan kurban sehingga prosesi perdamaian yang bersifat mengikat dan abadi," kata Hanubun yang juga anggota DPRD Maluku ini.
Ritual adat yang dilakukan kepala raschab Famur Danar dengan menghadirkan berbagai kepala-kepala ohoi, termasuk Kepala Ohoi Lumifur, Johanis Ohoitutun yang hadir bersama masyarakat dan tokoh adatnya.
Meski kegiatan ini dilakukan Raschab Famur Danar, namun hampir seluruh perwakilan dari raschab lain yang juga ikut hadir untuk menyaksikannya termasuk Kepala Ur Lim (Kepala Lima) yang bergelar adat Tbav Yam Lim, Hamid Rahayaan.
Prosesi adat perdamaian warga ini dimulai dengan penyambutan Kepala Ohoi Lumifur di ujung Ohoiseb oleh tokoh adat Famur Danar, Hi. Nazaruddin Hanubun bersama warga dan berjalan menuju rumah Raja Raschab, M. Hanubun.
Dalam rumah kepala raschab ini, sudah menunggu sejumlah tokoh adat dan tokoh agama seperti Imam Masjid Al Mathun Danar, Hi. Abas Hanubun untuk duduk bersama dan melakukan dialog dalam bahasa Kei untuk menyelesaikan persoalan.
Sedangkan masyarakat asal Ohoi Lumifur bersama warga Danar langsung digiring ke lokasi sebuah keramat untuk menunggu proses penyembelihan sapi, penanaman emas dan uang koin di bawah tugu perdamaian dilakukan setelah proses adat di rumah Raja Raschab Famur Danar berakhir.
Prosesi ritual adat perdamaian ini dimulai dengan penyampaian kata hati nurani dari Raja Raschab Famur Danar, Thaher Hanubun sebagai penggagas perdamaian, penyembelihan sapi oleh Habib Said Mudzakir Assagaff dan penamanan gelang emas dan uang koin di bawah tugu keramat oleh raja dan tua-tua adat,
Kemudian sejumlah perempuan yang dituakan secara adat memercik air kelapa muda ke seluruh hadirin yang disebut Rinin Patpatuk’ sebagai tanda meringankan segala beban dosa atau kesalahan yang pernah terjadi.
Sedangkan percikan air kelapa muda yang kedua disebut ’Rinin Satsat’ mempunyai makna untuk memohon dan meminta berkat serta rahmat bagi seluruh warga, agar segala usaha dan perjuangan yang dilakukan dapat membawa hasil yang baik.
Berakhirnya ritual adat tersebut ditandai dengan pelepasan anak panah dari busur yang dilakukan seseorang namun tidak dibidik ke seorang warga lainnya yang berlari meninggalkan lokasi upacara adat sebagai tanda semua persoalan yang menjadi pemicu perkelahian dilepaskan, dan siapa saja yang melanggar akan terkena sanksi adat,
Garis Keras
Thaher Hanubun yang kebetulan sedang mencalonkan diri sebagai Bupati Maluku Tenggara periode 2013-2018 dan berpasangan dengan Gerry Hukubun dalam kesempatan lain menyatakan penyesalan mendalam terkait beredarnya isu negatif yang bersifat provokasi.
"Saya dibilang Muslim garis keras oleh sekelompok oknum tertentu, namun para pelaku ini sudah teridentifikasi sehingga tim kuasa hukum Hanubun-Hukubun yang akrab disapa ’Tegar’ akan melakukan upaya hukum," katanya.
Untuk itu, masyarakat diimbau untuk tidak mudah terprovokasi dengan isu yang sifatnya menghasut serta memecah-belah kehidupan orang Kei yang sudah terjalin baik selama ini oleh orang-orang tidak bertanggung jawab dan menggunakan isu ’Sara’ sebagai bahan kampanye terselubung.
"Saya sendiri beragama Muslim, tapi ada saudara saya juga yang beragama Khatolik maupun Protestan, sehingga darah yang mengalir di dalam tubuh saya sama dengan saudara-saudaraku yang beragama lain dan sebaliknya demikian jadi kami semua adalah saudara," ujar Hanubun.
Jabatan kepala daerah itu adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan itu terjadi kalau diperkenankan melalui dukungan suara rakyat, tapi yang diperjuangkan dalam hidup ini sebenarnya adalah hidup saling mengasihi antarsesama warga Kei, maupun siapa saja warga negara Indonesia yang merantau, hidup dan mencar nafkah di daerah ini.
Hanubun yang hidup selama 38 tahun di Jakarta terpaksa memilih kembali ke tanah asalnya di Maluku Tenggara ketika konflik kemanusiaan 1999 masih berkecamuk di seantero wilayah Provinsi Maluku.
Tokoh penggagas perdamaian di Maluku Tenggara dan Kota Tual ini nekat menggadaikan nyawanya untuk mengumpulkan seluruh raja guna merajut kembali kehidupan orang Kei yang sudah hancur luluh akibat konflik kemanusiaan.
Meski berada di bawah ancaman bayang-bayang kematian akibat tingkat emosianal warga yang tinggi selama konflik berkecamuk, Hanubun berani menerobos masuk bersama para raja dan kepala-kepala adat untuk kembali merangkul masyarakat.
Upaya ini membuahkan hasil, dimana seluruh orang Kristen maupun Muslim yang sudah mengungsi akibat rumahnya hancur bisa kembali ke desanya dan diterima secara baik tanpa ada rasa dendam maupun permusuhan dengan desa sekitar.
Maluku Tenggara akhirnya menjadi kawasan yang damai pasca konflik 1999 dan rumah penduduk, fasilitas kesehatan, sekolah maupun rumah-rumah ibadah kembali dibangun, bahkan ada satu lonceng Gereja yang sudah dijual ke Papua pun dikejar Thaher Hanubun untuk menebus dan kemudian mengembalikannya ke desa asal.
"Penyelesaian secara adat untuk mendamaikan warga sudah dilakukan, tapi masih ada satu persoalan penting lain yang belum tuntas, dimana saudari-saudari perempuan saya yang mengangkat kaki kain atau rok mereka tapi tidak dihormati saat itu ada di mana, apakah bapak Lor Sim dan bapak Lor Lim sudah menyelesaikan masalah ini atau belum," katanya.
Salah satu warga Langgur, Sykur Ohoitenan mengakui, konflik kemanusiaan di Malra tahun 2000 itu bisa reda setelah Haji Taher ikut memainkan peranan penting lewat pendekatan adat dan budaya untuk mendamaikan semua golongan dan mempersatukan kembali seluruh warga.
Jati diri orang Kei harus dikembalikan seperti semula dan jangan mudah diprovokasi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab karena menghembuskan isu Sara sebagai modal kampanye hitam.
Sumber :ANT
Editor : Jodhi Yudono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar